Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Siapa Berani Jamin Keamanan Surat Suara Pemilu 2019

Kotak Suara Berbahan Aluminium versus Kardus Duplex

Senin, 24 Desember 2018, 11:20 WIB
Siapa Berani Jamin Keamanan Surat Suara Pemilu 2019
Foto/Net
rmol news logo Hingga kini polemik kotak suara yang akan digunakan pada Pemilu 2019 masih ramai diperbincangkan. Banyak yang masih memper­tanyakan ketahanan dari bahan kardus kotak suara.

Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara maraton di daerah-daerah sudah mendemon­strasikan kekuatan kotak suara tersebut, namun masih banyak kalangan yang meragukannya.

Direktur Relawan Badan Pemenangan Na­sional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ferry Mursyidan Baldan mengkhawatirkan keamanan proses pengiriman surat suara lan­taran kotak suara berbahan kardus tentunya rentan rusak.

Dengan begitu praktis risiko rusaknya logistik pemilu saat distribusi maupun proses pengembalian ke kabupaten kota bertam­bah tinggi. Apalagi di wilayah yang kondisi geografisnya sulit seper ti pegunungan dan kepulauan.

Berikut penuturan lengkap Ketua KPU Arief Budiman dan mantan komisioner KPU Andi Nurpati terkait polemik ini.

Arief Budiman: Kotak Suara Duplex Bisa Sekali Pakai, Bahannya Murah

Kotak suara Pemilu 2019 dikritik banyak kalangan. Bagaimana tanggapan Anda soal itu?
Hampir setahun ini kami su­dah bicarakan dan mengkaji kotak suara berbahan karton. Kami su­dah berdebat juga dengan anggota dewan,minta pendapat Bawaslu. Saya sampai bawa kotaknya ketika berdebat itu. Jadi semua sudah kami diskusikan, dan sudah setuju semua (partai politik).

Tapi mengapa sekarang masih banyak politikus partai yang menolaknya?
Soal itu saya tidak mau banyak berkomentar, yang jelas saat itu se­mua sudah menyetujuinya. Silakan saja tanya ke beliau. Dan sebetulnya begini, era penggunaan kotak suara dengan bahan aluminium itu secara bertahap sudah kami tinggalkan sejak tahun 2014. Pertama, karena usia kotak aluminium itu yang sudah digunakan dari 2004 sampai 2014, sudah 10 tahun lebih. Jadi sudah banyak yang rusak, sudah enggak bisa dipakai kembali. Jumlahnya pun sudah jauh berkurang, ada yang hilang dan ada yang rusak. Waktu itu kami sudah berketetapan, bahwa kami harus bikin pemilu ini murah.

Caranya dengan menggunakan kotak suara berbahan kardus ini?

Begini, soal kotak suara itu bukan hanya soal biaya produksinya, tapi juga soal biaya distribusi, biaya pe­nyimpanan, dan biaya perakitan kem­bali, kalau kami masih menggunakan bahan aluminium. Kotak suara dengan bahan aluminium itu harus jadi aset, karena ketentuan kita tentang barang milik negara, yaitu bahan-bahan yang mengandung unsur logam harus dis­impan jadi aset, dan harus digunakan kembali. Melihat fakta di lapangan dimana banyak KPU kabupaten/kota belum punya kantor, maka dia harus menyimpan kotak suara yang isinya formulir surat suara dan lain-lain da­lam jumlah banyak. Dengan begitu dia terpaksa sewa gudang dalam jumlah yang besar. Sewa gudang yang besar itu biayanya mahal, apalagi tiap tahun biayanya terus meningkat. Setelah kami hitung, kalau dia disimpan dalm waktu 5 tahun itu, biayanya bisa sama dengan biaya produksi yang baru. Makanya kemudian KPU berpikir untuk mencari kotak suara yang bisa sekali pakai, dan bahannya murah. Maka dirancanglah kotak berbahan duplex ini.

Tapi akhirnya risiko kemung­kinan rusaknya surat suara yang dimuat di kotak itu jadi lebih tinggi. Bagaimana itu?

Karton duplex adalah karton yang dalam kondisi normal, kalau ter­percik air tersiram air itu dia masih bisa bertahan. Artinya, kalau dibawa dalam kondisi gerimis, atau hujan dalam situasi normal itu dia bisa terlindungi. Kotak ini sudah digu­nakan sejak pemilu 2014. Jadi waktu itu kami perintahkan kepada KPU provinsi dan kabupaten/kota untuk menginventarisir. Supaya kotak berbahan aluminium yang masih bisa digunakan, silakan digunakan. Tapi yang sudah tidak bisa digunakan, jangan produksi kotak aluminium lagi, tapi produksi dengan bahan duplex ini. Akhirnya diproduksilah kotak suara ini, dan pada tahun 2015, 2017, dan 2018 menggunakan ini. Tapi bukan hanya kotak suara, bilik suaranya juga.

Dan perlu diketahui, sekarang kami juga sudah mendapat izin dari badan arsip, kalau surat suara hasil pemilu itu sudah ditetapkan, isinya boleh dihapuskan. Karena sudah ditetapkan, sengketa sudah selesai, dan yang terpilih sudah dilantik, maka dokumen-dokumen yang men­jadi arsip itu, adalah dokumen hasil penetapan suaranya. Jadi dokumen penetapan di kabupaten, kota atau provinsi. Jadi surat suaranya sudah enggak dipakai lagi, yang penting dokumennya sudah bisa disimpan.

Kalau dari segi biaya produksi, lebih murah yang mana?

Biaya produksi ini seingat saya mungkin hanya seperempatnya dari biaya produksi kalau kita pakai alu­minium. Dan mungkin karena harga fluktuatif ya, bahkan mungkin bisa lebih murah lagi dibandingkan sep­erempatnya itu tadi. KPU melakukan penghematan itu. Apalagi, kalau saya mau menyimpan dan mendistribusikan ini, model kotak suaranya sngat mudah dibong­kar pasang. Saya tidak perlu mengeluarkan tenaga khusus untuk merakit kembali ko­tak suara ini. Saya bisa lipat ini dengan bentuk gepeng, dan dia bisa dikirimkan dalam jumlah ban­yak, menggunakan kendaraan yang tidak terlalu besar. Saya juga bisa simpan ini di gu­dang, sampai dengan nanti dikirimkan untuk digunakan. Ini berbeda kalau masih meng­gunakan bahan aluminium. Ketika akan digunakan, kalau saya pakai yang bahan aluminium, saya harus panggil tukang dulu. Karena dia harus turunkan, pasangkan baut-bautnya kembali yang biasanya bautnya itu hilang, dan kami harus beli kem­bali. Tapi kalau ini semua orang bisa, karena sudah dalam bentuk lipatan-lipatan, kemudian langsung di-seal. Di daerah ini kami berikan karena situasinya berbeda-beda, ada juga yang dengan gembok.

Jadi begitu mudah dilipat, dibo­ngkar, dan dipasang kembali. Ini jauh lebih simple, distribusinya juga lebih murah karena lebih ringan, dan penyimpanannya tidak membutuh­kan tempat yang luas. Dan jangan lupa, dokumen yang masuk di kotak suara ini, selain dimasukan keda­lam amplop juga dimasukan dalam plastik. Jadi kalau ada air masuk itu dokumennya aman.

Berarti sudah pasti isinya aman dari air ya?
Iya. Saat didistribusikan ke pulau, maka bukan hanya dalamnya yang diberi plastik, tapi juga di luarnya. Jadi ketika didistribusi dia tidak ke­masukan air. Tetapi kalau orang bilang bagaimana kalau terendam banjir, atau kapalnya tenggelam, kita semua tidak bisa menghindari kalau problemnya sebesar itu, mau bahannya alumunium atau apapun. Jadi yang sebetulnya penting adalah substansinya.

Tapi banyak kalangan menilai amanat transparan dalam pengadaan kotak suara itu dengan meng­gunakan mica. Bagaimana itu?

Yang dimaksud dengan transparan dalam pemilu itu ialah proses pemi­lunya yang harus transparan. Ini penting untuk melihat fisiknya di dalamnya apa, tapi jauh lebih pent­ing dari itu, prosesnya juga harus transparan.

Andi Nurpati: Kotak Suara Aluminium Memang Mahal, Tapi Kuat Dan Tahan Lama

Sebagai mantan komisioner, ba­gaimana pandangan Anda soal ko­tak suara berbahan kardus ini?
Kalau zaman saya di KPU kami memang memutuskan alumunium. Nah, itu kan setahu saya mulai di­ubahnya di Pemilu 2014 ya. Kalau yang sekarang kan ada transparannya ya. Itu memang undang-undang sih yang meminta harus ada transpar­annya, supaya bisa dilihat isinya. Kalau pendapat saya pribadi, me­mang sebetulnya menyayangkan keputusan terkait dengan peng­gunaan bahan kardus. Saya menilai itu lebih rentan. Seperti yang terjadi di beberapa tempat, kena air karena banjir, ya sudah rusak. Tentu daya tahannya sangat jauh berbeda dengan aluminium. Memang ada persoalan jika menggunakan bahan aluminium. Yang teman-teman KPU masalahkan itu pergudangan, karena biaya gu­dang untuk menyimpan kotak suara aluminium itu mahal memang. Tidak seperti kardus yang sekali pakai buang. Tapi harus kita lihat lagi, kalau kardus persoalannya kan pertama dari segi keamanan. Keamanan itu bukan dalam konteks keamanan menjaga kotaknya, tapi juga kualitasnya, dalam hal ini daya tahannya. Itu kotak kan kita tahu persis sampai ke plosok-plosok, ada yang naik kapal, ada yang dibawa pakai perahu, dan kendaraan lain yang mungkin tidak bisa mencegah masalah cuaca. Kita bicara pemilu kali ini dimana kena musim hujan. Hujannya ini yang membuatnya rentan. Sebagai mantan KPU memang saya maunya alu­minium, karena saat itu kami sudah mempertimbangkan banyak aspek.

Tapi kalau menurut KPU kotak suara ini kan sudah teruji, karena sudah digunakan pada beberapa pemilihan?

Ya memang KPU sudah menyam­paikan alasan itu. Tahun 2014 sudah digunakan, lalu dalam pilkada-pilka­da juga sudah digunakan. Tapi kan harus dievaluasi juga daya tahannya seperti apa. Memang kalau bicara efisiensi anggaran, sudah pasti lebih murah kotak suara kardus. Tapi kan itu sekali pakai dibuang. Kalau alu­munium memang agak mahal, tapi kan bisa dipakai lama, dan berulang-ulang. Tapi memang masalahnya yang paling mendesak itu tadi, gu­dang untuk penyimpanannya. Untuk penyimpanan itu memang KPU harus mencari solusinya.

Sebagai mantan komisioner, apa solusi dari Anda?

Untuk penyimpanan itu KPU me­mang harus dibantu oleh pemerintah setempat. Setelah di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai mengenai perselisihan hasil pemilu, saya kira kan sudah enggak perlu lagi itu isin­ya. Artinya kotaknya enggak perlu lagi dijaga ketat. Saya kira enggak apa-apa kalau kotaknya dipindahkan ke tempat-tempat milik pemerintah, yang kebetulan bisa dipakai. Di daerah-daerah saya rasa ada gedung-gedung yang tidak digunakan. Kan KPU itu juga kan aparat pemerintah, dia lembaga negara. Jadi kan enggak apa-apa menggunakan sekadar untuk penyimpanan, sampai dengan ada lagi pemilu. Dan itu saya kira bisa menghe­mat biaya juga. Ketika pengadaan di awal memang pasti mahal. Tapi kan pemilu berikutnya kan enggak pengadaan lagi yang banyak. Cukup yang rusak saja diganti, enggak harus semuanya. Yang aluminium ini pun lebih awet, karena daya tahannya lebih baik, sehingga banyak yang bisa digunakan berulang-ulang.

Memang tidak ada aturan yang melarang KPU untuk menyimpan selain di tempat milik mereka?
Enggak ada. Tapi KPU sebetulnya enggak salah juga dalam memilih ba­han ini, karena undang-undang enggak secara eksplisit menyebut bahannya. Jadi spesifikasinya ditentukan oleh KPU. Undang-undang sekarang hanya memerintahkan untuk ada bagian yang transparan. Makanya KPU kan memi­lih ada kacanya di satu sisi.

Berarti soal polemik kotak su­ara ini sebetulnya salah undang-undang juga ya?

Iya. Kebijakan atau peraturan KPU menyangkut bahan kardus ini, itu memang harus dievaluasi oleh pemerintah dan DPR. Supaya jangan kayak sekarang, kotak suaranya ru­sak karena terendam, dan kena air kemudian kita ramai. Jadi enggak kesalahan KPU murni lah.

Tapi kan waktunya su­dah mepet juga kalau mau diubah?
Kalau untuk yang seka­rang memang sudah enggak mungkin lagi. Itu kan pen­gadaannya sudah selesai. Jadi memang evaluasinya itu untuk pemilihan yang selanjutnya. Cuma orang KPU harus menyelesai­kan problem bagi kardus-kardus yang rusak, berarti kan butuh penambahan di daerah-daerah terse­but. KPU daerah harus mengajukan permintaan kepada KPU, kemudian ditambah pengadaan­nya. Distribusinya ini kan sekarang baru sam­pai kabupaten nih. Nah saya memprediksi, be­gitu didistribusi ke kecamatan, ke tem­pat-tempat pemung­utan suara, masih berpeluang terjadi kerusakan. Itu baru berangkatnya ya, belum pulangnya setelah pencoblo­san. Kan kembali lagi tuh, dari TPS ke PPS. Kemudian dari PPS ke PPK, lalu dari PPK ke kabupaten itu juga sejauh mana kekuatan kotak kardus itu bolak-balik. Walaupun tadi, sudah ada pengalaman karena sudah dipakai dalam pilkada, dan seterusnya. Tetap ada potensi kerusakan itu ada.

Berarti menurut Anda lebih baik jika tetap memakai aluminium ya?
Oh iya jauh lebih bagus. Persoalannya tinggal di masalah efisiensi tadi. Tapi kan begini, kebutuhan pengadaannya itu kan berapa persen dulu. Karena sampai sekarang kan kotak suara yang aluminium masih ada. Sisa pemilu sebelumnya kan masih ada. Yang 2014, lalu yang zamannya saya Pemilu 2009 itu juga masih. Jadi pengadaannya itu kan enggak harus semua, kekurangannya saja. Itu kan pasti jauh lebih kecil pengeluarannya. Memang jumlah TPS yang sekarang ada penambahan, akibat dilaksankannya pemilu seren­tak, pileg dengan pilpres. Sehingga jumlah TPS-nya membengkak.

Berarti ini PR DPR dan pemerintah juga ya?
Iya, PR DPR dan pemerintah juga. Tapi KPU juga saya kira harus mengevaluasi kebijakan yang diambil untuk ke depan. Karena bukan hanya mudah rusak akibat cuaca yang harus dikha­watirkan, orang bisa saja merobek, mengirisnya dengan pisau, sehingga kotak suara itu rusak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA