Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

TENDANGAN BEBAS

Meksiko, Eslandia, Mesir…Tanggalkan Jas Merah di Rusia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Senin, 18 Juni 2018, 09:28 WIB
BARU memasuki H+5 Piala Dunia sudah menyuguhkan dua kejutan dan tiga partai mendebarkan yang bisa bikin setiap jiwa pendukungnya tegang.

Kejutan pertama datang dari Eslandia. Negara mungil di barat laut Eropa ini sukses bikin frustrasi superstar Lionel Messi dkk sehingga juara Piala Dunia dua kali (1978 & 1986) dan dua kali runner up (1990 & 2014) ini dipaksa puas mengantongi satu poin saja karena skor akhir 1-1.

Belum reda publik sepakbola dunia membicarakan sepak terjang bangsa Viking itu, dari Amerika Latin muncul kejutan kedua. Meksiko, negara yang beberapa kali dilanda badai kemiskinan itu berhasil mengandaskan Jerman, pengoleksi 4 (empat) gelar juara Piala Dunia (1954, 1974, 1990, dan 2014). Skornya memang tipis (1-0). Tapi setipis apa pun, kalau kalah ya tidak dapat jatah poin.

Ada yang bilang kekalahan tim besutan Joachim Löw ini karena memang begitu nasib umumnya juara bertahan di ajang Piala Dunia. Selalu memperoleh hasil buruk, sebagaimana dialami Italia (2010) dan Spanyol (2014).

Tapi terlepas dari “kutukan Piala Dunia”, penampilan Meksiko, khususnya si pencetak gol Hirving Lozano (PSV Eindhoven) memang agresif, disiplin dalam bertahan dan saat menyerang, di samping spirit untuk menang yang tinggi.

Sedangkan tiga partai yang mendebarkan datang dari laga Portugal vs Spanyol (3-3), Perancis vs Australia (2-1), dan yang baru kita saksikan dini hari tadi, Brasil vs Swis yang berakhir imbang 1-1.

Pada H+5 ini semua tim yang dinobatkan sebagai “kandidat juara” sudah tampil semua: Argentina, Portugal, Spanyol, Perancis, Jerman dan Brasil. Dari ke-6 tim kandidat juara itu yang memenangi pertandingan hanya Perancis.

Semula Brasil diperkirakan bakal jadi kandidat terkuat. Karena pada laga pembuka melawan Swis, begitu pertandingan dimulai, Neymar Cs ini tampil bak para pendekar yang kaki-kakinya begitu lengket dengan si kulit bundar, membuat para pemain Swis tampak bodoh karena mudah dikecoh.

Sayangnya penampilan ciamik Brasil hanya sampai pada 25 menit pertama. Setelah Philippe Coutinho mencetak gol indah pada menit ke-20, permainan Samba mereka mulai kehilangan irama akibat dibombardir skuad Swis yang melahirkan gol balasan pada menit ke-50 (Steven Zuber), dan menjadikan skor akhir 1-1.

Tanggalkan Jas Merah


Dalam setiap turnamen besar sekelas Piala Dunia, tim-tim yang tidak diunggulkan, bahkan kita diremehkan, acap kali memberikan terapi elektrokonvulsif (shock therapy), terapi kejutan listrik bagi penderita gangguan jiwa, seperti yang dilakukan Eslandia, Meksiko dan Swis kepada Argentina, Jerman dan Brasil.

Para pemain dari tim-tim unggulan secara umum biasanya tidak terlalu lepas dan bebas berkreasi di lapangan karena dibebani sejarah. Mereka dihantui “jas merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Itu sebabnya secara psikologis di lapangan mental mereka menjadi takut kalah, dan bukan ingin menang.

Memang beda penampilan tim yang takut kalah dengan tim yang ingin menang. Tim yang takut kalah lebih hati-hati dan cenderung defensif, tapi lekas grogi begitu mendapat perlawanan militan.

Sedangkan tim yang ingin menang semangat menyerangnya jauh lebih tinggi dan nyaris tidak memperhitungan pertahanan, karena ideologi mereka “pertahanan terbaik adalah menyerang”.

Itulah yang terjadi pada para pemain Eslandia, Meksiko, dan Swis. Sebenarnya timnas Mesir juga memiliki semangat serupa. Sayangnya superhero mereka, Mohammed Salah, belum kunjung merumput di Rusia.

Mudah dipahami kenapa tim-tim yang tidak diunggulkan justru tampil lebih agresif. Karena untuk bisa lolos ke Rusia, mereka harus berjuang dengan susah payah di fase babak kualifikasi.

Makanya, setelah lolos ke putaran final, tak ada satu tim pun yang kemudian menggumam: “Bisa lolos ke putaran final saja sudah alhamdulillah…!” Lalu bermain tiga kali, dan setelah itu mudik, pulang kampung, karena tidak lolos ke putaran 16 besar berikutnya.

Seperti kata player Mesir Mohammed Salah: “Kami ingin menciptakan sejarah, meraih sesuatu yang berbeda. Jadi tekanannya adalah meraih sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah kami raih. Bukan hanya tampil di Rusia, melakoni tiga pertandingan, dan selesai. Pikiran seperti itu tidak ada dalam pikiran saya!”

Setelah tiba di Rusia, mereka memang menanggalkan (slogan) “jas merah” yang di negara kita kondang sebagai pernyataan politik Presiden Soekarno di akhir kekuasaannya, pertengahan tahun 60-an.

Benar, orang-orang besar, negara-negara besar yang berkemajuan, bukanlah mereka yang (hanya) “tidak sekali-kali meninggalkan sejarah” tetapi mereka yang “tidak pernah berhenti membuat sejarah!” ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA