Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Amerika Memeras Saudi Arabia?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Rabu, 01 Mei 2019, 09:21 WIB
Amerika Memeras Saudi Arabia?
Gedung Putih/Net
PRESIDEN Amerika Donald Trump  menyebut mereka bodoh, karena mau membayar sebesar 500 juta dollar Amerika, hanya oleh sebuah panggilan telpon. Cerita ini diungkapkan oleh Trump di depan pendukungnya secara terbuka dalam rapat umum bernuansa kampanye "Make America Great Again", di Green Bay, Wisconsin, sebagaimana dilaporkan Aljazeera.

Dengan nada mengolok-olok orang nomor satu yang sangat dihormati di Saudi Arabia, yang digambarkannya terkejut dan marah sebagai reaksi atas permintaan dirinya melalui telpon. Akan tetapi  Raja Salman tak berdaya atau tidak berani menolaknya. "Mereka tidak punya apa-apa, kecuali uang cash", lanjut Trump. Sampai saat ini, belum ada reaksi dari pihak Kerajaan Saudi, dalam bentuk protes atau bantahan.

Apakah hal ini merupakan modus baru Trump untuk menunjukkan kehebatannya sebagai Presiden Amerika, yang layak dipilih kembali sebagai bagian dari kampanye menjelang pemilu tahun depan? Sangat mungkin.
Sebenarnya hal serupa sudah sering dilakukan oleh presiden-presiden Amerika sebelumnya terhadap sejumlah pemimpin negara Arab kaya di kawasan Teluk. Akan tetapi, selama ini dilakukan dengan cara yang canggih, halus, dan santun, serta tidak pernah dibuka ke publik.

Salah satu modusnya: Memberi tahu negera-negara Arab kaya yang dermawan, bahwa uang yang mereka kirimkan baik atas nama kerajaan atau yayasan sosial, banyak yang disalahgunakan untuk keperluan terorisme. Akibatnya, aliran dana ke negara-negara muslim jadi seret. Dengan demikian, kue yang bisa dinikmati Amerika semakin besar.

Cara kampanye Trump lainnya yang juga layak dicermati, kemungkinan ia akan meniru Benyamin Netanyahu yang berhasil menjadi Perdana Mentri Israel terlama. Bibi panggilan akrabnya, mengeksploitasi emosi rakyatnya dengan cara yang sangat canggih sebagai bagian dari instrumen kampanye. Ia memanfaatkan ketakutan bangsa Israel yang berada di wilayah yang kecil, yang dikelilingi oleh bangsa Arab yang jumlahnya puluhan kali, dengan wilayah yang sangat luas.

Setiap kali menjelang pemilu, ia mengkombinasikan narasi ketakutan dan kebencian rakyatnya, dengan serangan militer terhadap tetangga-tetanganya seperti Palestina, Lebanon, dan Suriah. Terbukti cara ini sangat ampuh, sehingga Bibi terpilih berkali-kali, membuat dirinya menjadi pemimpin terlama negara Israel.

Cara serupa sebenarnya pernah dimainkan oleh seniornya di Partai Republik, yaitu Presiden Amerika George Bush, baik yang senior maupun yang junior.  Dua Presiden Amerika yang memiliki hubungan ayah dan anak ini, mengeksploitasi kemarahan dan kebencian rakyatnya terhadap sejumlah tokoh Arab dan/atau Islam, yang diiringi dengan tindakan militer.

George Bush senior mengeksploitasi figur kebencian rakyatnya terhadap Presiden Irak Saddam Husein, yang dituduhnya sebagai sumber kekacauan di Timur Tengah, karena menyerang tetangganya Kuwait. Diikuti dengan penyerbuan terhadap negara 1001 malam ini. Serangan ini berhasil mengusir tentara Irak dari Kuwait, dan membuat lumpuhnya kekuatan militer Saddam, sekaligus menghancurkan ekonominya. Sayangnya ia gagal menurunkan Saddam dari singgasananya, yang berakibat gagalnya ia memperoleh tiket untuk menjadi Presiden Amerika untuk kedua kalinya.

Sementara George Bush junior lebih beruntung, sebenarnya ia melakukan hal yang serupa, dengan cara menuduh Saddam memiliki senjata pemusnah massal yang mengancam tetangga-tetangganya, dan terlibat peristiwa 21 September 2001, yang mengakibatkan runtuhnya WTC di kota New York. Ia kemudian menggempur Irak dan berhasil menggulung regim Saddam. Lebih dari itu, ia juga berhasil menggiring tokoh kontroversial ini ke tiang gantungan.

George Bush junior sebelumnya telah menggempur Afghanistan yang dipimpin Taliban,  dengan tuduhan melindungi Osama bin Ladin sang memimpin Al Qaida, yang juga dituduh sebagai dalang peristiwa 11 September. Atas  prestasinya ini, ia kemudian mendapatkan tiket untuk menjadi Presiden Amerika untuk kedua kalinya.

Kini menjelang pemilu di Amerika,  muncul tanda-tanda Donald Trump  akan mengikuti jejak seniornya dari Partai Republik dan sahabat karibnya dari Israel. Ia menggunakan narasi kebencian terhadap etnis-etnis bukan kulit putih di negaranya, dan penganut agama Islam. Sementara negara yang akan menjadi sasaran langkah militernya saat ini adalah Iran.

Sampai kapan negara-negara Arab kaya mau diperas Amerika? Kalau kini Raja Salman yang dipermalukan, maka para pemimpin Arab kaya yang lain harus bersiap-siap menerima giliran, dibuka aibnya di depan publik.

Dan berapa banyak lagi korban kekerasan bermotif kebencian akibat narasi kampanye bernada anti Islam dan anti kulit putih yang terus dimainkan Trump? Sementara kekerasan yang menggunakan senjata api, yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, yang terjadi di berbagai tempat suci seperti masjid, gereja,  maupun sinagog di negrinya sendiri terus terjadi?

Dalam skala global narasi kebencian yang dikumandangkan Donald Trump telah menimbulkan serangan masjid di New Zealand. Serangan ini sudah menimbulkan gerakkan pembalasan dalam bentuk serangan ke gereja di Srilangka. Apakah semua ini akan diteruskan? rmol news logo article
Pengamat politik Islam dan demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA