Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peran Kapal Induk Amerika Di Timur Tengah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Selasa, 30 April 2019, 10:24 WIB
Peran Kapal Induk Amerika Di Timur Tengah
USS Dwight D. Eisenhower/Net
KAPAL induk dalam bahasa Inggris disebut aircrafts carrier yang makna harfiahnya adalah pembawa pesawat. Memang sejarah awal dibuatnya kapal induk untuk tujuan mengangkut pesawat tempur. Lebih dari itu, bagaimana pesawat yang dibawanya bisa take off dan landing di deck kapal. Agar tidak mudah diserang lawan, maka kapal induk harus dilengkapi persenjataan.

Berkat kemajuan teknologi, semakin lama ukuran kapal induk semakin besar. Dengan demikian pesawat yang diangkutnya juga semakin banyak, begitu juga jumlah pasukan yang dibawanya. Karena itu, kapal induk berubah fungsi menjadi pangkalan yang berjalan.

Beberapa hari yang lalu, kantor berita Iran Tasnim mempublikasikan rekaman yang dibuat oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), dengan menggunakan drone (UAV) buatan dalam negeri Iran bernama Ababil-3, terhadap kapal induk Amerika bernama USS Dwight D. Eisenhower yang sedang berlayar di Teluk Parsi atau Teluk Arab.

Apa yang dilakukan Teheran, bisa dilihat sebagai bagian dari perang urat syaraf dengan Washington, seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Iran vs Amerika. Permusuhan kedua negara meningkat drastis, akibat upaya Amerika menghentikan aliran minyak Iran ke luar negeri dengan cara memaksa para pembelinya berhenti mengimpor. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan Teheran, mengingat minyak masih menjadi tumpuan utama sebagai penggerak roda ekonominya.

Ada beberapa pesan yang bisa dibaca dari publikasi tersebut: Pertama, Iran punya kemampuan mengikuti gerak-gerik Amerika di sekitar wilayahnya, dan terus mengumpulkan data dan informasi terkait kekuatan militer negara yang kini dipimpin Donald Trump. Kedua, Iran sama sekali tidak gentar menghadapi besarnya pasukan Amerika yang digerakkan ke kawasan Teluk. Hal ini dibuktikan dengan manuver militernya dalam bentuk latihan perang, setiap kali armada Amerika mendekati perairannya, sehingga berulang kali hampir menimbulkan insiden.

Salah satunya ketika kapal induk John Stennis melewati Selat Hormus Desember tahun lalu, untuk bergabung dengan armada Amerika yang sudah lebih dahulu berada di kawasan Teluk. Iran menggelar latihan militer yang diberi nama "Great Prophet 12." Salah satu dari 30 kapal patroli cepat yang ikut latihan, melepaskan rudal, meskipun tidak diarahkan ke konvoi kapal-kapal Amerika.

Ketiga, Iran sudah menguasai teknologi drone atau pesawat tanpa awak, baik untuk keperluan patroli dan mata-mata, maupun yang dipersenjatai untuk keperluan menyerang lawan.

Lebih dari itu, Iran juga memiliki kemampuan untuk mengambil-alih drone jika berani memasuki wilayah udaranya. Hal ini dibuktikan saat mengambil-alih drone milik Amerika yang dikendalikan dari pangkalan militernya di Afghanistan. Meskipun Amerika berkali-kali memohon, agar drone miliknya yang hilang dikembalikan, akan tetapi Teheran dengan tegas menolaknya.

Perlu dipahami, tingkatan-tingkatan negara dalam penguasaan teknologi drone. Level pertama, jika sebuah negara bisa mengetahui ada drone memasuki wilayah udaranya. Level kedua, jika ia mampu mengusirnya, atau menembaknya. Level ketiga, jika ia mampu menyadap atau memantau informasi yang sedang dikumpulkannya. Level keempat yang merupakan tingkatan paling tinggi, jika mampu mengambil-alih kendali, lalu mendaratkannya dengan selamat ke wilayah yang dikuasainya.

Keberadaan kapal induk USS Dwight D. Esenhower di perairan internasional dekat pantai Iran, merupakan salah satu kapal induk milik Amerika yang diperbantukan di Timur Tengah. Kapal induk lain yang sudah lebih dahulu berada di kawasan ini adalah USD John C. Stennis yang sebelumnya beroperasi di Samudra Hindia.

Menurut Washington Post, kekuatan Amerika yang kini sudah berada di atas perairan Teluk, paling tidak 2 kapal induk kelas Nimitz bertenaga nuklir, masing-masing mampu mengangkut lebih dari 5.000 pasukan, dan lebih dari 50 pesawat tempur, serta berbagai jenis helikopter. Ditambah dengan 20 kapal perang berbagai jenis bersama pasukan yang mengoperasikannya. Sehingga secara keseluruhan diperkirakan ada sekitar 20.000 prajurit Amerika saat ini dalam keadaan siaga.

Bila diperlukan, Amerika bisa menambah kekuatannya dengan menggunakan pangkalan militernya di Afghanistan, mengingat lemahnya pemerintahan di Kabul, sehingga sulit untuk menolak bila diperlukan. Sementara pangkalan lain yang cukup besar dan strategis berada di Irak, diperkirakan akan sulit digunakan, dikarenakan sikap politik Bagdad sangat pro-Iran.

Jika sampai terjadi perang, maka dipastikan Israel tidak akan bisa berbuat banyak membantu tuannya. Di samping karena secara geografis cukup jauh, juga secara politis akan membuat sejumlah negara Arab dan negara muslim akan merapat ke Iran. Amerika pasti sadar betul resiko ini.

Sementara negara-negara Arab anti Iran di kawasan Teluk,  khususnya yang ditempati pangkalan militer Amerika tidak akan berani mengambil posisi di depan, dan bukan mustahil menolak memberi ijin digunakannya pangkalan Amerika di negaranya untuk menyerang Iran, karena takut menjadi sasaran balasan.

Karena itu armada kapal perang, khususnya yang berupa kapal induk akan menjadi tumpuan utama. Bila hal ini terjadi, maka medan pertempuran utama akan terjadi di kawasan perairan Teluk yang sempit. Kemudian dipastikan Iran akan menutup Selat Hormuz yang sempit yang menjadi pintu keluar dan masuknya kapal di kawasan ini, untuk memutus suplai logistik, pengiriman amunisi, maupun tambahan tentara dari luar, sebagaimana berkali-kali disampaikan oleh para pemimpin Iran. Lebih dari itu militer Iran sudah melakukan simulasi dan latihan bagaimana cara melakukannya.

Konsekwensinya adalah pengiriman minyak dan gas keluar kawasan Teluk akan terhambat. Meskipun sejumlah negara Arab di kawasan ini sudah membangun pipa-pipa lintas negara sampai ke pantai Oman maupun daratan Turki, baik untuk mengekspor minyak maupun gasnya sebagai alternatif. Akan tetapi, dipastikan saluran pipa yang ada, belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan negara-negara importir. Karena itu tanker masih tumpuan sebagai alat angkut sampai saat ini.

Jika hal ini terjadi, maka yang lebih menderita adalah negara-negara yang masih mengandalkan sumber energinya dari kawasan ini, baik yang berupa minyak bumi maupun gas, seperti Perancis, Ingris, Italia, Jerman di kawasan Eropa, dan Jepang, Korea, Taiwan, Singapura di kawasan Asia, serta negara-negara lain yang masih mengimpor minyak atau gas sebagai sumber energinya. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA