Setting sosial masyarakat modern kelihatanÂnya sudah mulai menggeser teori sosial fungÂsional-struktaralism yang memberikan pembeÂnaran pembagian kerja secara seksual, di mana ayah atau suami bertugas memenuhi kebutuhan fisik keluarga, sementara bukan sesuatu yang aib kalau ibu atau istri bertugas mengurus perÂsoalan kerumahtanggaan, seperti memelihara anak-anak dan urusan keluarga lainnya.
Ketika indikator pekerjaan diukur berdasarkan nilai produktivitas, dan produktivitas ditafsirkan berdasarkan income materi, maka dampaknya antara lain, setiap orang yang tidak menghasilÂkan nilai tambah (
value added) maka dianggap tidak bekerja. Seberat apapun pekerjaan seorang ibu rumah tangga, ia tidak dianggap bekerja daÂlam perspektif masyarakat kapitalis. Perempuan yang bekerja dalam dunia publik, masih dibedaÂkan dengan dua istilah, yaitu perempuan bekerja dan perempuan karier atau lebih popular denÂgan wanita karier. Yang pertama ditujukan keÂpada perempuan yang bekerja di sektor informal sebagai buruh atau semacamnya, tidak mempuÂnyai hak-hak inisiatif lebih besar dan semuanya ditentukan oleh para pemilik modal, termasuk di sini para pekerja seks. Yang kedua diperuntukÂkan kepada perempuan yang memiliki profesionÂalisme dan hak-hak inisiatif lebih luas. Ironisnya, polarisasi seperti ini tidak pernah diberlakukan bagi laki-laki.
Dalam lingkungan kerja, promosi karier seÂorang perempuan selain harus memenuhi perÂsyaratan formal sebagaimana ketentuan yang berlaku, juga tersirat satu syarat inplisit, yaitu yang bersangkutan "direlakan" oleh kaum laki-laki di lingkungannya, baik di lingkungan unit kerjanya maupun di lingkungan keluarganya, khususnya oleh suaminya. Tidak sedikit jumlah karyawan perempuan gagal dipromosi karena "persyaratan eksternal" tersebut tidak dipenuhi. Jika kita hendak mengkaji lebih mendalam kinÂerja perempuan, maka ada sejumlah faktor yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, antara lain faktor teologi, konsep keilmuan, dan faktor budaya.
Ada tiga hal yang secara teologis sering memojokkan perempuan. Pertama, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam; kedÂua perempuan diciptakan untuk melengkapi keÂinginan dan hasrat laki-laki; ketiga perempuan menjadi penyebab utama kejatuhan manusia ke bumi. Mereka juga menggugat penetapan hak dan wilayah peran yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, seperti soal warisan, perwalian, dan lain sebagainya. Para pemerhati perempuan mulai dengan terang-terangan meÂnyoroti pembagian peran yang diatur di dalam kitab-kitab Fikih, khususnya dalam
bab al-ahwÂal al-syakhshiyyah, yang mengatur pembagian peran laki-laki dan perempuan. Hal ini bukan saja di lingkungan Islam tetapi juga di lingkungan agama lain seperti Kristen, Yahudi, dan agama-agama besar lainnya.
Kalangan ulama berpendapat bahwa Fikih adaÂlah interpretase secara lokal dan kondisional terÂhadap sumber-sumber ajaran Islam yang bersifat universal. Jika terjadi pergeseran nilai sebagai akiÂbat perubahan sosial maka dimungkinkan melakuÂkan reinterpretasi sumber ajaran, termasuk mendÂisfungsionalisasikan sejumlah hadis yang oleh Mernissi disebut hadis-hadis misoginis.
Reinterpretase terhadap sumber ajaran agama merupakan suatu keniscayaan, namun disaÂdari batas-batas reinterpretasi ini sangat sensitif. Interpretasi secara liberal, mungkin maksudnya untuk meningkatkan derajat kaum perempuan tetapi, seringkali terkesan ayat-ayat ditakwilkan terlalu jauh sehingga keluar dari konteksnya. Tidak sedikit diantara usaha seperti ini menimÂbulkan keresahan di dalam masyarakat. UnÂtuk melakukan optimalisasi potensi dan peran karyawan profesional perempuan, diperlukan persepsi yang sama tentang hal-hal yang bersiÂfat keagamaan. Kita berharap agama tidak lagi dijadikan dalil untuk membatasi kesempatan perempuan untuk berkarier lebih tinggi.