Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Etika Politik dalam Al-Qur'an (6)

Etika Suksesi (3)

Rabu, 30 Januari 2019, 08:00 WIB
Etika Suksesi (3)
Nasaruddin Umar/Net
SEPENINGGAL Utsman ibn Affan, Ali bin Abi Thalib tampil melanjutkan kepemimpinan dunia Islam. Ia berkuasa se­lama kurang lebih empat ta­hun. Ia meninggal di dalam suasana umat yang sedang terpecah belah. Sepening­gal Ali, kepemimpinan diam­bil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan melalui kekuatan pedang. Selanjut­nya ia membentuk sistem pemerintahan kera­jaan yang suksesinya berlangsung secara tu­run temurun tanpa melalui proses musyawarah. Demikian seterusnya sampai daulat Umayyah ditaklukkan oleh Daulat Abbasyiah yang juga menganut sistem monarchi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dari cuplikan sejarah di atas dapat difahami bahwa Islam sepertinya tidak memiliki suatu sistem yang baku di dalam hal penentuan sia­pa sumber dan pelaksana kekuasaan, apa dasarnya, bagaimana cara menentukan dan ke­pada siapa kewenangan melaksanakan kekua­saan itu diberikan, kepada siapa pelaksana itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Pertanyaan seperti ini dita­mbah dengan pengalaman sejarah Nabi dan para sahabat dan penerusnya mempersulit set­iap orang yang akan memikirkan sebuah konsep negara Islam. Sejarah suksesi dalam Islam tidak linial dan tidak tunggal melainkan beragam.

Tidak adanya penjelasan apalagi ketegasan mengenai suksesi di dalam Islam menjadi isyarat bahwa urusan suksesi adalah masalah kontemporer dan terkait dengan obyektifitas perkembangan masyarakat. Masalah sukse­si dapat dikategorikan sebagai urusan dun­iawi yang dalam penyelesaiannya Nabi pernah mengatakan: Antum a'lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih tahu menyangkut urusan kedun­iaannya). Siapa tahu dan kita berharap, Indone­sia bisa menyumbangkan model suksesi yang ideal bagi setiap negara, khususnya negara-negara muslim. Kredibilitas pemilu yang akan datang akan ikut menentukan obsesi itu.

Dari pengalaman suksesi Nabi sampai Ali ibn Abi Thalib dapat disaksikan bagaimana plural­nya pengalaman suksesi di dalam dunia Islam. Padahal, masa Nabi dan masa sahabat ser­ing dipersepsikan sebagai peletakan pondasi awal masyarakat Islam. Apa yang terjadi di da­lam generasi awal muslim, yakni di masa Nabi dan sahabat, diharapkan menjadi pedoman di dalam berbagai aspek kehidupan dunia Islam pada masa berikutnya. Akan tetapi dalam dunia politik, khususnya pengalaman suksesi pergan­tian kepemimpinan, samasekali tidak ditunjuk­kan sebuah pengalaman baku yang dapat di­jadikan standar. Silih berganti terjadi pergantian tak satu pun yang sama, artinya setiap pergan­tian tokoh pemimpin memiliki kasus pemilihan­nya sendiri. Apakah ini isyarat bahwa suksesi tidak mesti terikat pada salahsatu metode, atau harus mengikuti satu-satunya metode? Jawa­bannya ternyata ialah diserahkan kepada kon­disi obyektif dan situasi masyarakat setempat. Jika dalam keadaan darurat menempuh pemili­han darurat dan jika dalam keadaan stabil dan normal mengikuti metode yang sesuai dengan keadaan setempat.

Perbedaan gaya suksesi kepemimpinan Nabi dan para Khulafa al-Rasyidin memberikan isyarat bahwa etika politik dalam Islam adalah mengikuti persepakatan para pihak yang terli­bat di dalam proses pergantian kepemimpinan. Yang penting ialah ada proses musyawarah dan dialog dilakukan untuk mengeliminir perbe­daan atau kemungkinan konflik yang akan ter­jadi. Hal-hal yang mungkin terjadi dalam, mis­alnya adanya ketidak puasan penuh kalangan tertentu itu merupakan resiko sebuah kemerde­kaan berpendapat dan kemerdekaan untuk berbeda pendapat. Yang penting bagaimana dalam pemilihan kepemimpinan tidak terjadi fit­nah yang bisa merusak persatuan dan keutu­han umat. Nabi dan para sahabat mencontoh­kan bagaimana mengakhiri sebuah perbedaan pendapat dengan penuh akhlaqul karimah. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA