Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penegakan Hukum Salah Kaprah Pasca Aksi 21-22 Mei 2019

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teuku-gandawan-5'>TEUKU GANDAWAN</a>
OLEH: TEUKU GANDAWAN
  • Senin, 19 Agustus 2019, 23:37 WIB
Penegakan Hukum Salah Kaprah Pasca Aksi 21-22 Mei 2019
Aksi di depan Sarinah/Net
TIDAK pernah dinyatakan dan tidak bisa dinyatakan Aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu secara keseluruhan sebagai kegiatan melanggar hukum.

Aksi adalah hak konstitusional rakyat yang hanya memerlukan pemberitahuan dan tidak perlu mendapatkan izin dari Polri. Adalah hak sebagian rakyat untuk berekspresi tentang dinamika Pemilu 2019. Bahwa saat aksi ada kelompok kecil massa yang berbuat keonaran melakukan perusakan fasum dan penyerangan kepada aparat, tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa aksi secara keseluruhan melanggar hukum.

Kita tidak pernah menyatakan seluruh pejabat adalah koruptor, ketika satu dua pejabat tertangkap tangan korupsi karena memang tidak boleh melakukan generalisasi.

Ketika ada sebagian massa yang tidak tersangkut paut dengan pelaku keonaran terkena ekses dari sikap represif aparat, apakah mereka harus berdiam diri? Tidak boleh melarikan diri? Tidak boleh membersihkan diri? Tidak boleh menggunakan fasum di sekitar tempat aksi? Tidak boleh dibantu atau ditolong oleh karyawan pemilik fasum di sekitarnya? Tidak bolehkan rakyat di negara ini membantu rakyat yang melakukan aksi dan terkena ekses aparat untuk diselamatkan atau dibantu?

Bahkan ketika kemarin ada tiga aparat Polri secara tak sengaja terbakar pada aksi mahasiswa di Cianjur, massa di sekelilingnya membantu sedapat mungkin memadamkan api. Apakah itu salah?

Lalu dimana salahnya 29 karyawan Sarinah?

Tidak pada tempatnya 29 karyawan Sarinah atau siapapun di sekitar aksi apapun, bisa dinyatakan sebagai tersangka pendukung pelaku keonaran kecuali memang bisa terlebih dahulu dibuktikan bahwa yang mereka bantu atau tolong adalah pelaku keonaran tersebut.

Dalam hal ini, sebelum menyatakan karyawan Sarinah sebagai tersangka pembantu keonaran, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa yang mereka tolong semuanya adalah gerombolan pelaku keonaran yang tertangkap dan sudah mendapatkan tindakan hukum terlebih dahulu.

Artinya, fakta pembantu keonaran diperoleh dari para pelakunya dari pengembangan kasus hukum pelaku keonaran yang sudah dipidanakan terlebih dahulu. Konyol dan salah kaprah ketika ada orang jadi tersangka karena menolong bukan siapa-siapa, bukan pelanggar hukum.

Kecuali kita hari ini memang sedang berurusan dengan perusakan mental persatuan Indonesia. Di mana rakyat ingin dibiasakan untuk jangan peduli ketika ada aksi massa, karena akan sangat potensial dijadikan tersangka.

Biarkan saja apapun dinamika di lapangan sebuah aksi, apakah ada yang terluka, terkena gas air mata, cedera fatal, terbakar, bahkan terbunuh, maka biarkan saja daripada anda jadi tersangka! Apa itu yang mau kita kembangkan?

Bedakan aksi damai dengan aksi brutal. Rakyat non-peserta aksi juga tidak bodoh. Mereka tentu bisa membedakan mana aksi damai dan aksi brutal. Justru aparat hukum yang dituntut untuk harus lebih cerdas dan lebih bisa membedakan hal ini.

Majelis Hakim persidangan 29 karyawan Sarinah harus cerdas melihat hal ini. Jangan sampai rakyat berkesimpulan hukum dibuat untuk menghukum sembarang orang sesuai selera aparat hukum.

16 Agustus 2019, 09.00 merampas kemerdekaan di jelang hari kemerdekaan. rmol news logo article

Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA