Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin menyeÂbut, umat Islam di Indonesia secara keseluruhan ada sekitar 220 juta, tidak bisa disemÂpitkan pada kelompok keuÂmatan tertentu untuk urusan pemilu. Berikut penuturan Din Syamsuddin selengkapnya :
Dalam rangka apa pertemuan kemarin itu?
Kemarin itu, Dewan Pertimbangan MUI menyeÂlenggarakan rapat pleno ke-29 yang merupakan pertemuan bulanan dan khusus untuk hari ini menghadirkan Wapres Jusuf Kalla dalam rangka dialog. Karena Dewan Pertimbangan MUI sangat meyakini kekuatan dialog. Terutama tukar menukar pemikiran antara kita dengan siapa saja, termasuk yang berÂbeda pandangan dengan kita. Karena dengan dialog kita bisa berada di titik temu.
Apa yang menjadi topik pembahasannya? Khusus kali ini kita menÂgangkat tema umat Islam daÂlam menghadapi demokrasi Indonesia, khususnya pemilu legislatif dan pilpres yang akan diselenggarakan di 2019 menÂdatang.
Temanya politis sekali.... Bahwa harus diakui adanya kemajuan, perkembangan dalam kehidupan umat Islam beberapa tahun belakangan ini. Dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, pendidikan, kebudayaan, seperti penggunaan lambang-lambang Islam. Namun harus diakui masih banyak permasalaÂhan dalam bidang ekonomi, teruÂtama dalam bidang kesenjangan dan ketakmampuan umat Islam untuk bisa memberdayakan diri secara ekonomi.
Oleh karena itu pertama disaÂrankan agar perjuangan kebuÂdayaan yang dilakukan ormas-ormas bisa dilakukan, karena sejatinya ormas-ormas Islam adalah gerakan kultural, gerakan kebudayaan untuk memperkuat landasan masyarakat yang perlu terus dilakukan. Dan juga perlu juga dilakukan perubahan strukÂtural seperti yang dilakukan partai-partai politik atau lewat jalur politik. Jadi dua ini tadi didorong terus menerus melakuÂkan jalan dakwah, mengayomi 220 juta umat Islam. Bukan hanya sebagian atau beberapa dari mereka. Dan juga sabilus siyasah atau jalan politik yang harus dipertimbangkan.
Selain itu apalagi? Tadi juga dibicarakan, agar konsep keumatan tidak disemÂpitkan, tidak direduksi pada sejumlah dari umat Islam. Umat Islam 220 juta, jangan direduksi menjadi puluhan juta. Dan tidak semua umat Islam itu ada di parÂtai-partai Islam atau partai-partai berbasis mayoritas Islam.
Banyak menyebar di partai-partai politik yang termasuk tidak berbackground Islam. Ini harap dipandang sebagai keseluruhan umat Islam. Sebab kalau reduksionis, penyempitan jumlah umat Islam, mungkin kita hanya mengklaim sebagaÂian atau beberapa dari mereka. Nah, terkait dengan ini, tadi juga diangkat dalam dialog itu, agar dalam menyikapi agenda demokrasi, sekarang ini tidak mudah dikatakan sesuatu itu putih sesuatu itu hitam. Sesuatu itu baik sesuatu itu buruk. Karena di dalamnya semua ada potensi kebaikan.
Oleh karena itu, umat Islam agar tidak terjebak kepada panÂdangan dikotomis yang kemuÂdian muncul dalam klaim-klaim, inilah jalan keislaman, inilah jalan yang harus ditempuh umat Islam, satu-satunya. Sementara jalan politik itu jalan yang terbuka. Jalan yang bisa diisi denganruh Islam, yang bisa diisi dengan semangat Islam. Kalau seandainya ini tidak bisa diÂterima, bahwa jangan melihat realitas politik itu secara dikoÂtomis hitam putih.
Makanya tadi pesan terakhir, janganlah sampai perbedaan aspirasi, kepentingan termasuk pasang calon di dalam pilpres itu berbeda, yang berbeda kemudiÂan membawa rusaknya ukhuwah (hubungan) islamiyah.
Yang terakhir ini kita tekankan dan ini juga pesan dari dewan pertimbangan MUI yang telah menyepakati dulu, awal sekali, tentang etika ukhuwah islamiyah agar islam jang saling menafiÂkan, jangan saling meniadakan.
Lalu, apakah pernyataan Anda ini mengkritik pihak-pihak tertentu? Kami sama sekali tidak mengÂkritik. Tetapi pada posisi mengÂingatkan bahwa umat Islam itu banyak, 220 juta. Banyak yang bergabung dengan partai-partai Islam seperti PPP, PKS, PBB dan partai-partai berbasis masa Islam seperti PAN. Tapi umat Islam juga tersebar di partai-partai lain yang tidak menggunaÂkan nama Islam seperti, Hanura, Nasdem, Demokrat, PDIP dan partai-partai baru. Maka pesan yang ditekankan sekali jangan kita mereduksi jumlah umat islam itu.
Maka itu ada klaim-klaim yang monopolistik. Insya Allah kalau berjuang atas nama Islam, bisa menampilkan nama Islam, Allah akan mengganjarinya.
Insya Allah kalau yang berÂjuang tidak di partai-partai islam, tapi partai-partai lain, sekuler nasionalis, insya Allah nanti juga akan memperjuangkan cita-cita Islam dan Allah akan mengganÂjarinya. Dan yang berorientasi kepada cita-cita nasional, negara yang adil dan makmur, berdaulat, bermartabat yang sesungguhÂnya berhimpit dengan cita-cita Islam,
baldatun toyyibatun wa robbun goffur.
Dari Wapres JK ada imÂbauan untuk mengurangi politik identitas? Tidak secara khusus dibicarakan dan juga tidak ada pertanyaantentang politik identitas tadi. Tetapi menurut saya identiÂtas dalam politik adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan dan dilenyapkan, karena itu melekat kepada diri manusia. ***
BERITA TERKAIT: