Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perempuan Hebat di Dalam Al-Qur'an (59)

Bolehkah Perempuan Meniti Karier?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Sabtu, 27 Oktober 2018, 08:13 WIB
Bolehkah Perempuan Meniti Karier?
Nasaruddin Umar/Net
BEKERJA adalah salah satu hak asasi manusia yang san­gat mendasar. Dilihat dari berbagai sudut, seseorang yang tidak bekerja, entah laki-laki atau perempuan, apapun alasannya, seolah-olah dianggap cacat atau be­ban sosial. Berbagai asumsi negatif bisa muncul terhadap orang-orang yang tidak bekerja. Dalam berba­gai penelitian juga membuktikan bahwa secara psikologis seseorang dalam usia produktif akan mengalami inferiority complex syndrome, kehil­angan rasa percaya diri; dan dari sudut agama, orang yang tidak beramal dianggap tidak sem­purna keimanannya, karena hampir setiap perin­tah beriman dibarengi perintah beramal.

Setting sosial masyarakat modern kelihatan­nya sudah mulai menggeser teori sosial fung­sional-struktaralism yang memberikan pembe­naran pembagian kerja secara seksual, di mana ayah atau suami bertugas memenuhi kebutuhan fisik keluarga, sementara bukan sesuatu yang aib kalau ibu atau istri bertugas mengurus per­soalan kerumahtanggaan, seperti memelihara anak-anak dan urusan keluarga lainnya.

Ketika indikator pekerjaan diukur berdasarkan nilai produktivitas, dan produktivitas ditafsirkan berdasarkan income materi, maka dampaknya antara lain, setiap orang yang tidak menghasil­kan nilai tambah (value added) maka dianggap tidak bekerja. Seberat apapun pekerjaan seorang ibu rumah tangga, ia tidak dianggap bekerja da­lam perspektif masyarakat kapitalis. Perempuan yang bekerja dalam dunia publik, masih dibeda­kan dengan dua istilah, yaitu perempuan bekerja dan perempuan karier atau lebih popular den­gan wanita karier. Yang pertama ditujukan ke­pada perempuan yang bekerja di sektor informal sebagai buruh atau semacamnya, tidak mempu­nyai hak-hak inisiatif lebih besar dan semuanya ditentukan oleh para pemilik modal, termasuk di sini para pekerja seks. Yang kedua diperuntuk­kan kepada perempuan yang memiliki profesion­alisme dan hak-hak inisiatif lebih luas. Ironisnya, polarisasi seperti ini tidak pernah diberlakukan bagi laki-laki.

Dalam lingkungan kerja, promosi karier se­orang perempuan selain harus memenuhi per­syaratan formal sebagaimana ketentuan yang berlaku, juga tersirat satu syarat inplisit, yaitu yang bersangkutan "direlakan" oleh kaum laki-laki di lingkungannya, baik di lingkungan unit kerjanya maupun di lingkungan keluarganya, khususnya oleh suaminya. Tidak sedikit jumlah karyawan perempuan gagal dipromosi karena "persyaratan eksternal" tersebut tidak dipenuhi. Jika kita hendak mengkaji lebih mendalam kin­erja perempuan, maka ada sejumlah faktor yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, antara lain faktor teologi, konsep keilmuan, dan faktor budaya.

Ada tiga hal yang secara teologis sering memojokkan perempuan. Pertama, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam; ked­ua perempuan diciptakan untuk melengkapi ke­inginan dan hasrat laki-laki; ketiga perempuan menjadi penyebab utama kejatuhan manusia ke bumi. Mereka juga menggugat penetapan hak dan wilayah peran yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, seperti soal warisan, perwalian, dan lain sebagainya. Para pemerhati perempuan mulai dengan terang-terangan me­nyoroti pembagian peran yang diatur di dalam kitab-kitab Fikih, khususnya dalam bab al-ahw­al al-syakhshiyyah, yang mengatur pembagian peran laki-laki dan perempuan. Hal ini bukan saja di lingkungan Islam tetapi juga di lingkungan agama lain seperti Kristen, Yahudi, dan agama-agama besar lainnya.

Kalangan ulama berpendapat bahwa Fikih ada­lah interpretase secara lokal dan kondisional ter­hadap sumber-sumber ajaran Islam yang bersifat universal. Jika terjadi pergeseran nilai sebagai aki­bat perubahan sosial maka dimungkinkan melaku­kan reinterpretasi sumber ajaran, termasuk mend­isfungsionalisasikan sejumlah hadis yang oleh Mernissi disebut hadis-hadis misoginis.

Reinterpretase terhadap sumber ajaran agama merupakan suatu keniscayaan, namun disa­dari batas-batas reinterpretasi ini sangat sensitif. Interpretasi secara liberal, mungkin maksudnya untuk meningkatkan derajat kaum perempuan tetapi, seringkali terkesan ayat-ayat ditakwilkan terlalu jauh sehingga keluar dari konteksnya. Tidak sedikit diantara usaha seperti ini menim­bulkan keresahan di dalam masyarakat. Un­tuk melakukan optimalisasi potensi dan peran karyawan profesional perempuan, diperlukan persepsi yang sama tentang hal-hal yang bersi­fat keagamaan. Kita berharap agama tidak lagi dijadikan dalil untuk membatasi kesempatan perempuan untuk berkarier lebih tinggi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA