Dalam pertarungan sangat ketat Bibi yang didukung partai Likud melawan penantangnya Benny Gantz dari partai Biru Putih, sebenarnya berhasil unggul tipis.
Oleh karena Bibi harus membangun koalisi agar bisa mencapai dukungan minimal 50 persen plus 1 kursi, atau 61 anggota Knesset.
Bibi gagal mendapatkan dukungan partai Yisrael Beiteinu yang berhaluan Ultra Kanan yang dipimpin Avigdor Lieberman, yang menjadi koalisi tradisionalnya.
Penolakan Liberman untuk bergabung, disebabkan oleh persyaratan yang diajukannya ditolak oleh Bibi. Liberman meminta agar para rabi (penyeru agama Yahudi) muda diberi
privilege untuk dibebaskan dari wajib militer, yang harus diikuti oleh seluruh warga Israel, yang menjadi bagian dari undang-undang negara Zionis tersebut.
Sementara partai-partai kecil lainnya, enggan bergabung dalam pemerintahan yang hendak dibemtuk Bibi, disebabkan perbedaan ideologi.
Sesuai dengan undang-undang pemilu di Israel, yang menyatakan bila sang pemegang mandat yang diberikan oleh Presiden gagal membentuk Kabinet, maka harus dilakukan pemilu ulang.
Jadi pemilu kali ini, yang dilaksanakan 17 September lalu, merupakan pemilu ulang dari pemilu yang dilaksanakan 9 April lalu.
Dalam pemilu kali ini hasilnya ternyata berubah, partai Biru-Putih memperoleh 33 kursi dan Likud 32 kursi. Keunggulan tipis ini, memberi kesempatan Benny Gantz menerima mandat dari Presiden Reuven Rivlin untuk membentuk Kabinet.
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi: Pertama jika Gantz gagal membentuk Kabinet, maka harus dilakukan pemilu ulang kembali, sampai sang pemegang mandat berhasil membentuk Kabinet.
Kedua, jika Gantz yang didukung partai-partai tengah, termasuk partai-partai masyarakat Arab-Israel, dan partai yang berhaluan kiri, khususnya Partai Buruh, maka Benny Gantz akan menjadi Perdana Mentri Baru Israel.
Jika kondisi ini yang terjadi, maka Israel akan kembali berdamai dengan Palestina, dengan skema Two State Solution, sesuai janji partai-partai pendukungnya.
Ketiga, jika partai-partai pendukung Gantz gagal memperoleh 50 persen plus satu kursi di Knesset, maka pilihan lain adalah merangkul Likud.
Jika situasi ini yang terjadi, maka kabinet yang dibentuk dapat disebut sebagai 'Kabinet Persatuan Nasional', mengingat dibentuk oleh dua partai terbesar yang bersaing.
Implikasinya, akan terjadi negosiasi yang alot, mengingat keduanya memiliki ideologi yang berbeda, dan memiliki agenda yang bertentangan.
Di luar masalah pembentukan kabinet dan agenda pemerintahan Israel kedepan, sejumlah pengamat menyoroti rahasia kekalahan Bibi, meskipun mendapat dukungan penuh dari Donald Trump, yang kini menghuni Gedung Putih.
Pertama, faktor di dalam negeri. Benjamin Netanyahu sudah terlalu lama memimpin Israel, sehingga ada semacam kejenuhan dan kelelahan mental rakyatnya, dengan sikap politiknya yang selalu mengobarkan perang. Ditambah kebijakan agresifnya pencaplok wilayah Palestina, dan tetangga-tetangganya seperti Lebanon dan Suriah.
Kedua, Bibi selain dikenal sebagai orang kuat, citranya sebagai pembohong dan pemimpin korup sangat menggerogoti wibawanya. Apalagi institusi hukum sudah memprosesnya, yang memungkinkan untuk mengantarnya ke penjara begitu ia kehilangan jabatannya.
Ketiga, faktor luar negeri. Meningkatnya kemampuan Suriah dalam melawan Israel, ditambah kemampuan militer Hammas menggempur Israel dari jalur Gaza, dan Hizbullah dari Lebanon Selatan, menyebabkan rakyatnya merasa semakin tidak aman.
Oleh sebab itu, kampanye agresif Bibi untuk mencaplok Tepi Barat milik Palestina dalam hari-hari terakhir masa kampanye menjadi bumerang, setelah ia mencaplok golan milik Suriah, dan memindahkan Ibukota Israel ke Yerusalem.
Keempat, keberhasilan tim kampanye Gantz untuk merebut suara pemilih komunitas Arab-Israel, yang biasanya skeptis untuk pergi ke kotak-kotak suara setiap kali pemilu. Kini mereka sangat bersemangat, dan berhasil menyumbang 13 kursi di Knesset.
Melihat kompleksitas peta politik yang ada, dan kerasnya pertarungan ideologi, serta kepentingan politik di tingkat global, terkait dengan banyaknya kepentingan negara lain terhadap penguasa negara Zionis ini, maka arah kebijakan Israel ke depan tetap tidak mudah diprediksi, dan bisa saja menimbulkan berbagai kejutan baru.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: