Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Belum Kantongi Bukti Kuat, KPK Lepas Ketua PN Medan

Kasus Suap Vonis Tamin Sukardi

Kamis, 30 Agustus 2018, 11:03 WIB
Belum Kantongi Bukti Kuat, KPK Lepas Ketua PN Medan
Tamin Sukardi/Net
rmol news logo Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan Merry Purba dijebloskan ke tahanan. Ia diduga menerima sogokan untuk menjatuhkan vonis ringan terhadap Tamin Sukardi.

Tamin adalah terdakwa korupsi pencaplokan tanah negara bekas PT Perkebunan Nusantara II di Deliserdang, Sumatera Utara. Merry menerima uang dari Tamin sebesar Rp 3 miliar.

Uang diterima lewat Panitera Pengganti Pengadilan Negeri (PN) Medan, Helpandi. "Diduga total pemberian yang telah tere­alisasi dalam kasus ini adalah 280 ribu dola Singapura," kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.

"Sebelum kegiatan tangkap tangan dilakukan, diduga sebelumnya telah terjadi pembe­rian 150 ribu dolar Singapura kepada MP (Merry Purba)," lanjut Agus.

Suap itu untuk mempengaruhi majelis hakim dalam menjatuh­kan putusan kepada Tamin. "Hakim MP yang merupakan salah satu anggota majelis ha­kim menyatakan dissenting opinion dalam vonis tersebut," kata Agus.

Pada sidang pembacaan pu­tusan 27 Agustus 2018, Tamin dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Ia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar.

Vonis itu di bawah tuntutan jaksa yang meminta Tamin di­hukum 10 tahun penjara, denda Rp500 juta dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar.

Sehari usai pembacaan putusan, tim KPK menangkap Helpandi. Dari tangannya ditemukan amplop berisi uang 130 ribu dolar Singapura.

Helpandi digiring ke Kejaksaan Tinggi Sumut untuk diinterogasi. Dari keterangan Helpandi, tim KPK mencokok staf Tamin, Sudarni di rumahnya di Medan. Sudarni juga dibawa ke Kejati Sumut.

Bersamaan, tim KPK lainnya memburu Tamin. Ia ditangkap di rumahnya. Tim gagal menemukan Hadi Setiawan, orang kepercayaan Tamin.

Terakhir, tim KPK menangkap Merry, hakim karier PNMedan Sontan Merauke Sinaga, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo, Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, dan Oloan Sirait, panitera pengganti PN Medan. Mereka diangkut ke Kejati Sumut untuk pemeriksaan awal.

Wahyu, Sontan dan Merry adalah majelis hakim yang me­mutus perkara Tamin. Pimpinan PN Medan ikut dicokok lantaran diduga masuk pusaran suap.

Berdasarkan percakapan yang disadap KPK, ada sandi untuk hakim-hakim itu. Merry sand­inya 'ratu kecantikan'. Selain itu, ada sandi 'pohon' yang artinya uang.

Tujuh orang diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaanlanjutan di KPK. Yakni Tamin, Helpandi, Merry Purba, Wahyu Prasetyo, Marsuddin, Sontan dan Oloan.

Berdasarkan hasil pemerik­saan 1x24 jam, KPK hanya menetapkan empat tersangka kasus rasuah ini: Merry, Helpandi, Tamin dan Hadi. Tiga tersangka--selain Hadi yang belum tertang­kap--langsung ditahan.

Sementara Marsuddin, Wahyu, Sontan dan Oloan dilepas. "Sampai pemeriksaan 1x24 jam, kita belum menemukan alat bukti yang cukup kuat terhadap yang bersangkutan," kata Agus.

Saat digiring ke tahanan ke­marin sore, Merry membantah menerima suap dari Tamin. "Saya enggak tahu, makanya saya bingung, sampai sekarang ini masih bingung," ujarnya.

Ia berdalih tak kenal Tamin dan berhubungan dengan pihak terdakwa itu. "(Kenal) waktu perkara saja. (Bertemu) waktu sidang saja," katanya.

Kilas Balik
Majelis Hakim Putuskan Tanah Eks PTPN II Hak Tamin & Mujianto

Kasus pencaplokan tanah neg­ara bekas PT Perkebunan Negara (PTPN) II di Deliserdang awal­nya diusut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kemudian ditarik ke Kejaksaan Agung kar­ena kasus ini melibatkan Tamin Sukardi, pengusaha berpengaruh di Sumut.

Ditangani penyidik gedung bundar Kejagung, berkas perka­ra Tamin bisa diselesaikan dan dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan. Tamin didakwa melaku­kan korupsi yang merugikan negara Rp 132 miliar.

Jaksa membeberkan modus Tamin untuk menguasai tanah negara. Dimulai sejak 2002. Saat itu, Tamim mengetahui ada lahan perkebunan PTPN II yang tak diperpanjang Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Lokasinya di Perkebunan Helvetica, Kabupaten Deliserdang. Luasnya 106 hektar.

Tamin bermaksud menguasai dan memiliki lahan bekas perke­bunan itu dengan bekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).

Ia kongkalikong dengan Tasman Aminoto, Misran Sasmita serta Sudarsono. Mereka membayar orang agar mengaku sebagai ahli waris penggarap lahan eks PTPN II. Mereka juga mengumpulkan 65 KTP warga yang disuruh mengaku-aku ahli waris.

Warga dijanjikan bakal menda­pat tanah masing-masing dua hektare. Mereka lalu dikoordinir ke notaris untuk mengklaim tanah dengan bukti SKTPPSL tahun 1954 yang disediakan Tamin. Padahal, nama-nama di SKTPPSL itu bukanlah orang tua dari 65 orang yang mengurus dokumen tanah.

Pada 2006, warga kembali dikoordinir agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (almarhum) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Lubukpakam. Gugatan dikabulkan.

Pada 2007, Tasman melepas­kan hak PTPN II atas tanah itu kepada Tamin dengan biaya ganti rugi Rp 7 miliar saja. Tanah itu kemudian di balik nama atas nama PT Erni Putera Terari, perusahaan milik Tamin.

Berdasarkan akta di bawah tangan yang dibuat notaris, PT Erni Putera Terari menjual 74 hektare tanah bekas PTPN II kepada pengembang PT Agung Cemara Realty pada 2011. Harga yang disepakati Rp 236 miliar. Penjualan itu tanpa terlebih dulu mengurus peralihan hak atas tanah sesuai ketentuan UU Agraria.

Direktur Utama PT Agung Cemara Realty, Mujianto baru membayar Rp132 miliar kepada Tamin. Sisanya akan dilunasi setelah terbit sertifikat atas tanah tersebut.

Perbuatan Tamin, menurut jak­sa, merugikan negara. Pasalnya, tanah itu masih tercatat sebagai aset negara. Tidak ada reko­mendasi dari Menteri BUMN untuk melepas aset PTPN II di Deliserdang.

Tamin dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Setelah pemeriksaan perkara, jaksa menyimpulkan Tamin terbukti korupsi. Jaksa menun­tut Tamin dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar. Jaksa juga mem­inta majelis hakim menetapkan tanah eks HGU PTPN II dikem­balikan sebagai aset negara.

Majelis hakim memutuskan Tamin terbukti korupsi, meski hakim ad hoc Merry Purba menyatakan beda pendapat (dis­senting opinion). Tamin dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti Rp 132 miliar.

Namun majelis hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar tanah eks HGU PTPN II dianggap aset negara. Majelis memutuskan tanah itu hak PT Erni Putera Terari dan PT Agung Cemara Realty.

PT Agung Cemara Realty diperintahkan melunasi pem­belian tanah 74 hektar dari PT Erni Putera Terari. Namun pembayarannya bukan ke Tamin lagi, melainkan ke kas daerah. "Sebagai nilai kerugian negara," perintah majelis. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA