Pengalaman yang sama juga ditunjukkan seorang nakoda tradisional asal Bulukumba Sulawesi Selatan ketika ikut serta di dalam misi napak tilas perahu Phinisi dari Makassar ke Vancouver, Kanada, dalam Ekspo 86 VancouÂver. Selama 69 hari mereka melayarkan Phinisi dari Jakarta untuk mengharumkan nama bangÂsa di Expo tersebut. Expo itu mengambil tema: "
World in Motion World in Touch" diselenggaraÂkan untuk menunjukkan teknologi transportasi dan komunikasi negara di dunia. Kapal Phinisi Nusantara merupakan kapal layar asli buatan para ahli dari Tanaberu Bontobahari, Makassar. Konsepnya dibuat secara tradisional, tetapi diÂlengkapi dengan navigasi dan telekomunikaÂsi yang canggih seperti peralatan komunikasi menggunakan satelit Inmarsat, yang merupaÂkan sistem telkom tercanggih saat itu. Untuk tanda panggil (call sign) Perahu ini menggunaÂkan kode YDYN. Ekspedisi Phinisi Nusantara ini ditulis oleh Pius Caro, wartawan Kompas yang ikut dalam ekspedisi tersebut, dan bukuÂnya diterbitkan oleh Penerbit Kompas Tahun 2012. Banyak cerita menarik dalam perjalanan lebih dua bulan itu. Di antaranya keahlian naÂkoda Bugis Makassar mendeteksi dan memÂperkirakan perkembangan cuaca tidak kalah tepatnya dengan perkiraan peralatan canggih yang dimodifikasikan ke dalam Phinisi NusanÂtara yang dinakodai oleh Gita Ardjakusuma, pelaut dengan ijazah MPB I, lulusan AAL SuraÂbaya tahun 1968. Kelihaian para pelaut senior Bugis Makassar yang ikut serta dalam perahu itu betul-betul patut diacungkan jempol. Dalam cerita Pius Caro, terkadang pelaut tradisional tersebut lebih dominan menentukan jalannya ekspedisi menantang ini. Itu semua dimungÂkinkan karena jalinan persahabatan antarapara leluhurnya secara turun temurun dengan laut.
Pertanyaannya ialah bagaimana para pelaut Bugis-Makassar bersahabat dengan laut? TenÂtu mereka tidak gratis atau datang begitu saja, tetapi melalui jalinan persahabatan antara keÂluarga pelaut dengan sang laut. Seperti halÂnya pembuatan kapal perahu phinisi lainnya, selalu ada santapbace, upacara pemotongan awal kapal, oleh seorang panrita yang diawaÂli dengan membakar kemenyan, memanterai pahat dan gergaji, seperti yang dilakukan oleh panrita Daeng Marinyo yang membuat Phinisi Nusantara legendaris itu. Dengan posisi memÂbujur terhadap garis Selat Selayar, potongan lunas yang ada di hilir segera dibuang ke laut sebagai penolak bala, sedangkan yang hulu disimpan di rumah pemilik perahu. Sepentas lalu menyerupai praktek syinkkretik, yang diÂpandang praktek sesat olah kaum salafi, tetapi mereka tidak mau disebut menjalankan praktek musyrik karena mereka juga sudah haji berkali-kali. Apa yang dilakukannya bukan proses peÂnyembahan laut tetapi proses jalinan persahaÂbatan dengan laut. Lain menyembah laut lain bersahabat dengan laut.