Mulai dari yang terbaru dan masih berproses hingga berita ini diturunkan, yaitu permohonan praperadilan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Timika berakhir dengan dibacakannya putusan di Pengadilan Negeri Timika, Selasa (19/2).
Dalam putusannya, hakim menolak seluruh permohonan praperadilan pemohon. Lagi-lagi, sidang dikawal aparat keamanan dengan tidak proporsional, baik dari segi jumlah personel maupun persenjataan.
Fakta-fakta persidangan dari pemohon dan termohon yang mendukung dalil pemohon diabaikan hakim. Hakim, hanya menafsirkan aturan dan fakta yang menguntungkan termohon. Hal ini telah menciderai kepastian hukum, akibat pembiaran terhadap penyalahgunaan wewenang kepolisian terhadap warga negara.
Perjuangan KNPB Timika untuk melihat keadilan, tidak berhenti sampai di sini. Peradilan pidana untuk ketiga tersangka makar tersebut akan berlanjut usai sidang praperadilan ini. Untuk status sekretariat KNPB yang diambil paksa juga masih akan disidangkan lewat jalur perdata.
KNPB melayangkan gugatan praperadilan kepada Kepolisian untuk ganti rugi sebeasr Rp 126 jutaan dan membebaskan kembali pengurus inti KNPB yang ditangkap dan ditahan, serta mengembalikan kembali tanah dan banggunan kepada para penggugat. Plus, permintaan maaf Kepolisian kepada KNPB secara terbuka melalui media massa. KNPB juga meminta Kepolisian memulihkan hak-hak mereka.
Polisi dan TNI Mimika menggeledah dan mengambil alih Sekretariat KNPB, yang berada di komplek Jalan Sosial, Kota Timika, Papua dipandang sebagai langkah tegas aparat Kepolisian dan TNI, karena KNPB dinilai sebagai organisasi atau kelompok dan simpatisan separatisme Papua Merdeka.
Kantor itu menjadi tempat berkumpul anggota KNPB dan PRD Timika, didirikan pada 31 Desember 2013. Genap enam tahun berdiri, pada 31 Desember 2018 kantor KNPB ini digeledah dan diambil alih polisi dan TNI.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Chist Warinussy memandang, langkah hukum yang diambil KNPB melalui tim kuasa hukumnya mempraperadilankan Kapolres Mimika sudah tepat dan proporsional.
"Kendatipun saya belum membaca pertimbangan hukum hakim tunggal praperadilan di PN. Timika serta amar putusannya. Tapi saya menduga dari awal perkara praperadilan KNPB melawan Kapolres Mimika ini sudah dipolitisasi sedemikian rupa agar permohonan KNPB tidak dikabulkan secara hukum," Warinussy.
Kenapa demikian?, lanjut Warinussy, karena jika benar ada dugaan terjadinya pelanggaran teknis ataupun substansial atas ketentuan hukum mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan maupun penetapan tersangka dalam perkara pokoknya. Maka tentu Kapolres Mimika dan jajarannya akan secara "gentleman" menghadapi langkah hukum tersebut, di pengadilan tanpa perlu ada "supervisi" dari Polda Papua.
Bahkan, sambungnya, jika ada pengamanan yang dilakukan secara berlebihan atas persidangan kasus ini. Sudah dapat diduga ketas pasti ada upaya penekanan masif bagi lembaga pengadilan dalam membuat putusan hukumnya kelak. Apalagi persidangan tersebut, hanya berada di bawah tanggung jawab hanya seorang hakim tunggal.
Tuntutan yang lebih besar datang dari Wasior dan Wamena, karena hingga hari ini tidak terdapat kejelasan mengenai alasan hukum. Apakah yang dijadikan Jaksa Agung Republik Indonesia M.Prasetyo dan jajarannya, untuk mengembalikan berkas perkara dugaan pelanggaran HAM Berat tersebut, kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak 27 November 2018 lalu.
"Saya mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengeluarkan keputusan hukum penyelesaian kasus, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Wasior dan Wamena sebelum Pemilu 17 April 2019," tutur Warinussy.
Menurut Warinussy, sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden Jokowi memiliki kewenangan berdasarkan amanat pasal 4 Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan langkah tersebut.
"Setidaknya, saya melihat bahwa Presiden Jokowi dapat mengeluarkan perintah dalam bentuk Keputusan Prsiden (Keppres) untuk penyelesaian dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena," kata Warinussy.
Keppres tersebut sekaligus dapat berisi amanat memperkuat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Khususnya, dalam konteks pendirian pengadilan HAM di Tanah Papua, guna memeriksa dan mengadili kasus Wasior dan Wamena tersebut.
Plus, pemberian akses bagi keterlibatan jurnalis nasional dan internasional serta organisasi masyarakat sipil, untuk memantau dan meliput proses hukum atas kedua kasus tersebut, hingga memperoleh putusan pengadilan.
"Berkenaan dengan itu pula, selaku Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, saya mendesak Pimpinan Komnas HAM untuk segera mengembalikan berkas perkara kasus dugaan Pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena kepada Jaksa Agung sebelum bulan Maret 2019 ini," ujar Warinussy.
Sekadar untuk diketahui, Warinussy serta Kepala Divisi Advokasi Perempuan dan Anak LP3BH, Thresje Juliantty Gasperz. Hadir pula Wakil Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt.Hizkia Rollo, S.Th dan anggota BP Am Sinode GKI Di Tanah Papua Wilayah VI, Pdt.R.Nandotaray, S.Th. Tim dari delegasi DGD/WCC terdiri dari Shin Yi Huang (China Taipei), Pdt.Dr.Jochen Motte (Gereja UEM Jerman), Emilly Wetly (USA), James Bhagwan (Sektetaris Jenderal Dewan Gereja-gereja Pasifik/PCC), Yessica Kansil (PGI) dan Pastor Bennedict Ayodi (Kenya).
Mereka diberi kesempatan mendengar keterangan langsung (
testimony) dari para saksi korban kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior 2001, penyerobotan dan manipulasi hak masyarakat adat Mpur Kebar atas tanahnya serta saksi kasus "pengalihan" ha masyarakat adat Abun atas tanah untuk pembangunan lapangan terbang di Werur-Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Keterangan tambahan dari Sekretaris Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan/KPKC Klasis GKI Wondama, Drs.Amos Waropen mendesak GKI Di Tanah Papua untuk bersama mitranya dari DGD, PGI serta UEM dan PCC untuk membawa persoalan pelanggaran HAM Wasior 2001 ke level internasional.
Selain itu, Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Wondama Djanes Marambur juga memohon kepada DGD dan GKI untuk mendengar dan membawa masalah tuntutan rakyat Papua atas hak politiknya, guna dibahas dan diputuskan pada level internasional.
"Kami bersama korban dan keluarga kasus Wasior serta Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Wondama, akan mengambil langkah-langkah hukum apabila desakan kami ini tidak dipenuhi, sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku," tandasnya.[
atm]
BERITA TERKAIT: