Ayat dan hadis tersebut di atas membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi jika didalami sabab nuzul dan sabab wurud-nya sesungguhnya tidak bermaksud mereduksi hak-hak perempuan untuk menjadi pemimpin. Ayat ini turun dalam konteks kerumahtanggaan (
domestic sphare), bukan dalam lingkup ruang publik, yaitu turun untuk melerai pertengkaran seorang laki-laki Anshar dengan isterinya. Ayat ini juga menggunakan kata al-rijal (
gender term), yang menunjuk kepada kapasitas tertenÂtu yang dibebankan budaya terhadap laki-laki tertentu, bukannya menggunakan kata al-dzaÂkar (
sex term), yang menunjuk kepada setiap orang yang berjenis kelamin laki-laki. Kata qawÂwamun diartikan sebagai "pemimpin", yakni laÂki-laki menjadi pemimpin terhadap perempuan, yang juga bisa berarti pelindung. Terjemahan bahasa Inggerisnya: "
Man are the protectors and maintainers of women" berarti pelindung atau pemelihara. Muhammad Abduh dalam Al- Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Alasannya kareÂna ayat ini tidak menggunakan kata:
Bi tafdhiliÂhim 'alaihinna atau bima fadhdhalahum 'alaihinÂna (sebagaimana Allah memberikan kelebihan laki-laki terhadap perempuan), tetapi mengguÂnakan kata:
Bima fadhdhala Allah ba'dhahum 'ala ba'dh (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain). Redaksi ini lebih tepat karena dalam kenyataan sosial tidak selamanya laki-laki lebih mampu daripada perempuan.
Mengenai hadis yang dipopulerkan oleh Abu Bakrah, salahseorang mantan budak yang dihÂadapkan oleh suatu kondisi sulit. Ia harus memiÂlih antara mendukung sayyidina Ali, suaminya Fatimah anak kesayangan Nabi, atau menduÂkung 'Aisyah, istri Nabi dan putrinya sayyidina Abu Bakar. Dalam posisi seperti ini Abu Bakrah memopulerkan hadis di atas. Hadis ini sesungÂguhnya respon Nabi setelah mendengarkan raja Persi bernama Kisra wafat, dan kekuaÂsaannya digantikan oleh putrinya. Nabi memaÂhami betul kondisi kerajaan Persi yang tengah menghadapan musuh bebuyutannya, kerajaan Romawi. Dan ternyata kemudian Heraklius menginvasi Persia dan menduduki Ktesiphon. Munculnya hadis ini ternyata juga dilatarbelaÂkangi oleh suatu sebab khusus yang sifatnya kondisional.
Al-Qur'an justru menampilkan sosok pemimpin perempuan ideal dalam al-Qur'an. Balqis adalah representasi kepemimpinan ratu yang sukses dalam Al-Qur'an. Balqis dilukiskan seÂbagai pemilik tahta kerajaan
"superpower" (
lahu 'arsyun 'adhim/27:23), dan tidak pernah ada kata lah'arsyun ‘adhim. Kisah tentang keÂbesaran Ratu Balqis diuraikan tidak kurang dari dua surah (
al-Naml dan al-Anbiya'). Kisah panÂjang tentang penguasa Saba' yang makmur tentu bukan sekedar "cerita pengantar tidur", tetapi sarat dengan makna dalam kehidupan umat manusia. Setidaknya, Al-Qur'an mengiÂsyaratkan dan sekaligus mengakui keberadaan perempuan sebagai pemimpin. Kita diingatÂkan bahwa di dalam Al-Qur'an pernah ada toÂkoh perempuan yang mengendalikan kekuaÂsaan besar dan di sekelilingnya banyak tokoh laki-laki. Kisah Balqis dan Sulaiman ini menduÂkung pernyataan ayat lain yang mendukung keÂbolehan perempuan untuk menjadi pemimpin, yani: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adaÂlah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendiriÂkan sembahyang, menunaikan zakat, dan merÂeka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S. Al- Taubah/9:21).