Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Sultonul Huda: Sertifikasi Itu Memang Bagus, Untuk Membangun Ulama-ulama Pro Indonesia

Selasa, 05 Juni 2018, 09:25 WIB
Sultonul Huda: Sertifikasi Itu Memang Bagus, Untuk Membangun Ulama-ulama Pro Indonesia
Sultonul Huda/Net
rmol news logo Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mendukung rencana Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan ser­tifikasi terhadap mubaligh. Menurut dia, sertifikasi ini justru bisa mendata para mubaligh. Berikut pernyataan Sultonul terkait ser­tifikasi mubaligh dan pertemuan Katib Aam NU, KH Yahya Cholil Tsaquf dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence beberapa waktu lalu.

Tanggapan Anda denganwacana sertifikasi terhadap para mubaligh?
Kita sempat itu menyampai­kan mengenai sertifikasi ulama. Di negara lain, tidak usah jauh-jauh, di negara yang paling dekat saja, seperti Malaysia dan Brunei itu ada sertifikasi.

Apa sih manfaatnya menser­tifikasi para mubaligh itu?

Sertifikasi ulama itu dilakukan agar kita tahu latar belakang se­luruh ulama yang ada, sehingga ketika mereka menyampaikan tidak sesuai dengan nilai apa-apa yang ada di negara tersebut, maka itu akan mudah dideteksi. Nah di Indonesia hal tersebut belum ada, dan saya yakin ini tentu akan ditolak. Sebetulnya kalau prinsipnya untuk menjaga data orang-orang yang sering muncul ke depan publik atas nama ulama itu bisa dilakukan justru itu bagus, enggak apa-apa itu dilakukan sertifikasi ulama.

Berarti Anda mendukung rencana itu?

Ya sertifikasi itu memang bagus, justru sertifikasi ini akan membangun ulama-ulama yang pro dengan Indonesia, bukan yang pro dengan pemikiran-pemikiran luar yang bisa jadi itu tidak cocok dengan Indonesia .

Mengenai ideologinya ba­gaimana?

Oh tentu harus Pancasilis itu, pasti soal ideologi. Di Arab Saudi pun soal ideologi juga tetap ada, lalu ada yang menga­takan bahwa itu tidak demokrasi terhadap ulama-ulama. Nah per­tanyaannya adalah itu demokrasi ala mana? Demokrasi itu harus kontekstual, enggak bisa tek­stual.

Soal lain. Beberapa waktu lalu, Katib Aam Nadlatul Ulama, KH Yahya Cholil Tsaquf bertemu dengan Wapres Amerika Serikat, Mike Pence, apa saja yang dibicarakan keduanya?

Memang kita kan kerjasama dari dulu, memang ada dalam bidang sosial. Kerjasama kok dipersoalkan. Pertemuan kedua orang tersebut untuk memba­has duduk permasalahan bom Surabaya. Kemudian pemba­hasan meluas hingga membahas Islam di Indonesia.

Apakah topik terkait pe­mindahan Kedubes Amerika Serikat ke Yerussalem juga dibahas?
Salah satu yang diminta oleh Gus Yahya kepada Amerika yaitu mempertimbangkan kem­bali kedutaan Amerika Serikat di Yerussalem. Jadi kita berkomu­nikasi dengan Amerika itu bu­kan untuk mendukung mereka, tetapi untuk menujukkan misi kita. Pertama, bahwa Amerika tidak boleh bermata ganda, satu sisi mereka menggempur isu radikalisme, namun di sisi lain mereka membiayai isu tentang radikalisme.

Hampir semua kelompok radikalisme itu bentukannya Amerika Serikat, tetapi hingga akhirnya banyak kelompok yang melawan Amerika itu sendiri. Termasuk adanya kelompok-kel­ompok baru di Indonesia. Tetapi kemudian setelah mereka tidak dibina oleh Amerika, mereka membentuk kelompok sendiri dan melakukan perlawanan. Jadi kita ini, jangan karena ada per­temuan dengan Amerika itu lalu langsung disalahkan, enggak ada salahnya kan, itu sama saja orang Islam bertemu dengan orang Kristen. Yang terpenting itu kita tidak boleh terpengaruh oleh mereka.

Oh ya sebenarnya bagaima­na sih kok terorisme acap kali dikaitkan dengan agama Islam?

Di dalam sebuah agama itu ada terorisme, radikalisme, fundamentalisme. Terorisme itu kan orang yang selalu melaku­kan pendekatan dengan cara teror, nah identifikasi itulah yang menjadi masalah. Kalau di kita kenapa itu condong ke kelompok Islam. Karena sering kali setiap ada bom itu selalu mengklaim dengan nama Islam, sehingga nama Islam-lah yang tercoreng. Seperti bom di Surabaya ke­marin, ada klaim bahwa ISIS yang bertanggung jawab atas insiden tersebut. Coba misalkan yang mengklaim bertanggung jawab itu dari bukan nama Islam, pasti cap itu akan berbeda kepada Islam.

Di dalam pemikiran Islam ada pemikiran yang belum se­lesai, yaitu pemikiran teologis. Makanya kemudian menjadi berbeda-beda. Teologinya orang Nahdlatul Ulama itu Asy'ariyah Maturidiyah, teologinya orang HTI, wahabi itu berbeda. Kalau Wahabi itu Muhammad bin Abdul Wahab, kalau HTI Sayyid Qutb, intinya seperti itu.

Teologi Asy'ariyah adalah teologi yang hampir digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia ini. Teologi Asy'ariyah rata-rata menerima empat mahzab. Syafi'I, Hambali, Hanafi dan Maliki, yang itu tidak digunakan oleh kelompok-kelompok yang saat ini muncul. Padahal empat mahzab itu merupakan pedoman untuk memahami Islam secara benar.

Memang Anda bisa baca Al-Qur’an langsung paham Islam, apa bisa dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Anda langsung paham Islam? Emang bisa setelah baca Al-Qur'an dan Hadits bisa langsung salat? Kan itu semua harus dipelajari melalui orang tua, keluarga, guru-guru. Ndak ada itu kita kembali ke Al-Qur'an dan hadits terus meninggalkan guru-guru kita, ndak ada itu. Saya pun tahu Islam dari guru saya.

Tetapi kan banyak tafsir yang mengklaim paling benar?

Nah kalau soal ini kita harus mencari mana yang paling kita yakini paling benar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA