Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pro Demokrasi Vs Anti Demokrasi Di Timur Tengah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Minggu, 29 Desember 2019, 20:01 WIB
Pro Demokrasi Vs Anti Demokrasi Di Timur Tengah
Recep Tayyip Erdogan/Net
PRESIDEN Turki Recep Tayyip Erdogan telah memutuskan untuk memenuhi permintaan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (Government of National Accord, GNA) Libya yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj yang terbentuk  tahun 2014.

GNA merupakan pemerintahan resmi yang diakui dunia internasional termasuk PBB, setelah pemerintahan yang dipimpin Muammar Khadafi runtuh pada tahun 2011 terkena badai Musim Semi Arab yang  berhembus dari Tunisia.

Kini Fayez menghadapi perlawanan dari Khalifa Haftar yang menguasai wilayah Libya  bagian Timur yang kaya minyak. Wilayah yang dikuasainya ini berbatasan dengan Mesir. Sementara Fayez menguasai wilayah Barat yang berbatasan dengan Tunisia dan Aljazair.

Haftar adalah pensiunan tentara yang melakukan perlawanan politik maupun militer terhadap GNA yang mengendalikan Libya dari ibukota Tripoli. Haftar dan pasukannya berkali-kali kontak senjata, dan sempat melakukan gempuran militer untuk menguasai Tripoli, namun belum berhasil.

Pasukan Haftar semakin hari semakin kuat, karena mendapat dukungan dari Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab (UEA). Saudi Arabia dan UEA merupakan motor dari negara-negara Arab yang berusaha membendung gerakkan demokratisasi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain: Mesir, Bahrain, dan Oman.

Sementara Qatar berada dalam posisi bersebrangan, dengan mendukung berbagai gerakkan pro demokrasi di dunia Arab.

KL Summit yang dimotori oleh Malaysia, Turki, dan Qatar yang diadakan di Malaysia beberapa waktu yang lalu, bisa dipandang sebagai upaya konsolidasi kelompok pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan dunia Islam.

Kehadiran Presiden Iran Hassan Rouhani  semakin memperkuat kelompok ini, sekaligus membuat narasi anti-Syiah yang dimainkan kelompok anti-demokrasi semakin mandul.

Kunjungan mendadak Erdogan ke Tunisia beberapa hari lalu, bisa dipandang sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan atas rencananya untuk mengirim pasukkan ke Libya.

Apalagi tetangga di Barat Libia tersebut saat ini dikendalikan oleh kelompok pro-demokrasi. Tunisia merupakan satu-satunya negara Arab yang sukses melalui transisi demokrasi saat gelombang besar demokratisasi yang melanda wilayah ini yang dikenal dengan Arab Spring.

Kini Erdogan hanya menunggu persetujuan Parlemen yang akan bersidang  minggu depan. Besar kemungkinan Parlemen Turki akan menyetujuinya. Disamping AKP yang menjadi kendaraan politik Erdogan cukup besar di Parlemen, juga mengingat Turki telah melakukan hal yang serupa saat membela Qatar dari ancaman Saudi Arabia, dan saat mengusir para pemberontak Kurdi yang berada di perbatasan Turki-Suriah.

Jika hal ini terjadi, maka fragmentasi negara-negara Muslim di Timur Tengah antara kelompok yang pro-demokrasi dengan yang anti-demokrasi semakin mengkistal dan meluas.

Kini Turki, Qatar, dan Iran menjadi motor dari  kelompok pro demokrasi di Timur Tengah. Dengan menjadi tuan rumah KL Summit, maka Malaysia yang tadinya netral dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini.

Karena itu, kini Libya terancam menjadi Suriah baru, dengan menjadi ajang pertarungan kekuatan luar. Tentu akan lebih parah lagi, jika negara-negara super power seperti Amerika dan Rusia terlibat.

Sebagai salah satu inisiator sekaligus tuan rumah KL Summit, Malaysia dan Pakistan sebenarnya berusaha netral dalam pertarungan dua kelompok ini. Bahkan berusaha untuk menjadi mediator, sebagai sebuah ikhtiar untuk mempersatukan dunia Islam secara keseluruhan. Sejak awal Turki dan Qatar mendukung penuh upaya ini.

Sayang, tekanan dan ancaman Saudi Arabia menyebabkan Pakistan membatalkan mendadak kehadirannya hanya dalam hitungan jam sebelum acara dibuka. Sementara Indonesia sejak awal tampaknya lebih hati-hati dalam mengambil keputusan, terlihat dengan hanya mengirimkan delegasi kecil yang dipimpin Menlu.

Kehadiran Indonesia dipandang hanya sekedar untuk menghormati tuan rumah dan menjaga solidaritas atau menjaga hubungan baik dengan seluruh negara yang mengirimkan delegasi.

Walaupun pengutuban semakin jelas, akan tetapi banyak negara masih wait and see untuk menyikapinya, termasuk Indonesia.

Karena itu bagaimana perkembangan yang akan terjadi akan sangat ditentukan oleh perkembangan pertarungan yang terjadi yang melibatkan kekuatan politik, ekonomi, maupun militer.

Tidak mudah diprediksi kelompok mana yang akan keluar sebagai pemenang. Walau tidak persis sama dengan Libya, pertarungan serupa juga telah dan sedang terjadi di Yaman, Aljazair, dan Sudan.rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA