Lucunya KPK, lembaga yang paling banyak menangkapi koruptor justru paling disalahkan. KPK dituduh gagal melakukan pencegahan korupsi, (dianggap) cuma sibuk melakukan penindakan saja.
Tujuan rekrutmen politik adalah membentuk kelas pemimpin yang memiliki integritas dan kompeten. Proses rekrutmen pemimpin di negara demokrasi berlangsung dalam dua tahap, yaitu proses
selection dan proses
election. Pada proses seleksi, dari kumpulan kadernya partai politik memilih kandidat untuk dicalonkan dalam pemilu. Pada tahap eleksi kandidat tersebut diperhadapkan dengan kandidat partai lain untuk memperoleh dukungan publik.
Kedua tahapan tersebut memiliki fungsi berbeda. Bila di dalam proses
election rakyat diharapkan memilih kandidat dengan kompetensi (kemampuan memimpin, kebijakan, program, rencana kerja) terbaik, maka dalam proses
selection partai diharapkan menitikberatkan pilihan kepada kader yang memiliki reputasi moral (integritas, kejujuran, keterpercayaan) terbaik.
Pembagian kerja di atas masuk akal, sebab partai dianggap lebih tahu tentang
track record dari kader-kadernya. Adapun rakyat pemilih tidak bisa diharapkan bisa membaca isi hati (moralitas) kandidat, karena interaksi keduanya bersifat temporal dan terbatas. Pemilih hanya menilai berdasarkan kepada (program) yang disampaikan dan evaluasi kilat atas kemampuan komunikasi (yang sering dikaburkan sebagai kemampuan memimpin).
Adapun KPK berada di luar proses seleksi maupun eleksi. Kerja KPK baru dimulai ketika seseorang telah terpilih. Bila pejabat terpilih ternyata koruptor, maka tanggung jawab terbesar terletak di tangan partai politik. Bukankah mereka yang telah memilih orang itu sebagai kandidat?
Memang menurut undang-undang, salah satu tugas KPK adalah mencegah korupsi. Tetapi sangat keliru menafsirkan bahwa KPK adalah satu-satunya penanggung jawab pencegahan korupsi, mengingat korupsi memiliki akar politik, sosial, dan kultural yang berada jauh di luar kewenangan KPK.
Kalau mau adil, sedikitnya KPK mesti diberi kewenangan mengontrol seleksi kandidat di partai politik dan menangkapi pelaku politik uang. Hanya dengan demikian KPK bisa disalahkan berkaitan kegagalan dalam pencegahan korupsi.
Pencegahan korupsi itu harus dimulai oleh partai politik, sebab di sanalah sebagian besar masalah berada. Bila partai-partai politik merekrut calon-calon pemimpin yang baik, maka pejabat birokrat yang membantu mereka juga akan menjadi baik. Bukankah penentu promosi dan demosi di birokrasi adalah
elected officials (kepala daerah), yang semua dilahirkan oleh proses rekrutmen partai politik?
Moralitas Partai Politik Moralitas kita pahami sebagai komitmen kepada kepentingan publik. Orang bermoral ketika komitmennya dianggap
credible. Kredibilitas itu dicerminkan dalam tingkat keterpercayaan (
trustworthiness), integritas, dan kejujuran.
Sayangnya, moralitas tidak berkembang di tubuh partai politik kita. Proses seleksi kandidat pada umumnya adalah proses jual-beli, siapa membayar paling tinggi terpilih menjadi kandidat dengan nomor urut terbaik. Akibatnya koleksi kader terbaik partai politik diisi oleh orang yang mampu membayar, bukan orang yang jujur dan kompeten. Kita telah melihat dampaknya, jumlah koruptor justru semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Tidak hanya dalam proses seleksi, jual beli juga terjadi dalam proses eleksi. Kandidat membeli suara pemilih untuk menutupi kelemahan mereka dalam kompetensi. Uang telah menjadi segalanya. Mau naik jabatan, mau dapat proyek negara, mau masuk sekolah negeri, dan sebagainya, uang menentukan.
Partai politik sebagai basis penyedia
credible commitment adalah dasar dari
government trust.
Trust atau kepercayaan itu seharusnya tidak bisa dibeli. Suatu pemerintahan yang dibangun dengan membeli kekuasaan hanya bagus tampak luarnya, tetapi pebisnis dan pengamat yang andal tahu bahwa kekuasaan seperti itu rapuh. Kekuasaan semacam itu bisa tiba-tiba luruh dan ambruk.
Itu sebabnya walau ada 32 perusahaan angkat kaki dari China, tidak satupun mendaratkan kakinya di Indonesia. Orang bisa berdalih macam-macam (karena perizinan lama, dan lain-lain) tetapi hakikatnya adalah orang di luar tidak melihat Indonesia sebagai negeri yang bisa menyediakan
credible commitment yang mereka butuhkan.
Tergantung kepada partai politik kemudian. Mereka memiliki kekuasaan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada dana luar. Mereka juga punya kapasitas untuk melakukan pendidikan politik. Masalahnya tinggal apakah mereka mau atau tidak.
Radhar TribaskoroPemerhati sosial-politik dan mantan Komisioner KPUD Jabar
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.