Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menata Danau Toba Dan Perhatian Untuk Wisatawan Mancanegara

Kamis, 05 September 2019, 10:27 WIB
Menata Danau Toba Dan Perhatian Untuk Wisatawan Mancanegara
Ilustrasi
NA masa-masaon ma jo.

Pertengahan 2018, ketika mulai merencanakan calendar of events Danau Toba, kita mulai mempertimbangkan bagaimana ini tentang hal-hal yang menghormati sekaligus membuat nyaman  para wisatawan, apalagi wisman dari Malaysia yang agak dominan.  

Wisman Malaysia lebih dari 50 persen rata-rata sekitar 60 persen mungkin karena ikatan emosi dan juga jarak serta ekonomi nasionalnya cukup bagus.

Memang kita harus merencanakan daerah ini sesuai persepsi pelanggan kita, bukan soor-soor sendiri. Tentu tanpa melupakan sosial budaya dan kearifan lokal, termasuk ketersediaan informasi di sosial media.

Wisman Malaysia yang datang juga ternyata bergeser dari second city Malaysia (Ipoh, Trengganu, dll). Yang asal KL masih menunggu atraksi baru dan hotel baru. Mereka ke Vietnam atau Bandung dan Lombok  Tapi janji pasti akan lebih enjoy ke Sumut.

Ada dua survei yang menjadi referensi kami, yaitu survei dan masukan dari Air Asia dan penumpangnya, dan juga survei yang dilakukan Bank Indonesia. Dalam dua survei tersebut yang paling signifikan adalah soal transportasi darat yang nyaman (murah, tersedia) dan ketersediaan makanan. Makanan bagi manusia adalah soal sensitif alias nggak bisa lapar dll.

Di kawasan Danau Toba (di luar Samosir) rata-rata waktu tempuh dari satu atraksi ke atraksi lain adalah 2 jam. Tidak bisa dibandingkan dengan Bali yang cuma 15 menit. Di Toba wisatawan harus menyewa kendaraan harian. Juga tidak mungkin tidak menyewa, karena belum tersedia jasa kendaraan publik yang memadai.

Puji Tuhan, sekarang sudah tersedia Bis Damri untuk jarak menengah  dan juga Kendaraan Jasa Online.

Kenyataannya komponen biaya transportasi lokal bagi wisatawan terutama milenial masih mahal. Porsi transportasi lokal bisa sampai 1/3 total cost, sementara karena jarak satu tempat ke tempat yang lain masih jauh, dan belum banyak atraksi/destinasi yang dinikmati.

Kalau urusan perut, memang ini urusan yang paling sensitif, dan kadang tidak bisa ditawar tawar. Dari persepsi pelanggan, walau terbiasa di hotel mewah, mereka happy-happy saja menginap di hotel bintang 2 asalkan sprei dan toiletnya bersih. Juga dari persepsi pelanggan, mereka rela melewati jalan yang kurang nyaman dan mungkin makan waktu, hanya karena ingin menikmati kenangan manis di puncak Salib Kasih atau Air Terjun Situmurun dan Silimalombu.

Soal perut atau makan, paling sering mereka menggerutu kalau lokasi rumah makannya jauh dan jenis makanan yang kurang bervariasi serta kurang hygienis, apalagi kalau sudah menyangkut asasi atau iman.

Pernah kami belajar menyiapkan makanan vegetarian kepada Duta Besar India dan keluarga di tahun 2018, ternyata telor pun tak bisa. Nah di jamuan ke dua di rumah dinas salah satu kepala daerah pun, disamping tahu, tempe dan sayur, kami spekulasi menyiapkan ikan teri sambal, ngak dimakan juga.

Demikian hal nya dengan Hula Hula atau tamu atau wisatawan yang Muslim, mereka memang mengimani untuk makan di tempat yang sesuai dengan yang dia percayai. Nah keberadaan atau kebutuhan mereka yang datang kesini berhari hari dan belanja ini lah yang perlu kita sediakan sehingga mereka mendapat kenangan manis di Danau Toba dan akan bercerita mempromosikan Toba kemana-mana.

Syukur-syukur mereka bisa jatuh cinta yang dalam pada naniura atau natinombur, asal jangan dipatenkan mereka pulak di kampungnya. Doaku.

Begitulah akhirnya kami melihat kesiapan kuliner yang baik ini merupakan salah satu faktor kunci di kawasan Danau Toba. Dalam semua event, sebisanya kami mendukung dengan tambahan festival kuliner.

Kami juga masih belum berhasil mengeksekusi dan mungkin kehilangan momentum untuk Festival Sayur Kol @Siborongborong dengan menghadirkan para Namboru Panjaitan dan tentunya sang superstar Anjing rasa Kambing atau sebaliknya.

Juga kami masih belum tuntas memprovokasi Amang Monang Naipospos dan Lae Pariang di Laguboti untuk program pemberdayaan komunitas lokal (penampilan berjadwal Saturday Cultural Embas) dengan Festival Kuliner Batak.

Baru disini saya dijelaskan bahwa budaya Batak asli pun bukan dengan babi dan darah. Kiranya Festival itu bisa memperkaya wacana kita dan dapat menjadi atraksi wisata unggulan.

Juga di Laguboti kami melihat masyarakat jualan makanan lokal HARE, seperti bubur sumsum.

Hingga akhirnya 3 hari yang lalu, Boss menanyakan bagaimana tanggapan mu soal Festival Babi nya Bro Togu. Aku katakan tradisi itu realita, bersyukurlah kita ada mereka yang bisa mengeksekusi thema itu, sehingga energi positip untuk memajukan daerah yang kita cintai ini bisa bergulir. Original dan Sustain dan Paten, apalagi kalau proporsional.

Di acara 1.000 tenda Meat, kami mencari B1 dan B2  tak ada. Tentu karena panitia ingin menghargai dan menghormati keberagaman peserta camping. Akhirnya yang laris manis tentu Indomie dan Baso Andaliman.

Begitulah tourism atau pariwisata itu. Tourism is the possibilty of everything. Penuh dengan kejutan. Kejutan yang terus menerus itu basisnya inovasi dan kreatifitas. Inovasi dan kreatifitas itu basis nya adalah SDM. Hanya ketika masuk dalam ranah perencanaan dan roadmap tentu kita harus memasukkan kaidah kaidah yang lazim dan world class standard. Supaya mimpi Amangboru Jokowi bisa terwujud dan ukurannya jelas, kesejahteraan masyarakat.

2021 dia minta fasilitas minimum (Atraksi, Amenitas, Aksesibilitas) sudah tersedia. Kalau sudah bergerak dan tersedia, tentu akan lebih mudah dan realistis mengatur ketidakteraturan yang ada (lingkungan).

Semoga. Amin.

Salam Caldera Of Kings
From SuperVolcano Geopark. rmol news logo article

Basar Simanjuntak
Badan Otoritas Pengembangan Danau Toba

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA