Telaah KelirumologisAkibat tidak hadir di lokasi peristiwa maka semula saya tidak berani gegabah membahas fenomena hadang-menghadang itu. Namun akibat ditegur oleh mahaguru kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi maka terpaksa saya memberanikan diri menelaah gejala hadang-menghadang melalui jalur kelirumologi.
Agar telaah lebih fokus dan jernih, maka saya mencoba menggunakan lensa hukum sesuai ajaran yang saya peroleh dari mahaguru hukum saya, Prof Mahfud MD.
Negara HukumMengingat Indonesia adalah negara hukum, maka apabila, sekali lagi: apabila yang dilakukan oleh Neno, Ahmad, Ratna, Rocky dkk yang dianggap mendukung
#2019GantiPresiden adalah perilaku yang dapat dianggap melanggar hukum maka para penghadang dapat dianggap sebagai para penegak hukum.
Namun selama para penghadang belum resmi diangkat menjadi penegak hukum oleh pemerintah maka apa yang dilakukan para penghadang termasuk kategori “main hakim sendiriâ€.
Masalah makin rumit apabila dipertanyakan mengenai apakah gerakan
#2019GantiPresiden layak dikategorikan sebagai gerakan melanggar hukum.
Jika jawabannya “YA†maka sertamerta para pendukung gerakan melanggar hukum layak dianggap sebagai para pelanggar hukum. Jika jawabannya “TIDAK†maka sertamerta para pendukung suatu gerakan tidak melanggar hukum tidak boleh dianggap sebagai para pelanggar hukum.
PolisiApabila, sekali lagi apabila yang dihadang memang dianggap sebagai pelanggar hukum, maka sebenarnya segenap kehebohan hadang-menghadang tidak perlu terjadi apabila pihak kepolisian langsung menangkap para terhadang sebelum mereka dihadang atas dugaan melanggar hukum akibat mendukung suatu gerakan melanggar hukum.
Namun apabila para penghadang dianggap tidak melanggar hukum maka polisi wajib menghadang para penghadang agar tidak menghadang para terhadang mengejawantahkan hak asasi manusia untuk berpendapat dan mengungkapkan pendapat masing-masing .
KemanusiaanTerlepas dari telaah kelirumologis, pada hakikatnya rentetan peristiwa hadang-menghadang mengingatkan saya pada wejangan almarhum mahaguru falsafah hukum saya, Prof. Satjipto Rahardjo ketika saya sedang gelisah dirundung prihatin menyimak kenyataan bahwa hukum tidak mampu paripurna menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi umat manusia.
Prof Tjip mewariskan wejangan agar saya harus senantiasa sadar apa yang disebut sebagai hukum memang selalu tertinggal oleh kenyataan yang senantiasa niscaya terus menerus berubah.
Maka di samping apa yang disebut hukum, memang umat manusia dalam menempuh perjalanan peradaban di planet bumi ini tetap niscaya senantiasa membutuhkan bekal nurani kemanusiaan.
[***]
Penulis adalah pendiri Pusat Studi Kelirumologi dan Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan