Al-Qur’an sendiri menyinggung tidak kurang 15 kali kata YaÂhudi, 10 kali kata Nashrani, termasuk beberÂapa kali agama-agama lain seperti Majusi, dan Shabi'in. Ini artinya Al-Qur'an memberi pengakuan akan keberadaan agama lain seÂlain Islam, meskipun bagi umat Islam tentu agama yang benar di sisinya ialah Islam seÂbagaimana dalam ayat: Innad din 'indallah al-islam (Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam/Q.S. Ali 'Imran/3:19). Upaya untuk mengajak orang lain memilih Islam dilakukan dengan bijaksana, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat-Nya:
Ud'u ila sabili Rabbika bil hikmah wal mau'idhatil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (Ajaklah oarng-orang ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijakan (hikÂmah), dengan nasehat yang baik, dan ajaklah berdialog dengan cara-cara yang lebih baik). Ayat-ayat tersebut sangat masyhur di dalam kegiatan dakwah Islam.
Nabi Muhammad Saw juga memberi kesÂempatan kepada umat non-muslim beribadah atau Nabi tidak pernah terdengar mencekal seseorang melakukan ibadah asal yang diÂlakukan itu betul-betul ibadah sesuai denÂgan tuntunan ibadah dalam agamanya. BahÂkan Nabi selalu mengingatkan umatnya jika melakukan peperangan dengan suatu kaum agar tidak merusak atau menghancurkan ruÂmah-rumah ibadah mereka. Larangan seperti ini terus dipertahankan para Khulafa al-RaÂsyidin yang melanjutkan kepemimpinan Nabi setelah wafat.
Dalam tulisan Albalaziri dikutip sebuah riÂwayat yang menuliskan perjanjian Nabi denÂgan non-muslim yang di antara pasalnya disÂebutkan sebuah redaksi cukup menarik, yaitu: "Seorang uskup tidak mesti merubah keuskÂupannya, begitu pula seorang rahib tidak perlu mengubah kerahibannya, dan begitu pula seorang pendeta tidak perlu mengubah kependetaannya" (h. 76). Dalam kesempaÂtan lain Nabi pernah bersabda sebagaimana dikutip dalam buku Albalaziri: "Barangsiapa yang tetap dalam agama Yahudi atau NashraÂni maka ia tidak akan dipersoalkan" (h. 82).
Bahkan di dalam Kitab Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi Muhammad Saw pernah memberikan izin kepada delegasi toÂkoh lintas agama, khususnya mereka yang beragama Nashrani Najran melakukan keÂbaktian di samping mesjid Nabi ketika mereka melakukan kunjungan persahabatan dengan Nabi. (Jilid IV h. 91).
Apa yang telah dilakukan Nabi juga dilanÂjutkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. KeÂbijakannya terhadap penduduk Iliyah (PalestiÂna) ditegaskan bahwa: "Gereja-gereja mereka tidak dapat ditinggali (oleh orang-orang Islam), dirobohkan, atau dikurangi, termasuk paÂgar-pagarnya, begitu pula salib-salib mereka dan apa saja dari kekayaan mereka. Mereka tidak boleh dipaksa atas agamanya, dan tidak boleh ada di antara mereka yang mendapatÂkan mudharat". (Lihat kembali artikel terdahuÂlu tentang Piagam Aeliya).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Amr bin 'As, memberikan kebebasan sepenuhÂnya umat non-muslim melakukan ibadah dan merawat rumah-rumah ibadah mereka denÂgan baik. Ia memberikan jaminan kebebasan beragama kepada seluruh wilayah yang diÂkuasainya dan menganjurkan kepada pemerÂintah di tingkat daerah agar menjamin hak-hak beribadah bagi warga non-muslim.
Umat non-muslim di masa-masa awal tidak pernah merasa dihalangi beribadah dan menjalankÂan tradisi keagamaannya. Dari segi inilah, Sir Thomas Arnold dalam tahun 1950-an pernah membantah rekan-rekannya dari kalangan orientalis yang mengatakan Islam berkemÂbang di seantero dunia karena pedang. Ia berpendapat bahwa banyaknya orang beraÂlih ke agama Islam karena keluhuran ajaran dan kemuliaan pemimpinnya. Sama sekali buÂkan karena ancaman atau tekanan terhadap mereka.