Peristiwanya ialah ketika kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy mau menyepakati perjanjiÂan damai yang kemudian perjanjian itu disebut Piagam atau Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah konflik dan perang terbuka kedua belah pihak. Nabi Muhammad Saw ketika itu bertindak sebagai pimpinan koÂmunitas umat Islam meminta diawali naskah perjanjian itu dengan kata BismillahirrahmanirraÂhim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing baginya, lalu ia mengusulkan kalimat bisÂmikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu. Tokoh-tokoh umat Islam jelas menolak pencoretan kalimat yang diÂanggapnya sebagai kalimat suci dan sakral. NaÂmun Nabi berkata lain. Ia menerima usulan SuÂhail dengan redaksi yang diusulkannya. Sebagai penutup, perjanjian itu Nabi mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad RasuÂlullah). Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata:
Hadza ma qadha 'alaihi MuÂhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah). Pencoretan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, karena jelas itu adalah kalimat tauhid dan sakral bagi umat Islam. Namun Rasulullah mempunyai pendapat lain dan meminta para sahabatnya unÂtuk menyetujui naskah perjanjian yang diusulkan Suhail.
Ibn Hajar al-'Asqallani menjelaskan perÂistiwa ini, Nabi Muhammad Saw yang mencoret kalimat tauhid itu karena para sahabat tidak beÂrani melakukannya.
Dari segi substansi Perjanjian Hudaibiyah, terdapat juga materi yang dinilai tidak adil, karena kalau orang kafir Quraisy yang meÂnyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, maka segera dibebaskan dan segera dikembaÂlikan ke Makkah. Sedangkan kalau yang meÂlanggar batas umat Islam maka orangnya ditahÂan di Makkah. Materi perjanjian seperti ini pun Nabi menyetujuinya.
Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kelÂompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Nabi di samping seorang cerdas juga ia seorang Nabi. Mungkin ini pula yang menginÂspirasi para
the Founding Father bangsa IndoÂnesia, memilih mencoret beberapa kalimat dari Piagam Jakarta demi mempertahankan keutuÂhan bangsa dan keutuan bangsa ketika itu jauh lebih banyak mendatangkan maslahat ketimÂbang mempertahankannya.
Belakangan, apa yang ditetapkan Rasulullah ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang tentu akan memberikan beÂban ekonomi tambahan bagi masyarakat MadiÂnah yang sudah kebanjiran pengunsi dari MakÂkah. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Makkah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melakuÂkan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy. Pada saat bersamaan, Rasulullah terus mengÂgalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiÂran dan karena kepiawaiannya, maka Rasulullah berhasil memukai sejumlah kabilah-kabilah keÂcil dan bersatu di bawah kekuatan Rasulullah. Piagam Hudaibiyah belakangan mendapatkan pujian bahkan ada yang menilai Piagam HudaiÂbiyah ini bukan hanya mencegah perang terbuka tetapi langkah strategis umat Islam untuk meraih kemenangan politik luar biasa saat itu. Kasus Piagam atau Perjanjian Hudaibiyah ini merupaÂkan lesson learning yang indah bagi umat Islam, bahwa tidak mesti pembuangan atau pencoretan kalimat tauhid itu selamanya negatif. Setidaknya Nabi berpendapat lebih baik mengedepankan substansi daripada simbol.