Khalifah Umar ibn Abdul Aziz lahir pada taÂhun 63H/682M dengan usia pendek, hanya 35 tahun. Ia wafat karena diracun oleh pemÂbantunya. Meskipun ia memerintah kurang dari tiga tahun, tetapi berhasil mengembaÂlikan suasana kehidupan masyarakat dan keumatan seperti pada zaman KhulafaurraÂsyidin. Ia khalifah dikenal sangat bersahaja. Ia hanya memiliki satu stel baju kekhalifaÂhan sehingga harus menunggu kering baru bisa digunakan di depan publik. Ketika daÂlam keadaan kritis, ia ditanya apa yang engÂkau akan wasiatkan kepada anak-anakmu. Ia menjawab aku tidak mewasiatkan apa-apa karena aku tidak memiliki apa-apa. "Jika anak-anakku orang saleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika merÂeka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan harta itu untuk mendurhakai Allah".
Sebuah pengalaman menarik yang perlu dicontoh dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz oleh para pejabat publik, pada suatu malam ketika masih menjalankan tugas-tugas peÂmerintahan di Istana, tiba-tiba salahseorang anaknya mengetuk pintu kamarnya untuk membicarakan sesuatu. Sebelum membuka pintu, Umar Ibn Abdul Azis menanyakan keÂpada anaknya, apakah yang akan dibicaraÂkan itu urusan pribadi keluarga atau uruÂsan Negara. Sang anak menjawab urusan keluarga. Mendengarkan jawaban itu maka sang ayah langsung mematikan lampu lalu mempersilakan anaknya masuk. Sang anak bertanya kenapa lampu dimatikan? Dijawab ayahnya bahwa lampu ini dimaksudkan unÂtuk kepentingan negara, bukan untuk keÂpentingan pribadi. Yang kita akan bicaraÂkan adalah urusan pribadi makanya lampu ini lebih baik kita matikan. Sang anak pun mengerti, memahami, dan sekaligus belajar tentang kejujuran.
Pengalaman ini menarik untuk dijadikan renungan, bahwa betapa banyak rumah jaÂbatan atau rumah dinas yang sesungguhnya dimaksudkan untuk mempermudah menguÂrus urusan masyarakat dan kenegaraan. Jika rumah jabatan dengan segala macam fasiliÂtasnya yang disediakan oleh negara lantas lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga, apalagi diserahkan kepada orang lain atau keluarganya menemÂpatinya, maka sungguh bertentangan denÂgan apa yang dialami Khalifah Umar Ibn AbÂdul Aziz. Seandainya ada pilihan, lebih baik menggunakan rumah pribadi untuk menguÂrus negara ketimbang menggunakan rumah negara untuk kepentingan pribadi. Ini rumah jabatan, apa lagi kantor.
Jika fasilitas Negara yang ada di kantor dan di rumah jabatan digunakan untuk kepentinÂgan pribadi, keluarga, atau golongan, maka pertanggung jawabannya di dunia apalagi di akhirat, tentu sangat beresiko. Mungkin sesÂeorang bisa saja merekayasa pengeluaran di kantor atau di rumah dinas sehingga tidak terlacak ada pelanggaran di mata inspekÂtorat atau BPK dan KPK, tetapi mata Allah Swt pasti tidak bisa dibohongi. Jangan samÂpai kenikmatan sesaat tetapi akibatnya harus ditebus di dalam neraka selama bertahun-taÂhun. Kini kita memerlukan pribadi dua Umar, yaitu umar ibn Khathab dan Umar ibn Abdul Aziz, yang kedua-duanya anti korupsi.