Kata jalabib dalam ayat di atas merupakan bentuk jamak dari kata jilbab. Al-Qur’an dan hadis tidak pernah menyinggung bentuk pakaian secara khusus mengenai penutup muka, bahkan dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecÂualian dan dalam suasana ihram tidak boleh diÂtutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tenÂtang penutup kepala tidak ada satupun disangkut pautkan dengan unsur-unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat disinggung di atas merupakan tanggapan terhadap kasus tertentu yang terjadi di masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimÂbulkan perbedaan di kalangan ulama Ushul Fikih; apakah yang dijadikan pegangan lafaznya yang bersifat umum, atau sebab turunnya yang bersifat khusus (hal al-'ibrah bi 'umum al-lafz au bi khushÂush al-sabab).
Bandingkan dengan chodar dalam mitoloÂgi Sasania-Persia, dianggap pengganti kema menstruasi (menstrual hut), tempat pengasÂingan perempuan menstruasi. Sementara daÂlam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu. Dua ayat di atas tuÂrun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan ketika itu menggunakan peÂnutup kepala (muqani') tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad Sa'id al- 'Asymawi, Q.S. al-Nur/24:31 turun untuk memÂberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uridu fihi wadl’ al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
Ayat jilbab, juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah seorang laki-laki iseng mengganggunya karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya Q.S. al-Ahdzab/33:33. Menurut Muhammad Sa'id al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (ilÂlat); karenanya berlaku kaedah: Suatu hukum terkait dengan illat. Dimana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah maka hukum pun berubah. Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beÂberapa isterinya dan semakin besarnya jumÂlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadits al-ifk terÂhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab:hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi tidak lama kemudian turunÂlah ayat hijab.
(Bersambung)