Khusus untuk menyelesaikan kekeÂcewaan masalah-masalah yang bersiÂfat keagamaan, mereka memiliki "ijtihad" lokal, misalnya menyelesaikan masalah shalat, ia terpaksa harus menjamak beÂberapa shalat yang tidak bisa dilakukan di lapangan atau di tempat kerja. MenÂgatasi terbatasnya produk-produk halal, mereka menyiasati dengan membawa makanan sendiri ke mana pun ia berada. Mereka yang bekerja di restoran dan harÂus mengolah daging babi, ia melakukan pembersihan (syarthu) di rumahnya setÂelah ship-nya selesai. Soal pemakaman muslim mereka membeli kapling kuburan secara berjamaah.
Soal shalat Jum'at mereka membenÂtuk asosiasi pekerja muslim dan secara kelembagaan meminta kepada pimpinanÂnya untuk diizinkan menjalankan shalat Jum'at dan sekaligus meminjam tempat untuk menyelenggarakannya. Soal disÂkriminasi meraka bersama-sama menyeÂwa lawyer untuk membela hak-haknya. Soal pendidikan agama untuk anak-anak, mereka menyewa aula atau sekolah seÂtiap hari Sabtu dan Minggu untuk dijadiÂkan madrasah sekaligus mendatangkan guru dari negerinya atau dari kalangan mereka sendiri yang memiliki waktu dan kemampuan.
Soal mazhab yang berbeda dengan negeri asalnya juga sudah mulai berÂadaptasi. Mereka mengambil prinsip tolÂeransi mazhab dan aliran. Mungkin di negeri asalnya sering menghujat mazhab atau aliran tertentu tetapi di negeri barÂunya terpaksa harus hidup dengan maÂzhab atau aliran itu karena prinsip ushul akhaff al-dhararain (memilih pendapat yang paling kecil resikonya).
Belakangan dengan semakin kuatnya wawasan dan keilmuan anak-anak musÂlim di Barat maka trauma dan rasa minder sudah berangsur-angsur hilang. Bahkan tidak sedikit jumlah dari generasi lapis kedua muslim menduduki posisi strateÂgis, seperti di perusahaan multi-national di Eropa dan AS. Contoh lain, beberapa pemain bola nasional Perancis dan BeÂlanda berasal dari muslim keturunan Al- Jazair dan Indonesia.
Soal politik, komunitas muslim lokal serÂingkali menjadi jembatan (brigin) antara pemerintah dengan negeri asal imigran tersebut. Kehadiran imigran muslim juga dimanfaatkan untuk "menjinakkan" kelÂompok ekstrimis yang menyempal di neÂgerinya. Kini komunitas muslim di negeri non-muslim menghadapi babak baru.