Dalam perspektif tasawuf, tawadhu dialamatÂkan kepada orang-orang yang tunduk, patuh, dan khusyu' semata-mata hanya kepada AlÂlah Swt. Allah di atas segala-galanya. Orang seperti ini keakuan dirinya telah hilang diganÂtikan dengan kerendhaan. Orang yang seperti inilah yang diberi angin syurga, sebagaimana firman Allah: "Dan berilah kabar gembira keÂpada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (QS. 22:34). Orang-orang yang tunduk dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang tawadhu'. Dalam ayat lain dikatakan: "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati." (QS.25:63). Hamba-hamba Tuhan yang dimaksud dalam ayat ini orang-orang yang khusyu' dan tawadhu'.
Sebaliknya orang yang angkuh dan sombong tidak akan mencium bau syurga dan mereka paling banter hanya dapat bagian dunianya. Nabi SAW. bersabda: "Orang yang dalam hatinÂya ada kesombongan walau sekecil biji dzarrah tidak akan masuk surga. Seorang laki-laki berÂtanya, wahai Rasulullah, bagaimana seseorang yang senang pakaian dan sandalnya bagus?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah maha Indah. Dia cinta kepada yang indah. Sombong adalah berpaling dari kebenaran dan memanÂdang remeh sesama manusia." Hadis lainnya: "Barangsiapa yang bersikap tawadhu', niscaÂya Allah akan mengangkat derajatnya." Dalam kesempatan lain Nabi mengatakan: "Nabi SAW. bersabda: "Sungguh berbahagialah orang yang tawadhu' tanpa kekurangan dan orang yang rendah diri tanpa kehinaan."
Keteladanan Nabi dalam soal tawadhu tak perlu diragukan lagi. Meskipin Nabi dan sekaliÂgus pemimpin kepala begara/masyarakat MadiÂnah? Nabi SAW. selalu menjenguk orang-orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan sesama, mengendarai keledai yang hidungnya sudah diikat dengan tali yang terbuat dari sabut, dan mengalasi pelananya yang juga terbuat dari sabut, memberi makan unta dan kambÂing, menyapu lantai rumah, memperbaiki sanÂdal, menambal baju, makan bersama pembanÂtu, dan membantunya menggiling gandum jika pembantunya lelah, membawa sendiri barang-barang keperluannya dari pasar ke rumahnya, berjabat tangan dengan orang kaya dan miskin, mendahului keduanya memberi salam, tidak pernah mencela makanan yang telah dihidangÂkan kepadanya walaupun hanya berupa kurma kering, sangat sederhana, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam bersikap, baik dalam bergaul, wajahnya bercahaya, tersenyum tanÂpa tertawa, sedih tanpa cemberut, berhati lemÂbut dan kasih sayang terhadap sesama muslim, tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah menÂgulurkan tangan dengan rakus. Sopan-santun dan tawadhu adalah sendi utama terbentuknya masyarakat ideal. Kapan sendi ini hilang maka alamat akan berakhirnya sebuah masyarakat.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan: Likulli ummaÂtin ajal (setiap masyarakat atau orde punya ajal). Masyarakat, umat, atau rezim yang tawadhu umÂumnya berumur panjang. Sebaliknya masyarakat, umat, atau rezim yang takabur, angkuh, dan tak beÂradab umumnya cepat bubar atau hidupnya setenÂgah mati. Kalau mati pun matinya menyedihkan.