Saat di perjalanan saya sempat berdiskusi dengan istri agar saya diopname dengan fasilitas kelas 1 BPJS Kesehatan milik kami sekeluarga. Tetapi istri saya tidak yakin bahwa rumah sakit mau menerima saya dan melayani saya dengan baik jika menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, walau kami punya kelas 1.
Akhirnya saya dan istri kembali memutuskan menggunakan fasilitas kartu asuransi pribadi kami. Bulan Oktober 2018 lalu saya dirawat dan juga akhirnya menggunakan fasilitas asuransi pribadi karena rumah sakit menolak penggunaan fasilitas BPJS Kesehatan.
Sore ini saya setiba di depan meja administrasi IGD ada lembar pengumuman bahwa "Tidak Gawat Tidak Darurat, tidak terancam nyawanya" tidak bisa menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Membaca lembar pengumuman tersebut membuat hati saya ciut dan membatalkan permintaan menggunakan fasilitas BPJS karena takut ditolak tidak diopname dengan alasan karena "tidak gawat, tidak darurat dan tidak terancam nyawanya". Artinya adalah sekarat atau terancam nyawanya dan kritis mau mati dulu baru bisa menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Sementara kondisi badan saya sudah lemas dan demam. Akhirnya saya meminta istri saya menggunakan fasilitas asuransi pribadi kami agar saya bisa diterima rumah sakit dan diopname karena badan saya sudah lemah, ngilu dan sendi-sendi sakit semua.
Pilihannya memang saya akhirnya menggunakan fasilitas asuransi pribadi dan mendiamkan fasilitas BPJS Kesehatan karena karena takut ditolak rumah sakit dengan alasan "tidak gawat tidak darurat".
Padahal program BPJS Kesehatan dibuat oleh pemerintah adalah untuk menjamin pemenuhan hak hidup dan hak kesehatan setiap warga negara Indonesia.
Syarat dan mekanisme yang rumit dan birokratis bagi pasien pengguna BPJS Kesehatan membuat rumah sakit sulit menerima pasien BPJS Kesehatan. Selain itu rumah sakit sulit mendapatkan penggantian biaya atau klaim membuat kesulitan hidup rumah sakit yang dibanjiri oleh pasien BPJS Kesehatan.
Hingga saat ini banyak rumah sakit hampir bangkrut karena tagihan biaya BPJS Kesehatannya sudah berbulan-bulan belum juga dibayar.
Kesulitan dan sangat lambannya klaim tersebut juga membuat rumah sakit membuat alasan untuk menolak atau setidaknya selektif ketat bagi pasien BPJS yang ingin berobat atau dirawat di rumah sakit. Artinya penolakan atau birokrasi pelayanan dan lambatnya pembayaran klaim itu oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit membuat aturan sangat ketat dan sangat birokratis bagi penggunaan fasilitas BPJS Kesehatan.
Akhirnya adalah masyarakat juga jadi korban amburadulnya pengelolaan BPJS Kesehatan, tetap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan walau sudah memiliki fasilitas BPJS Kesehatan.
Beruntung saya masih memiliki alternatif lain yakni asuransi swasta pribadi. Bagaimana pula dengan masyarakat yang hanya mengandalkan layanan BPJS Kesehatan? Tentu banyak yang ditolak oleh rumah sakit karena aturan BPJS Kesehatan yang menerapkan harus gawat, darurat dan mau mati dulu baru bisa gunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Sayang sekali komitmen negara dalam hal ini oleh pemerintah yang melindungi hak kesehatan rakyat tapi dipersulit pelaksanaannya oleh sistem layanan BPJS Kesehatan yang tidak pro hak hidup dan hak kesehatan warga negara.
Melihat kondisi warga negara masih sulit dan belum dilindunginya hak hidup serta hak kesehatannya melalui BPJS Kesehatan maka pemerintah perlu melakukan langkah evaluasi terhadap layanan BPJS Kesehatan juga rumah sakit agar masyarakat mudah mengakses layanan fasilitas BPJS.
Hak hidup dan hak kesehatan adalah kewajiban negara memenuhinya dan harus dipenuhi.
BPJS Kesehatan melalui rumah sakit sebagai alat layanan kesehatan dan alat pemerintah harus melayani masyarakat dan mudah mengakses layanan BPJS agar hak hidup dan hak kesehatannya dilindungi.
Azas Tigor NainggolanAnalis Kebijakan Publik dari Forum Warga Kita Jakarta (FAKTA)
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.