Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Turkifikasi Anatolia Dan Diplomasi Budaya Erdogan

Jumat, 20 Maret 2020, 02:52 WIB
Turkifikasi Anatolia Dan Diplomasi Budaya Erdogan
Masjid Abdulhamid II Djibouti/Net
SAAT ini wilayah negara Turki sebagian besar berada di kawasan Anatolia (Asia Minor) yang menjadi penghubung antara benua Asia dengan Eropa. Turki berbeda dengan negara-negara ras Turk lainnya seperti Uzbekistan, Kazakhstan, Kyrgiztan yang lokasinya berada di Asia Tengah.

Lalu, bagaimana proses awal bangsa Turki dapat memasuki dan menguasai Anatolia yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan dinasti Bizantium selama ratusan tahun?

Penanda penting dalam sejarah yang mengubah nasib Anatolia itu adalah Pertempuran Manzikert (1071). Pertempuran itu menyebabkan terbukanya Anatolia oleh penetrasi suku bangsa Turki dan terjadinya proses “Turkifikasi”.

Turkifikasi adalah proses asimilasi berbagai individu dan bangsa ke dalam budaya, bahasa dan bangsa Turki. Pertempuran Manzikert terjadi di kota Mus, Turki Timur pada 26 Agustus 1071 antara Kekaisaran Bizantium dan Kesultanan Turki Seljuk. Pada saat itu, dinasti Seljuk memerintah wilayah luas yang membentang dari Hindu Kush ke Anatolia Timur, dari Asia Tengah ke Teluk Arab.

Sebab terjadinya pertempuran adalah karena Kaisar Bizantium, Romanus IV Diogenes, mengirimkan 30.000 pasukan ke wilayah perbatasan timur Seljuk di Armenia. Pemimpin Seljuk, Alp Arslan, merespons ancaman ini dengan menggerakkan 15.000 tentara dan mencapai Manzikert.

Awalnya Sultan Alp Arslan mengusulkan persyaratan perdamaian, tetapi Kaisar Romanos menolak tawaran itu dan alhasil kedua pasukan melanjutkan peperangan di Manzikert. Pada akhirnya pasukan Seljuk berhasil memenangkan perang tersebut (TRT World, 2017).

Sultan Alp Arslan menangkap Kaisar Diogenes, membuat perjanjian damai dan kemudian melepaskannya. Tidak lama setelah itu, Kekaisaran Bizantium mengalami perang saudara dan Diogenes turun takhta. Penguasa baru Bizantium kemudian melanggar perjanjian dan memberikan alasan bagi Turki Seljuk untuk menduduki wilayah Anatolia (Pillalamarri, 2016).

Analisa lain menyebutkan bahwa krisis politik intenal Bizantium ini mendorong suku Turkoman untuk menyerbu bagian barat Cappadocia dan memungkinkan mereka menetap di tanah taklukan ini (Cahen, 1992).

Turkifikasi Anatolia

Pillalamarri (2016) menjelaskan bahwa proses turkifikasi yang terjadi di Anatolia disebut dengan “dominasi elite” yaitu elite minoritas memengaruhi budaya mayoritas. Hal ini terjadi karena banyak penduduk lokal (etnis Yunani dan Armenia) meminta perlindungan kepada para panglima perang Turki. Hubungan patron-klien ini terjadi hampir di seluruh Anatolia dan menyebabkan mayoritas penduduk Anatolia berasimilasi dengan agama Islam, serta bahasa dan budaya Turki.

Proses turkifikasi Anatolia ini kemudian terjadi dalam dua gelombang, yang pertama di pertengahan abad ke-11 pasca pertempuran Manzikert dan yang kedua di pertengahan abad ke-13 karena serangan bangsa Mongol ke kawasan Asia Tengah yang menyebabkan banyak suku bangsa Turki bermigrasi ke Anatolia. Dengan demikian pertempuran Manzikert dapat dikatakan sebagai “pembuka jalan” bagi proses turkifikasi dan mengubah wajah demografi Anatolia selamanya (Gurpinar, 2012).

Turkifikasi Anatolia ini terbukti dalam fakta genetis, bahwa mayoritas orang Turki saat ini paling dekat hubungannya dengan orang Yunani dan Armenia dibandingkan orang Asia Tengah. Sebuah studi dalam jurnal Annals of Human Genetics menunjukkan nenek moyang orang Turki, mayoritas berasal dari Eropa dan Timur Tengah, dengan komponen Asia Tengah hanya 9 persen sampai 15 persen saja (HodoÄŸlugil and Mahley, 2012).

Diplomasi Budaya Erdogan

Arti penting kemenangan bangsa Turki dalam Pertempuran Manzikert juga sering diangkat oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam berbagai pernyataan politiknya. Dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Erdogan selalu memperingati momen Manzikert sebagai “Hari Kemenangan” yaitu kemenangan bangsa Turki membuka jalan ke Anatolia, tanah air baru di jantung Eropa.

Apakah kesukesan Manzikert dan turkifikasi Anatolia ini juga menginspirasi Erdogan untuk melakukan sebuah proses “turkifikasi” yang lain?

Proses turkifikasi baru ini dapat kita lihat dari upaya Erdogan mendorong penyebaran budaya Turki ke seluruh dunia melalui soft diplomacy. Salah satunya bentuknya melalui penyebaran film dan serial televisi yang mengangkat kejayaan dinasti Seljuk dan Ottoman.

Pemerintah Turki melalui siaran televisinya TRT secara masif menyiarkan serial kerajaan Turki seperti “Muhteşem Yüzyıl” tentang kehidupan Sultan Suleyman Agung, “Diriliş: Ertuğrul” yang bercerita tentang Ertrugul Gazi pendiri dinasti Ottoman atau “Payitaht: Abdülhamid” yang menggambarkan kehidupan Sultan Abdulhamid II.

Menurut Kementerian Kebudayaan Turki, saat ini Turki telah menjadi salah satu dari lima negara pengekspor serial televisi terbesar di dunia yang memikat penonton dari Amerika Latin, Asia Tengah hingga Asia Tenggara. Lusinan serial Turki diikuti oleh sekitar 500 juta penonton di lebih dari 150 negara. Untuk seri “Diriliş: Ertuğrul” saja telah menarik minat khusus dengan pemirsa lebih dari 70 negara (Yeni Safak, 2019).

Proyek Masjid Global

Selain itu pemerintah Turki juga aktif melakukan diplomasi budaya melalui proyek pembangunan masjid Turki di seluruh dunia. Melalui Turkiye Diyanet Vakfi (TDV), sebuah lembaga di bawah Kementerian Agama, Turki telah membangun 103 masjid di seluruh dunia. Proyek pembangunan masjid global ini juga dilihat sebagai upaya Erdogan untuk memperkuat pengaruh politik Turki di negara-negara tersebut.

Melalui informasi yang didapat dari website resminya TDV saat ini telah menyelesaikan pembangunan masjid di berbagai negara di antaranya adalah Masjid Cambridge Inggris, Masjid Abdulhamid II Djibouti, Masjid Bishkek Kirgizstan, Masjid Raya Tirana Albania, Masjid Abdulaziz Somalia, Masjid Fatih Filipina, Masjid Belarusia Minsk, Masjid Boukman Buhara Haiti, Masjid Eyup Sultan Mali, Masjid Accra Ghana dan 9 masjid di Gaza, Palestina.

Selain itu pengerjaan dekorasi interior dan ornamen Masjid Hoca Ahmet Yesevi di Kazakhstan dan Masjid Raya Moskow di Rusia juga dilakukan oleh TDV.

Sebagai contohnya Masjid Abdulhamid II di Djibouti yang memiliki kapasitas 6.000 orang ini menjadi masjid yang terbesar di kawasan Afrika Timur. Ide pembangunan masjid yang memiliki fitur khas arsitektur Ottoman ini, berawal dari kunjungan Presiden Erdogan ke Djibouti pada 2015.

Presiden Djibouti, Ismail Omar Guelleh menyatakan ingin melihat sebuah masjid yang menampilkan arsitektur Ottoman dan mendengarkan azan seperti yang dilantukan di Istanbul (Daily Sabah, 2019).

Di belahan dunia lain, Masjid Pusat Tirana di ibukota Albania menjadi yang terbesar di seluruh kawasan Balkan. Masjid tersebut menaungi gedung parlemen dari kompleks seluas 105.000 kaki persegi. Bangunan masjid dilengkap dengan kubah dan menara khas Turki (The Atlantic, 2019).

Selanjutnya terdapat Masjid Pusat Bishkek di Kirgizstan yang dibuka pada September 2018 dengan kehadiran Presiden Erdogan. Masjid ini dikatakan sebagai masjid terbesar di Asia Tengah. Masjid tersebut dapat menampung 20 ribu orang dan biaya pembangunannya mencapai 35 juta USD (Sol International, 2019).

Presiden Erdogan secara efektif menggunakan berbagai cara diplomasi untuk menyebarkan pengaruh Turki ke seluruh dunia. Proses turkifikasi “halus” melalui diplomasi budaya yang dilakukan Erdogan seperti melalui film dan serial televisi dapat menanamkan legitimasi sejarah Turki secara masif dan mendunia.

Selain itu proyek pembangunan masjid global yang dicanangkan Erdogan tidak hanya berdampak secara kultural tetapi juga dilihat sebagai upaya untuk menjadikan Turki pemimpin dunia Muslim. Tampaknya Erdogan bukan saja melihat peristiwa Manzikert dalam perspektif masa lalu, tetapi menggunakannya untuk melihat dan mengarahkan masa depan Turki. rmol news logo article

Adhe Nuansa Wibisono
Ketua Majelis Pertimbangan KAMMI Turki

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA