Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Omnibus Law Cipta Kerja Ingkari Visi Indonesia 2045

Sabtu, 07 Maret 2020, 03:17 WIB
Omnibus Law Cipta Kerja Ingkari Visi Indonesia 2045
Demonstrasi menolak Omnibus Law/Net
PERTANYAAN yang muncul tatkala Rancangan Omnibus Law mulai diserahkan kepada DPR adalah apakah Omnibus Law Cipta Kerja akan mempercepat kita menuju Indonesia Emas 2045?
 
Mengutip Bappenas (2019), visi Indonesia 2045 setidaknya dibasiskan pada 4 pilar berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Keempat pilar yang dimaksud meliputi pertama, Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek); Kedua, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan; Ketiga, Pemerataan Pembangunan; dan Keempat, Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan.

Lebih lanjut, Bappenas (2019) menjelaskan pilar pertama pembangunan manusia dan penguasaan iptek didasarkan pada penelitian dan pengembangan (R&D). Kemudian pilar kedua pembangunan ekonomi berkelanjutan didasarkan pada energi baru terbarukan dan air bersih. Sedangkan pilar ketiga pemerataan pembangunan difokuskan pada upaya-upaya pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan, pembangunan wilayah dan infrastruktur. Terakhir pilar keempat pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan difokuskan pada pembangunan demokrasi, reformasi birokrasi dan penguatan sistem hukum nasional dan anti korupsi.

Tampaklah sesat pikir pemerintah manakala pondasi keempat pilar ini justru dititikberatkan pada seberapa besar investasi asing masuk ke Indonesia. Omnibus law memantik terbukanya keran investasi selebar-lebarnya bagi Negara adidaya dan perusahaan multinasional.

Seolah-olah kritik masa lalu akan ramainya investasi asing mampu mematikan produktifitas dalam negeri serta menggerogoti kemandirian bangsa sudah tidak berlaku lagi. Padahal dulu isu ini kerap diangkat oleh para pejabat politik hari ini kala mereka sedang berperan sebagai oposisi.

Omnibus law memang bisa mendongkrak investasi. Bila tepat guna investasi ini bisa diarahkan mengembangkan penelitian dan pembangunan ekonomi namun soal keberlanjutan tampaknya perlu kita pertimbangkan kembali dengan matang. Benarkah ini akan mengentaskan kemiskinan atau justru melahirkan masalah sosial baru? Apakah akan tercipta pemerataan atau justru menimbulkan kesenjangan yang kian parah?

Jangan sampai omnibus law hanya mampu menyelamatkan penanam modal di tengah krisis ekonomi dunia sementara rakyat kian melarat. Pengaruh negara adidaya semakin kuat, perusahaan-perusahaan multinasional untung besar dari pasar besar 200-an juta penduduk Indonesia. Lapangan pekerjaan yang digadang-gadang sebagai alasan tak kunjung menuntaskan masalah sosial karena jumlahnya tetap tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja.

Belum lagi investasi tersebut menafikan dampak lingkungan yang ujung-ujungnya merugikan rakyat itu sendiri. Tanah-tanah adat dan lahan-lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan petani-petani gurem berpeluang dialihfungsikan demi industrialisasi. Hak buruh tak lagi diutamakan hingga akhirnya bekerja hanya untuk bertahan hidup bukan lagi memperbaiki taraf hidup orang banyak.
 
Pilar Penelitian dan Pengembangan

Sebagaimana kita ketahui selama ini penelitian dan pengembangan belum menyentuh persoalan utama rakyat. Transfer teknologi beberapa kali terjadi, akuisisi bernuansa populis pun kerap dilakukan.

Saya ambil contoh akusisi-akuisisi yang dilakukan Pertamina atas blok-blok migas. Kita bangga tapi bingung. Bangga karena akhirnya kita berdaulat atas blok-blok tersebut. Bingung karena harga BBM tak turun drastis, malah subsidi gas cepat atau lambat segera dicabut. Kita bahkan belum mengulas soal impor migas yang meningkat tiap tahun. Apa kabar impor migas kita?

Seharusnya penelitian dan pengembangan diarahkan ke teknologi tepat guna, yang menyentuh persoalan utama rakyat sehari-hari. Diarahkan agar rakyat produktif, bukan konsumtif. Ditujukan untuk mengurangi impor, untuk berdiri di atas kaki sendiri bukan sebaliknya. Sayangnya investasi asing selama ini tak mencerminkan hal-hal yang demikian.

Pengembangan energi baru dan terbarukan serta air bersih pun memerlukan investasi, terutama karena biayanya mahal dan teknologinya terbatas. Akan tetapi pemerintah harus berpikir ulang, apakah investasi yang masuk akan membuat harga listrik dan air bersih murah?

Sangat wajar untuk meragukan karena dua alasan. Pertama, logika investor adalah mencari untung sebesar-besarnya. Sebab musabab pengembangan EBT mandeg ditengah jalan�"dari target bauran energi 30 persen pada 2025�"karena pemerintah tak mampu memberikan insentif harga yang “menguntungkan” atau “cepat balik modal” kepada investor.

Tidak berlebihan untuk curiga, realisasi Omnibus Law Cipta Kerja di kemudian hari bukan ke pengembangan EBT, melainkan pengembangan energi fosil berikut produk-produk turunannya. Jika demikian, kita makin tergantung dengan energi fosil, berikut kebijakan impor migas.

Alasan kedua. Akan lebih baik jika pengembangan EBT dan air bersih dilakukan dalam skala kecil dan lokal oleh BUMD-BUMDES, berkolaborasi dengan perguruan tinggi, didanai oleh BUMN perbankan atau dengan memanfaatkan dana bantuan pembangunan dari organisasi internasional, kelompok filantropi orang-orang terkaya di dunia. Kita masih mampu memanfaatkan sumber daya ini dengan kemampuan sendiri.

Pengentasan Kemiskinan

Adapun soal pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan infrastruktur. Apakah investasi akan mempercepat pengentasan kemiskinan? Akan selalu memeratakan pembangunan dan infrastruktur? Belum tentu.

Oleh karena selama ini investasi asing lebih dinikmati penanam modal dan oligark-oligark korup, yang ada justru ketimpangan sosial dan ekonomi makin besar. Seperti diulas Michael Wood dalam documenter BBC yang berjudul The Story of India (2007) dan The Story of China (2016), kondisi ini telah terjadi di India dan Tiongkok -dua negara yang sering menjadi rujukan dan perbandingan pemerintah. Investasi memang meningkatkan peluang kelas menengah berpendapatan makin tinggi. Namun tetap saja, pendapatan antara kelas menengah dengan kelas atas makin timpang. Thomas Piketty dalam Capital and Ideology (2020) malah mewanti-wanti bahwa ketimpangan ini yang membuat politik identitas makin kuat.

Saya khawatir investasi asing justru membuat angka kemiskinan makin besar. Saya juga khawatir pembangunan dan infrastruktur yang telah dibangun lebih dinikmati si investor dan oligark-oligark korup di pusat dan di daerah. Saya lebih khawatir lagi, makin  besar investasi asing masuk, makin mudah kita terpecah-belah karena politik identitas.

Kemudian soal pembangunan demokrasi, reformasi birokrasi dan kebijakan anti korupsi. Kita wajib bertanya, demokrasi seperti apa yang ada ketika investasi asing masuk? Kalau boleh saya jawab, tentu demokrasi liberal, yang jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi Pancasila yang kita anut. Seperti dijelaskan William Galston dari Brooking Institute dalam Yes, Contemporary Capitalism Can Be Compatible with Liberal Democracy (2019), hari ini demokrasi liberal sedang berusaha bersinergi dengan kapitalisme model baru (yang bebasis data). Dalam proses ini, demokrasi liberal sangat rentan praktik-praktik politik uang, disinformasi, hoaks dan ujaran kebencian.

Reformasi birokrasi pun yang seperti apa? Dengan logika investasi, orientasi kebijakan ini bukanlah rakyat. Bukan ditujukan untuk mempermudah administrasi seorang pemuda yang akan meminang kekasihnya. Bukan pula ditujukan bagi rakyat di perbatasan dan daerah-daerah tertinggal yang  belum punya KTP elektronik.

Kebijakan anti korupsi pun demikian. Benarlah korupsi rendah berbanding lurus dengan besar investasi asing yang masuk. Organisasi Kerjasama Pembangunan dan Ekonomi (OECD), Bank Dunia (World Bank) sudah sering mengulasnya. Akan tetapi tesis ini belum benar-benar teruji di Indonesia. Upaya pelemahan KPK melalui Undang-Undang yang baru seperti menegaskan bahwa anti korupsi hanya retorika. Malah sangat mungkin, investasi asing yang masuk akan mencari formula sinergi dengan koruptor-koruptor di Indonesia.

Pada akhirnya, kritik-kritik demikian yang membuat saya dan pemuda-pemuda lain di Gerakan Mahasiswa Indonesia, bahkan kawan-kawan mahasiswa, serikat petani, nelayan dan buruh masih tegas menolak Omnibus Law. Jika prinsip dasarnya sudah salah, sudah sesat. Tak usah dulu bermimpi soal Indonesia Emas 2045. rmol news logo article

Imanuel Cahyadi
Ketua Umum DPP GMNI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA