Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peristiwa Kontroversi yang Dilakukan Nabi dan Sahabat (4)

Perintah Pencoretan Kalimat Tauhid

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 02 November 2018, 09:44 WIB
Perintah Pencoretan Kalimat Tauhid
Nasaruddin Umar/Net
SALAH satu peristiwa kontroversi yang pernah terjadi dan dilakukan sendiri oleh Nabi Muhammad saw ialah pen­coretan kalimat tauhid. Kali­mat tauhid itu semula muncul di dalam draf naskah Per­janjian Hudaibiyah, sebuah Perjanjian Gencetan Senja­ta antara kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Suhail dan umat Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Peristiwa ini diabadikan di dalam hadis Shahih Bukhari (Lihat dalam kitab Shahih al-Bukhari, Bab al-Syuruth fi al-Jihad wa al-mashlahah ma’a Ahl al-Harb, jilid 1 hal, 255).

Peristiwanya ialah ketika kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy mau menyepakati perjanji­an damai yang kemudian perjanjian itu disebut Piagam atau Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah konflik dan perang terbuka kedua belah pihak. Nabi Muhammad Saw ketika itu bertindak sebagai pimpinan ko­munitas umat Islam meminta diawali naskah perjanjian itu dengan kata Bismillahirrahmanirra­him, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing baginya, lalu ia mengusulkan kalimat bis­mikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu. Tokoh-tokoh umat Islam jelas menolak pencoretan kalimat yang di­anggapnya sebagai kalimat suci dan sakral. Na­mun Nabi berkata lain. Ia menerima usulan Su­hail dengan redaksi yang diusulkannya. Sebagai penutup, perjanjian itu Nabi mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasu­lullah). Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Mu­hammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah). Pencoretan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, karena jelas itu adalah kalimat tauhid dan sakral bagi umat Islam. Namun Rasulullah mempunyai pendapat lain dan meminta para sahabatnya un­tuk menyetujui naskah perjanjian yang diusulkan Suhail. Ibn Hajar al-'Asqallani menjelaskan per­istiwa ini, Nabi Muhammad Saw yang mencoret kalimat tauhid itu karena para sahabat tidak be­rani melakukannya.

Dari segi substansi Perjanjian Hudaibiyah, terdapat juga materi yang dinilai tidak adil, karena kalau orang kafir Quraisy yang me­nyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, maka segera dibebaskan dan segera dikemba­likan ke Makkah. Sedangkan kalau yang me­langgar batas umat Islam maka orangnya ditah­an di Makkah. Materi perjanjian seperti ini pun Nabi menyetujuinya.

Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kel­ompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Nabi di samping seorang cerdas juga ia seorang Nabi. Mungkin ini pula yang mengin­spirasi para the Founding Father bangsa Indo­nesia, memilih mencoret beberapa kalimat dari Piagam Jakarta demi mempertahankan keutu­han bangsa dan keutuan bangsa ketika itu jauh lebih banyak mendatangkan maslahat ketim­bang mempertahankannya.

Belakangan, apa yang ditetapkan Rasulullah ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang tentu akan memberikan be­ban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madi­nah yang sudah kebanjiran pengunsi dari Mak­kah. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Makkah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melaku­kan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy. Pada saat bersamaan, Rasulullah terus meng­galang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggi­ran dan karena kepiawaiannya, maka Rasulullah berhasil memukai sejumlah kabilah-kabilah ke­cil dan bersatu di bawah kekuatan Rasulullah. Piagam Hudaibiyah belakangan mendapatkan pujian bahkan ada yang menilai Piagam Hudai­biyah ini bukan hanya mencegah perang terbuka tetapi langkah strategis umat Islam untuk meraih kemenangan politik luar biasa saat itu. Kasus Piagam atau Perjanjian Hudaibiyah ini merupa­kan lesson learning yang indah bagi umat Islam, bahwa tidak mesti pembuangan atau pencoretan kalimat tauhid itu selamanya negatif. Setidaknya Nabi berpendapat lebih baik mengedepankan substansi daripada simbol. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA