Turunnya Al-Qur’an ke bumi memerlukan waktu 23 tahun. Panjangnya waktu turunnya Al-Qur’an menjadi bukti betapa kitab suci ini memanusiakan manusia. Bisa saja Allah Swt menurunkannya dalam waktu sekejap tetapi bisa dikesankan terjadi proses pemaksaan yang di luar ambang batas kemanusiaan. Seperti diketahui, budaya Arab adalah pemiÂnum sehingga untuk menghapuskan budaya ini diperlukan 4 ayat turun secara bertahap unÂtuk menghapuskannya. Tradisi perekonomian Arab bersifat ribawi atau rentenir, sehingga diperlukan 7 ayat turun untuk menghapus traÂdisi eksploitatif itu di dalam masyarakat.
Konsekuensi manusia diciptakan dengan seperangkat kecerdasannya, maka mereka dibekali dengan sikap kritis untuk mempertahÂankan eksistensi dirinya, termasuk bersikap kritis terhadap ajaran-ajaran agama langit itu. Istimewanya ialah Allah Swt memahami keÂnyataan ini. Buktinya, setiap kitab suci-Nya diturunkan dengan cara berangsur-angsur (
tadrij), menyedikitkan beban (taqlil al-taklif), dan mengeliminir kesulitan (
'adam al-haraj). Ini membuktikan bahwa agama langit turun ke bumi mengalami proses "pembumian". AlÂlah Swt yang memiliki kekuatan "kun fa yakun" tidak serentak ajaran agama-Nya dipaksakan kepada hamba-Nya yang sangat dhaif. PadaÂhal, tak satu pun hambanya yang bisa menoÂlak seluruh ajaran agama-Nya jika ia menghÂendaki-Nya. Ini bukan berarti tuhan mengalah terhadap manusia, tetapi menjadi bukti betaÂpa Tuhan memanusiakan manusia atau betaÂpa Tuhan menekankan dirinya sebagai Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Membumikan ajaran agama Tuhan menÂgandung konsekuensi bahwa manusia pada satu sisi memiliki potensi, otoritas, dan kapasiÂtas tertentu yang juga semuanya berasal dari- Nya, tetapi sisi lain manusia memiliki kekuranÂgan yang prinsip sehingga mereka memerlukan bimbingan agar tidak jatuh terjerumus dengan kelemahan fundamental yang melekat pada dirinya. Manusia dalam pandangan Islam buÂkan antroposentris, yang serba manusia, buÂkan juga teosentris yang serba Tuhan, tetapi manusia menurut Prof. S.H. Nasr sebagai teoÂmorfis, yaitu makhluk yang memiliki berbagai kelebihan tetapi memiliki kelemahan melekat pada dirinya sehingga masih tetap membutuhÂkan petunjuk Tuhan. Karena itu, diturunkan keÂpadanya wahyu (Kitab) dan para Nabi untuk menjelaskan sekaligus mencontohkan pengaÂmalan petunjuk itu.
Tidaklah sepantasnya kalangan manusia memaksakan kehendaknya agar manusia lain mengikuti petunjuk-Nya. Allah Swt tidak melakukannya dan para Nabi-Nya pun tidak melakukannya. Bahkan Allah Swt menegasÂkan: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepaÂda orang yang dikehendaki-Nya, (Q.S. al- Qashash/28:56). Dalam ayat lain Allah Swt menyindir orang-orang yang melampaui kaÂpasitasnya, mau memaksakan keinginannya untuk dan atas nama agama: Dan jikalau TuÂhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia suÂpaya mereka menjadi orang-orang yang beriÂman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99).
Namun perlu diingat, siapapun tidak boleh berlindung dengan jargon "membumikan agama" untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau melakukan penafsiran secara liberal kitab suci hingga kelÂuar jauh meninggalkan inti ajaran agama. HarÂus kita ingat, pembumian agama untuk melanÂgitkan kembali manusia setelah jatuh dalam drama kosmos, yang dilakukan oleh nenek moyang kita, Adam dan Hawa.
Allahu a'lam.