PupuhPada uraian tersebut ditampilkan sebuah foto dalang wayang kulit dilengkapi sebuah Pupuh “hanânonton ringgit manaÅ‹is asekel mÅ«Äa hiÄepan/ huwus wruh towin yan walulaÅ‹ inukir molah aÅ‹ucap / haturniÅ‹ wwaÅ‹ tresnêŋ wisaya malahÄ tar wihikana/ ri tatwanyân mÄyÄ sahana-hananiÅ‹ bhÄwa siluman" .
Ketika membaca Pupuh tersebut di dalam bahasa aslinya, sanubari saya tidak tersentuh sebab saya tidak mengerti maknanya. Saya anggap Pupuh itu berkisah tentang sesuatu biasa-biasa saja tanpa kebutuhan atas kedalaman pemikiran.
TerpesonaNamun setelah kemudian saya membaca alih-bahasa Pupuh tersebut ke dalam bahasa Indonesia “Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya/ Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu/ Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indria, melongo saja, sampai tak tahu/ Bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, hanya ilusi saja “ langsung saya terpana takjub akibat merasa amat sangat terpesona. Mungkin perasaan yang saya rasakan itulah yang dimaksud oleh John Dewey sebagai “art as an experienceâ€.
Ilusi Ternyata Pupuh tersebut bukan sembarang Pupuh sebab secara arif mengungkap inti makna mahakarya pemikiran mendalam setara para mahapemikir abad XIX-XX semisal Kiekergaard, Nietzsche, Heidegger, Sartre, Russel, Wittgenstein, Camus, Dewey dan lain sebagainya. Menakjubkan betapa Pupuh sebagai warisan mahakarya kearifan Nusantara abad XI telah menyadari bahwa segala sesuatu yang hadir pada kenyataan kehidupan pada hakikatnya “hanya†merupakan maya alias ilusi persepsional akibat keterbatasan daya pengindriaan manusia belaka. [***]
Penulis adalah pembelajar makna kehidupan
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.