Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tragedi Jatuhnya Lion Air JT-610

Ambigu, Antara Preliminary Report KNKT Dan Ancaman Gugatan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Rabu, 12 Desember 2018, 16:32 WIB
Ambigu, Antara Preliminary Report KNKT Dan Ancaman Gugatan
PUBLIK dibuat bingung. Laporan awal hasil investigasi resmi yang baru saja diumumkan, direvisi sehari kemudian, menyusul protes dari maskapai.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ini tentang laporan awal (preliminary report) hasil investigasi Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) terkait kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP, JT-610  yang jatuh di perairan Tanjung Karawang, Senin pagi, 29 Oktober lalu.

Pesawat jenis Boeing 737-8 (MAX) itu mengalami kecelakaan saat melayani penerbangan rute dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng menuju Bandara Depati Amir di Pangkalpinang. Tubuh pesawat menghujam ke laut dan menewaskan 186 orang awak serta penumpangnya.

Pada 28 November 2018, tepat sebulan sejak kecelakaan tragis itu terjadi, KNKT merilis laporan awal hasil investigasinya kepada publik. Preliminary report ini mengungkap fakta yang ada pada peristiwa kecelakan tersebut. Sesuai UU, KNKT memang wajib menyampaikan laporan awal, paling lambat satu bulan pasca insiden.  

Hari itu, KNKT menggelar konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. KNKT menyampaikan laporan awal ini disusun berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan tim investigasi terkait jatuhnya Lion Air JT-610 tersebut.

Dalam dokumen resmi Preliminary Report yang ditandatangani Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono itu dinyatakan, KNKT tidak menyertakan analisis dan kesimpulan dalam laporan awal ini. Tujuan satu-satunya laporan ini adalah agar otoritas terkait dan maskapai dapat meningkatkan aspek keselamatan masing-masing.

Dokumen setebal 68 halaman itu terdiri dari beberapa bab. Bagian yang paling penting adalah bab "findings" pada halaman 22 yang berisikan pernyataan tentang semua kondisi, peristiwa, dan keadaan yang signifikan dalam urutan peristiwa kecelakaan pesawat JT-610 tersebut.

Beberapa fakta yang diungkap dalam laporan ini sebetulnya sudah sering diberitakan dalam satu bulan terakhir. Tapi kali ini, faktanya lebih kuat karena sudah terverifikasi.

Angle of Attack


Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, sejak tanggal 26 Oktober, atau tiga hari sebelum tragedi naas itu, tercatat ada enam kali gangguan yang dialami pesawat PK-LQP, JT-610 tersebut.

Keenam masalah itu semuanya berkaitan dengan indikator kecepatan dan ketinggian pesawat. Masalah masih terus terjadi sampai penerbangan terakhir hingga pesawat jatuh di perairan Karawang saat menempuh rute dari Jakarta menuju Pangkal Pinang. "Masalah ini tercatat dalam buku perawatan pesawat," terang Nurcahyo.

KNKT menemukan fakta bahwa sensor Angle of Attack (AoA) pada pesawat sudah bermasalah pada penerbangan sebelumnya, rute Denpasar-Jakarta, pada 28 Oktober 2018 malam.  

AoA adalah sudut antara sayap pesawat dan aliran udara yang melewati sayap. Jika sudut terlalu besar, maka sayap akan kehilangan daya angkat. Masalah pada AoA ini dinilai KNKT sebagai faktor kunci dalam kecelakaan Lion Air JT-610.

Temuan KNKT tersebut seakan mengkonfirmasi langkah Boeing, produsen pesawat 737 Max yang merilis petunjuk teknis untuk awak pesawat tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi masalah pada sensor AoA, pasca kecelakaan tersebut. Ini mengindikasikan bahwa masalah memang sudah ada sejak awal di JT-610.

Berdasarkan Flight Data Recorder (FDR) yang diteliti KNKT, pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta, pesawat Lion Air itu mengalami stick shaker (terjadi getaran pada kontrol di kokpit). Pada ketinggian 400 kaki, kecepatan pesawat berubah-ubah. Hidung pesawat pun turun secara otomatis sebelum diatur kembali oleh pilot.

Berdasarkan data FDR, proses anjlok dari ketinggian cukup drastis. 64 menit setelah lepas landas, pesawat mencapai ketinggian 480 meter. Dalam tempo 20 detik kemudian, ketinggian pesawat turun menjadi 410 meter.

Dalam kondisi ini, pilot kemudian menarik tuas mesin hingga kecepatan pesawat mencapai  453 km/jam dan pesawat kembali naik. Selang 2,3 menit kemudian ketinggian pesawat berkisar 1700 meter.

Masalah kemudian muncul kembali. Ketinggian Lion Air PK-LQP anjlok drastis hingga 300 meter hanya dalam tempo 25 detik.

Nurcahyo mengatakan, dengan kondisi kerusakan AoA tersebut, seharusnya sejak awal Lion Air tak meneruskan penerbangan.

“Dengan kondisi adanya kerusakan sensor Angle of Attack seperti itu harusnya pesawat kembali ke bandara asal, bukan meneruskan penerbangan," ujar Nurcahyo.

Beruntung akhirnya Lion Air PK-LQP itu akhirnya bisa mendarat Bandara Soekarno Hatta pukul 22.56 WIB atau setelah terbang 1 jam 36 menit.

Setiba di Soekarno- Hatta, pilot memberitahu engineer tentang kerusakan sensor AoA tersebut. Pilot juga melaporkannya lewat sistem pelaporan elektronik bernama A-SHOR.

Keesokan harinya, saat Lion Air PK-LQP kembali melayani penerbangan rute JT610 ke Pangkal Pinang, sensor AoA kembali mengalami masalah yang sama. Digital Flight Data Recorder (DFDR) mencatat perbedaan antara AoA pada sayap bagian kiri dan kanan sekitar 20 derajat. Kondisi ini berlanjut hingga akhir rekaman.

Laporan awal KNKT itu mencatat bahwa sesaat setelah take off, controller Terminal East (TE) memastikan bahwa PK-LQP JT-610 teridentifikasi oleh Aircraft Situational Display (ASD) atau radar display, dan selanjutnya meminta pilot naik ke ketinggian 27 ribu kaki.

Pilot melapor ke petugas pemandu lalu lintas penerbangan terkait "flight control problem." Komunikasi terjadi ketika pesawat berada di ketinggian 900 kaki.

Dari data tersebut terlihat, pilot berjuang keras untuk mengendalikan pesawat. Ketika pilot menaikkan flap pesawat, secara otomatis sistem menurunkan hidung pesawat atau nose down.

Data kotak hitam menunjukkan, pilot langsung menaikkan hidung pesawat atau nose up. Akan tetapi, yang terjadi kemudian, hidung pesawat kembali menukik lagi, lalu dinaikkan lagi oleh pilot.

Kondisi ini terjadi berkali-kali. Hidung pesawat tidak stabil dan turun naik sebanyak 24 kali hanya dalam waktu 11 menit.

Hingga akhirnya pesawat hilang kontak 13 menit setelah lepas landas pada 06.20 di koordinat 05 46.15 S - 107 07.16 R KMA. Titik itu persis di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.

Dari hasil investigasi itu ada dua rekomendasi yang disampaikan KNKT kepada Lion Air. Pertama, meminta Lion Air menjamin implementasi Operation Manual part A subchapter 1.4.2, dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan dan untuk menjamin pilot dapat mengambil keputusan untuk melanjutkan penerbangan.

Kedua, meminta Lion Air menjamin semua dokumen operasional diisi dan didokumentasikan secara tepat sesuai kondisi sesungguhnya. Hal ini terkait fakta bahwa didalam dokumen penerbangan tercatat ada lima pramugari. Sedangkan menurut data voyage report atau data kru yang disampaikan Lion Air, jumlah pramugari ada enam orang.

Nurcahyo mengatakan bahwa rekomendasi itu muncul karena dalam penerbangan sebelum kejadian nahas, yakni dari Denpasar menuju Jakarta pada 28 November 2018 malam, pesawat Lion Air PK-LQP sudah mengalami masalah.

“Meskipun sudah diperbaiki, kami memandang pesawat itu tidak layak terbang karena mengalami berbagai masalah,” tegasnya.

Setelah laporan ini dirilis, KNKT dan tim akan terus melakukan investigasi. Salah satu kunci agar apa yang terjadi semakin terang adalah data pada Cockpit Voice Recorder (CVR) yang sampai saat ini belum ditemukan. Terkait CVR ini, KNKT akan menyewa kapal untuk pencarian.

Ancaman Gugatan


Selang beberapa jam paska rilis Preliminary Report itu, keberatan datang dari Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait. Ia sangat keberatan dengan pernyataan Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo soal ketidaklaikan terbang Lion Air PK-LQP.
 
"Pernyataan tidak laik terbang, itu tidak benar. Pesawat ini laik terbang," ujar dia, di kantornya, Rabu (28/11).

Lion menuntut klarifikasi dari KNKT. Edward bahkan mengancam, jika paparan KNKT terbukti salah, Lion Air akan menempuh jalur hukum. "Tapi kami akan meminta klarifikasi tertulis lebih dahulu," kata dia.

Edward juga menanggapi ihwal jumlah pramugari dalam penerbangan yang disebut KNKT tidak sesuai. Edward mengatakan jumlah kru kabin aktif ialah lima orang, satu orang lainnya instruktur.

“Instruktur itu disamakan dengan kru aktif. Kami akan investigasi ini," kata Edward.
 
Keesokan harinya, KNKT merevisi laporan awal tersebut. Pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 043 rute Denpasar-Jakarta dan JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang dinyatakan laik mengudara.

"Pesawat Lion Air Boeing B 737-8 Max registrasi PK-LQP dalam kondisi laik terbang saat berangkat dari Denpasar Bali dengan nomor penerbangan JT 043, maupun pada saat berangkat dari Jakarta dengan nomor penerbangan JT 610," kata Nurcahyo.

Ia menjelaskan berdasarkan peraturan di Indonesia, pesawat dinyatakan laik terbang jika Aircraft Flight Maintenance Log (AFML) telah ditandatangani engineer (releaseman).

"Setelah pesawat mendarat, pilot melaporkan adanya gangguan pada pesawat, engineer telah melakukan perbaikan dan pengujian. Setelah hasil pengujian menunjukkan hasil baik, maka AFML ditandatangani releaseman dan pesawat dinyatakan laik terbang,” terang dia.

Nurcahyo menuturkan salah satu kondisi yang menyebabkan kelaikudaraan (airworthiness) berakhir jika pesawat mengalami gangguan saat terbang. "Keputusan untuk melanjutkan terbang atau segera mendarat ada di tangan pilot in command atau kapten," kata dia.

Dengan klarifikasi itu, KNKT enggan mempertentangkan laik tidak lainya pesawat PK_LQP.    “Kita cukupkan diskusi mengenai itu dan kita tidak menerima pertanyaan mengenai hal itu,” terang Investigator Kecelakaan Penerbangan KNKT Ony Suryo Wibowo di Kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (29/11).

Terlepas dari revisi laporan awal itu, bahwa pesawat mengalami gangguan sejak dari penerbangan sebelumnya, rute Denpasar-Cengkareng, sudah dibenarkan berbagai pihak. Sehingga kesimpulan pertama yang disampaikan KNKT, bahwa pesawat tidak laik terbang dipandang sejalan dengan berbagai informasi terkonfirmasi itu.

Menjadi aneh dan akhirnya dipertanyakan oleh publik, ketika KNKT akhirnya mengubah kesimpulan mereka. Apalagi, perubahan itu dilakukan setelah perusahaan yang dimiliki Rusdi Kirana yang kini adalah Dutabesar Republik Indonesia di Malaysia itu mengancam akan menggugat KNKT ke ranah hukum. [yls]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA