Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indahnya Kompetisi Tanpa Threshold, Pengantar Nonton Semi-Final

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Minggu, 08 Juli 2018, 23:55 WIB
Indahnya Kompetisi Tanpa Threshold, Pengantar Nonton Semi-Final
Foto/Net
PIALA DUNIA adalah kompetisi olahraga paling banyak ditonton di muka bumi. Kalau dihitung secara cermat, terutama sejak teknologi informasi jadi begini maju sehingga dunia bisa berada dalam genggaman, boleh jadi lebih dari 1,5 milyar orang menyaksikan putaran final sepakbola yang digelar selama sebulan.

Turnamen sepakbola (pria) empattahunan yang dirancang Fédération Internationale de Football Association (FIFA) ini menarik ditonton bukan semata cabang olahraga yang satu ini banyak penggemarnya.

Tapi karena FIFA mendesain format dan sistem kompetisinya dengan memperhitungan secara cermat berbagai dinamika yang berkembang, untuk menyalurkan naluri manusia yang secara sunatullah (ingin) terus berubah.

Keputusan FIFA dalam menjaga dinamika sepakbola yang paling penting dicatat adalah komitmen yang sejak awal dan terus dipertahankan hingga sekarang adalah: memberikan kesempatan kepada semua negara untuk mengikuti kompetisi Piala Dunia.

Meskipun secara rutin melakukan pemeringkatan untuk mengukur kualitas sebuah timnas, tapi itu tidak dijadikan nilai ambang batas (threshold) persyaratan kepesertaan mengikuti turnamen. Semua anggota FIFA berhak ikut serta dalam Piala Dunia.

"Kompetisi ini diperuntukkan bagi semua orang dari seluruh dunia. Jika tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk berpartisipasi, mereka tidak akan berkembang dan kita juga tidak akan tahu perkembangan mereka," kata Presiden UEFA Michel Platini suatu hari.

Gianni Infantino, Presiden FIFA yang baru, merespon pernyataan Platini dengan menyatakan dukungannya untuk Piala Dunia 2026 dengan menambah peserta putaran final dari 32 menjadi 48 tim.


Tanpa Threshold Jadi Menarik

Selain menafikan Threshold dalam kepesertaan, sehingga memungkinkan semua tim bisa memenangi kompetisi, FIFA juga terus menata aturan di lapangan dan di luar lapangan, agar sepakbola tetap memiliki daya pukau dan memberikan rasa keadilan bagi semua, yang kemudian diberlakukan sebagai aturan baku di dunia persepakbolaan.

Misalnya, ketika ada kecenderungan tim yang sudah bikin gol lalu mempertahankan kemenangannya dengan membuang-buang waktu -memainkan si kulit bundar hanya di wilayahnya sendiri, dengan mengoper bolak-balik ke penjaga gawang-, FIFA pada awal 1990-an menerbitkan pertaruan backpass. Kiper dilarang menangkap bola yang secara sengaja dioper oleh rekan mereka sendiri.

Kemudian ketika dalam kompetisi permainan bertahan (defensif) bisa menguntungkan karena selisih angka kemenangan (2) dengan hasil imbang (1) tak berbeda jauh, sehingga pertandingan jadi menjemukan, FIFA mengubahnya menjadi "menang nilai 3, seri 1, dan kalah 0".

Tak cukup sampai di situ. Agar lebih dinamis, FIFA memberikan nilai (value) lebih tinggi terhadap gol yang diciptakan di kandang lawan. Sehingga apabila hasil pertandingan sistem home and away seri, akan dihitung berapa selirih gol tandangnya. Bila masih sama, diberlakukan indikator baru: pemenangnya yang paling sportif di lapangan, dengan ukuran pelanggaran (kartu) yang diberikan wasit.

Begitulah. Piala Dunia 2018 Rusia yang kini menyisakan empat tim yang dibagi dalam dua partai (Perancis vs Belgia dan Kroasia vs Inggris) ini memang mengejutkan banyak orang. Tim yang berhasil menembus babak semi-final ini meleset jauh dari prediksi para analis yang dasar perhitungannya "elektabilitas" dan peringkat tim peserta.

Melihat dinamika sepakbola yang menjadi ciri pentas Piala Dunia, membuat kita setuju atas kebenaran keputusan FIFA untuk menghilangkan persyaratan kepersertaan melalui (threshold) pemeringkatan. Karena tanpa threshold terbukti kompetisi menjadi lebih menarik.

Bahwa sejarah hanya mencatat beberapa negara yang sukses memenangi turnamen ini, karena tim-tim pelanggan juara itu memang berhasil mempertahankan prestasinya sebagai incumbent, seperti Brasil, Italia, Jerman dan Argentina.

Tapi ketika tim-tim yang memiliki elektabilitas tinggi itu prestasinya menurun, toh segera tersingkir dan hilang di putaran berikutnya.

Kita berharap Komite Pemilihan Umum (KPU), parpol dan para pemangku kepentingan dalam rezim pemilu ini mau berkaca kepada FIFA, kepada Piala Dunia, yang secara dimanis mengatur dan menjaga sistem dan tata kelola kompetisi untuk melahirkan pemenang teruji dan berkualitas.

Kalau itu terjadi, niscaya kompetisi (politik) dalam demokrasi kita akan terasa asyik dan bermanfaat, karena memberikan jaminan lahirnya orang-orang berkualitas, dan teruji secara transparan. [***]


Penulis adalah pemilik akun @AdhieMassardi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA