Sangat misterius, batinnya. Mungkinkah ini yang disebut kearifan lokal? Didorong rasa penasaran, ia pun menemui tuan rumah dan mulai bertanya.
"Boleh tahu, Pak, empat lubang di depan rumah Bapak itu untuk apa?" tanyanya.
"Untuk aku masuki," jawab singkat kepala suku.
"Lho, kenapa Bapak harus masuk ke lubang itu?" tanya sang wartawan heran.
"Karena Pak Camat minta fotoku," jawab kepala suku. "Dia minta foto setengah badan."
"Hah?" sang wartawan semakin keheranan. "Maksudnya gimana, Pak?"
"Lubang itu kan dalamnya semeter," jawab kepala suku menjelaskan. "Jadi nanti kalau tukang foto yang kupanggil sudah datang, aku tinggal masuk ke lubang itu."
Sang wartawan
speechless oleh jawaban polos sang kepala suku. Ia garuk garuk kepalanya.
"Kalau masuk lubang kan yang kelihatan setengah badan? Iya, kan? Kan?" sergah kepala suku menambahkan. Ia pun tertawa terbahak-bahak. Kepala suku menertawakan betapa bodohnya wartawan tersebut. Begitu saja tidak paham, batinnya bangga atas kecerdasannya sendiri.
Di sisi lain, sang wartawan merasa kasihan dengan pola pikir sang kepala suku. Ekspresinya antara mau ketawa sambil mau menangis. Ekspresi yang cukup rumit.
"Oke, oke...," kata sang wartawan menahan geram. "Tapi, kenapa harus empat lubang?"
"Pak Camat minta empat lembar."