Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Amerika Terperangkap Di Afghanistan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Minggu, 28 April 2019, 09:10 WIB
Amerika Terperangkap Di Afghanistan
Foto: Net
SEJUMLAH bangsa besar pernah merasakan ganasnya gurun gersang yang bergunung-gunung yang mendominasi negri bernama Afghanistan.
Tahun 1839, penjajah Inggris mengirim pasukannya dengan memanfaatkan sengketa penguasa saat itu; Amir Dost Mohammad Khan dari dinasti Barakzai dengan mantan penguasa bernama Shah Shujah dari dinasti Durrani.

Pasukkan Inggris berhasil masuk kota Kabul dengan mudah, kemudian menjadikan Syah Shujah sebagai rezim bonekanya.

Rakyat Afghanistan menolak kehadiran tentara asing di negrinya, kemudian melakukan perlawanan dalam bentuk pemberontakan. Pasukan Inggris yang dibantu Gurkha asal India kewalahan menghadapinya.

Pada tahun 1842, Inggris memutuskan untuk meninggalkan Kabul. Pada saat itu Afghanistan sedang berada dalam puncak musim dingin. Pasukan yang tidak dilengkapi dengan pakaian musim dingin memadai, sangat mungkin karena keputusan diambil secara tergesa-gesa, mengakibatkan seluruh pasukkan termasuk pasukan Gurkha yang berjumlah 4.500 terkubur di gurun Afghanistan.

Bangsa besar lain yang juga merasakan kepedihan di Afghanistan adalah Rusia, yang waktu itu menggunakan bendera Uni Soviet tergoda untuk memperbesar dan memperluas cengkramanya, saat melihat konflik tidak berkesudahan elite penguasa Afghanistan yang berhaluan Komunis-Leninis dalam memperebutkan kekuasaan.

Akibatnya, pemerintahan semakin hari semakin lemah, sementara Mujahidin yang menjadi lawannya semakin lama semakin kuat.  

Kekhawatiran Moscow  yang melihat semangat Islam yang menjadi sumber motifasi Mujahidin, ditambah pengaruh Revolusi Islam di Iran yang menjadi tetangganya, menimbulkan kekhawatiran lepasnya Kabul dari pengaruhnya. Uni Soviet lalu mengirim 30.000 pasukannya untuk melindungi sekutunya ini.

Menyaksikkan pergerakan besar tentara Uni Soviet memasuki Afghanistan, negara-negara yang tergabung dalam NATO merasa terancam. Pakistan yang bertetangga langsung yang menjadi sekutu Amerika, posisinya menjadi terjepit. Selain itu, negara-negara yang tergabung dalam NATO, berkepentingan membendung meluasnya pengaruh Uni Soviet di kawasan Asia.

Bahkan sejumlah pengamat juga melihat, medan Afghanistan membuka peluang khususnya bagi Amerika untuk menebus kekalahan yang memalukan dalam melawan regim Komunis di Vietnam. Karena itu sering digunakan istilah Afghanistan merupakan Vietnam bagi Uni Soviet.

Amerika kemudian menggalang kekuatan Barat dan dunia Islam, untuk menghadapinya. Muncullah kemudian aliansi global melawan Uni Soviet yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Saudi Arabia. Saudi bertanggung jawab terkait logistik.

Tidak hanya mengandalkan dana Kerajaan, pemerintah Saudi juga melakukan fundraicing di kalangan pengusaha dan masyarakat Arab, dengan alasan jihad melawan kaum kafir atheis Komunis Uni Soviet. Dari sinilah muncul tokoh yang lahir dari keluarga pengusaha kaya dan terhormat di dunia Arab bernama Osama bin Laden.

Osama bukan saja sukses mengumpulkan dana, akan tetapi ia juga terjun langsung di medan perang, sehingga ia mampu mendistribusikan logistik yang dibawanya tepat sasaran. Prestasi ini kemudian meningkatkan kepercayaan sekaligus melambungkan namanya.

Sementara itu, Amerika dan NATO bertanggung jawab terhadap suplai senjata dan dukungan intelijen. Untuk keperluan ini, CIA bekerja sama dengan intelijen Pakistan bernama Inter Service  Intelelligence (ISI).

CIA juga bekerjasama dengan banyak badan intelijen di negara-negara muslim, untuk keperluan memobilisasi para pemudanya untuk ikut berjihad. Para pemuda Indonesia termasuk ikut berpartisipasi. Salah seorang ulama yang berperan besar dalam masalah ini adalah Abdullah Sungkar.

Pakistan juga menyediakan wilayahnya sebagai tempat transit para calon Mujahiddin yang datang dari seluruh dunia.

Di perbatasan antara Pakistan-Afghanistan didirikan kamp-kamp untuk tempat pelatihan militer para calon Mujahiddin. Setelah siap mereka diterjunkan ke medan perang Afghanistan lewat jalur darat.

Pintu masuk utama yang sangat terkenal karena menjadi tempat lalu lalangnya para mujahiddin, bernama Khyber Pass yang berlokasi dekat kota Pshawar.

Setelah hampir sepuluh tahun berjuang, akhirnya tentara Rusia dipukul mundur. Tentara Beruang Merah yang sangat terkenal akhirnya ditarik pulang dengan wajah tertunduk.

Kekalahan di Afghanistan, menimbulkan keguncangan politik, mengingat besarnya korban. Diperkirakan lebih dari 14.000 tentaranya tewas, lebih dari 50.000 luka-luka. Kas negaranya di Moscow terkuras, sehingga menimbulkan krisis ekonomi. Akibatnya Uni Soviet yang sebelumnya sangat perkasa runtuh secara mendadak.

Amerika berusaha untuk mendekati Rezim Mujahiddin sebagai penguasa baru di Kabul. Walaupun dibantu oleh Amerika dan negara-negara NATO, rezim Mujahidin tidak mudah memberi konsesi.

Gagal mendekati regim Mujahiddin, Amerika kemudian mendorong Taliban yang berbasis di Pakistan untuk mengambil alih kekuasaan. Inisiatif Amerika ini mendapat dukungan dari Saudi Arabia, karena paham keagamaan Taliban sangat dekat dengan faham keagamaan para penguasa di Riad, yang dikenal dengan sebutan Wahabi atau Salafi yang sangat puritan dan konservatif.

Sementara Mujahiddin lebih modern dan moderat, selain juga sangat toleran mengingat banyaknya faksi yang bergabung, yang memiliki latar belakang faham keagamaan dan suku yang beragam.

Sementara Pakistan mendukung, karena kelompok Taliban lebih dekat dengan penguasa di Islamabad.

Setelah Taliban mengambil alih kendali pemerintahan di Kabul, ternyata Amerika lebih sulit lagi mendekatinya.

Amerika lalu membangun aliansi utara dengan tokoh utamanya Abdul Rasyidin Dostum yang berasal dari suku Uzbek dan dikenal sangat pragmatis.

Selanjutnya, dengan didukung Kanada dan Australia, Amerika terjun langsung ke gelanggang untuk merontokkan kekuatan militer Taliban, sekaligus membuka jalan aliansi Utara untuk masuk ke Kabul.

Setelah Kabul jatuh, Amerika mendirikan pemerintahan boneka yang bertahan sampai sekarang.

Saat Mujahiddin berkuasa, pemerintahan dikuasai oleh suku-suku besar seperti Pasthun, Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek, Turmen, dan kelompok-kelompok lain yang lebih kecil. Saat Kabul beralih ke Aliansi Utara setelah regim Taliban tumbang, nama-nama para Mujahiddin yang berasal dari seluruh dunia berubah menjadi daftar teroris.

Amerika kemudian mengampanyekan perang melawan terorisme. Mereka yang sebelumnya diundang dan disanjung, berubah tiba-tiba menjadi musuh negara yang harus diburu.

Sementara Osama yang sebelumnya menjadi sekutu Kerajaan Saudi Arabia dan Amerika, balik badan disebabkan ia tidak setuju dengan Saudi Arabia ikut dalam aksi militer penggulingan Saddam Husein.

Osama sangat kecewa dan marah kepada Saudi Arabia dan para pemimpin negara-negara Arab yang mengizinkan wilayahnya ditempati secara permanen oleh tentara asing dalam bentuk pangkalan-pangkalan militer.

Kemarahan dan kekecewaannya kemudian melahirkan Al Qaeda.

Menurut sejumlah pengamat ekonomi politik, keterlibatan negara barat pimpinan Amerika dalam perang Afghanistan, ada kaitannya dengan perebutan sumber-sumber energi di seluruh dunia.

Mereka berkepentingan untuk mengamankan cadangan minyak dan gas bumi yang sangat besar di kawasan laut Kaspia. Gas dan minyak di wilayah ini baru memiliki nilai keekonomiannya, jika bisa dipompa keluar dan berhasil dialirkan melalui pipa untuk kemudian diangkut melalui Laut Arab.

Pakistan yang memiliki pantai di Laut Arab dan menjadi sekutu Amerika tidak memiliki masalah.

Negara-negara di Asia Tengah yang memiliki otoritas terhadap kawasan laut Kaspia juga sudah membuka pintu. Karena itu Afghanistan sebagai wilayah yang harus dilalui pipa ini menjadi penentu. Jika proyek ini berhasil, diharapkan akan mengurangi pengaruh Rusia dan Iran di kawasan ini.

Setelah lebih dari 17 tahun di Afghanistan, dengan kerugian paling sedikit 8.000 tentara dan pendukung sipilnya tewas, 20.000 luka-luka. Tidak terhitung jumlah mereka yang pulang menderita gangguan jiwa, ditambah lebih dari  714 miliar dolar AS  dana pemerintah Amerika terkuras sebagaimana dilaporkan Special Inspector General for Afghanistan (SIGAR).

Semua ini membuat Amerika di bawah Presiden Donald Trump yang pragmatis, ingin segera meninggalkan Afghanistan. Akan tetapi rezim yang berkuasa di Kabul menahannya, dengan dua alasan:

Pertama, tanpa tentara asing yang dipimpin Amerika, maka menurut Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, pemerintahnya yang hanya mengontrol 6 persen wilayahnya, tidak akan bisa bertahan lebih dari enam bulan.

Kedua, tanpa dukungan dana Amerika, ekonomi Afghanistan akan segera runtuh.

Untuk melancarkan jalan mundur, Amerika sebenarnya sudah bersedia berunding dengan perwakilan Taliban yang berkantor di Doha, dan dimediasi oleh Pemerintah Qatar. Akan tetapi, berkali-kali mengalami kegagalan.

Amerika meminta Taliban untuk berpartisipasi dalam pemilu, dan membuka jalan kekuasaan dengan cara damai.

Sementara Taliban memberikan syarat, pasukan asing harus keluar terlebih dahulu, dengan alasan bangsa Afghanistan bisa menyelesaikan urusan mereka sendiri tanpa perlu campur-tangan asing.

Sementara itu, peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantakan menara kembar World Trade Center di New York, yang dijadikan legitimasi tentara NATO datang ke negeri ini, sampai saat ini masih terus dipertanyakan, termasuk oleh para ilmuwan barat;

Siapakah aktor utama dan dalang sebenarnya, peristiwa besar yang membelokkan jalannya sejarah dunia abad ini?rmol news logo article


Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA