Suatu saat Umar ibn Khathab pernah mendapatkan hadiah berupa selembar sajaÂdah istimewa dari Abu Musa al-Asy'ary, GuÂbernur Kufa, yang tidak lain sesungguhnya adalah sahabat dekatnya. Di luar dugaan, tanpa memperhatikan kemewahan sajadah yang dibikin khusus itu, Khalifah Umar meÂlemparkan sejadah itu kembali ke Abu Musa al-Asy'ary seraya mengatakan dengan suÂara yang keras: "Apa yang memotifasi anda memberikan sajadah ini? Ambil kembali, kami tidak memerlukan barang ini!". Tentu saja Abu Musa al-Asy’ari kecewa namun ia mengambil hikmahnya, kalau dirinya juga harus melakukan hal yang sama terhadap para bupati yang melakukan hal yang sama terhadapnya.
Pengalaman lain, Khalifah Umar pernah mendapatkan hadiah khusus berupa makaÂnan yang sudah pasti istimewa dari Gubernur Azerbejan yang dibawa oleh utusan khusus. Umar menerima kiriman itu dan bertanya keÂpada utusan yang membawanya: "Apakah makanan ini umum dikonsumsi oleh rakyat di sana?". Utusan itu menjawab: "Tidak BagÂinda, makanan ini adalah makan istimewa untuk kelas atas". Mendengarkan keteranÂgan itu, Khalifah Umar menanyakan kepada utusan itu: "Mana untamu?" Lalu Umar meleÂtakkan kembali pemberian itu ke pelana unta sambil mengatakan: "Bawa kembali makaÂnan ini kepada tuanmu, sampaikan pesan saya: 'Takutlah kepada Allah dan kenyangÂkan dulu rakyatnya dengan makan yang biaÂsa dia makan baru memberi hadiah kepada orang lain'.
Dua contoh di atas cukup bagi kita untuk meÂnyimpulkan bahwa pantas Khalifah Umar ibn Khathab dikenang di dalam sejarah. Pantas ekspansi dan futuhat-nya diterima baik di seluÂruh negeri yang dikunjunginya, karena ia adaÂlah sosok khalifah pro-rakyat. Di mana negeri didatangi Umar di situ ia disambut dengan hati yang gembira, sekalipun agama masyarakat itu berbeda dengan agama Umar.
Pengalaman ekspedisi Khalifah Umar mengunjungi Yerusalem, warga setempat lansung menjalin kerjasama dengan Khalifah Umar dengan menandatangani persepakaÂtan yang terkenal dengan Piagam Aelia. Inti perjanjian itu Khalifah Umar dianggap sebaÂgai tokoh pembebas warga Kristen lokal YeÂrusalem dari warga Kristen Romawi-ByzanÂtium yang menguasai mereka sejak lama. Warga Kristen lokal lebih rela dipimpin KhaliÂfah Umar yang muslim ketimbang kaki-tanÂgan Raja Romawi-Byzantium yang Kristen. Masyarakat setempat lebih memilih taat keÂpada Piagam Aelia ketimbang mengakui haÂsil Konsili Kalsedon, yang dihasilkan Kristen Roma-Byzantium. Pada saat bersamaan Kristen lokal Aelia juga membenci kaum YaÂhudi dan kuil Solomon mereka dijadikan temÂpat pembuangan sampah. Perjanjian Aelia memberikan jaminan eksistensi terhadap tiga agama dominan sebelumnya yaitu YahuÂdi, Kristen lokal, Keristen Orthodox Romawi- Byzantium, dan tentu saja ditambah dengan Islam. Pribadi agung seorang Khlifah Umar lebih disukai masyarakat setempat, sekaÂlipun berbeda agama.