Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Azyumardi Azra: Daftar Mubalig Itu Bagus, Tapi Parameternya Harus Jelas, Yang Buat Pun Jangan Kemenag

Senin, 28 Mei 2018, 11:19 WIB
Azyumardi Azra: Daftar Mubalig Itu Bagus, Tapi Parameternya Harus Jelas, Yang Buat Pun Jangan Kemenag
Azyumardi Azra/Net
rmol news logo Baru-baru ini Kementerian Agama (Kemenag) merilis 200 nama mubalig yang direkomen­dasikan pemerintah. Memang di dalam daftar itu banyak kiai yang mumpuni bertengger, namun tetap saja daftar itu memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sebab lebih banyak lagi kiai yang mumpuni dari sisi keilmuan yang tidak terkait pa­ham radikal tidak masuk daftar.

Lantas apa pandangan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam me­nyikapi kontroversi listing re­komendasi kiai tersebut? Berikut penuturan Azyumardi Azra.

Baru-baru ini Kemenag mer­ilis daftar 200 mubalig yang direkomendasikan pemerintah. Apa pandangan Anda terkait daftar mubalig itu?
Menurut saya daftar itu bagus, tapi harus ada parameter yang jelas dulu. Karena ada mubalig yang ceramahnya hanya mem­provokasi, sehingga harus jelas dibikin standardisasi, dibikin latar belakang pendidikannya di mana, berdakwah di mana dan lain sebagainya. Menurut saya hal itu penting. Tapi yang bikin jangan Kemenag, melainkan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) atau ormas Islam, dan bekerja sama dengan universitas Islam sehingga bisa dipertanggung­jawabkan secara akademis.

Tapi belakangan daftar mub­alig itu malah justru memicu kontroversi di masyarakat, bahkan banyak yang menilai kebijakan itu malah membuat beberapa mubalig yang tidak masuk daftar tersudutkan karena dianggap berpaham radikal. Bagaimana itu?
Tidak apa-apa (penerbitan daftar mubalig itu menimbulkan kontroversi), karena menu­rut saya memang harus diatur. Kalau di Singapura, Malaysia, dan Mesir berceramah itu harus ada surat izinnya, ada SIM-nya istilahnya. Tapi di Indonesia kan tidak perlu, mereka bebas saja langsung berceramah. Tapi ke­bebasan itu sering disalahguna­kan ustaz-ustaz untuk memaki-maki siapa saja, makanya perlu diterbitkan. Hanya saja daftar tersebut harus disempurnakan.

Tapi kemunculan bibit radikalisme itu sebenarnya bukan hanya lewat ceramah mubalig, tapi banyak juga muncul di lingkungan kam­pus. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?
Kalau itu harus ada diklat ten­tang keindonesiaan. Jadi antara agama dan keindonesiaan, keis­laman dengan keindonesiaan. Karena masih banyak yang mempertentangkan keimanan, keagamaan dan keindonesiaan. Saya kira guru dan dosen, khususnya bidang ilmu alam. Karena bidang bidang inilah yang banyak dosen atau gurunya berpaham radikal.

Kita lihat dalam kasus bom bunuh diri itu banyak sekali kecurigaan bahwa itu rekayasa. Dan di kalangan dosen pergu­ruan tinggi umum terkenal men­ganggap (kasus itu) rekayasa dari pemerintah. Paham itulah yang mesti direspons dengan pendidikan kebangsaan. Jadi harus ada diklat kebangsaan.

Berarti materi pembelaja­ran di lingkungan kampus harus ditambah lagi untuk menangkal tumbuhnya bibit-bibit radikalisme?
Kalau di tingkat mahasiswa itu kan sudah ada pendidikan kewarganegaraan. Namun harus diintensifkan, dan dikontek­stulisasikan dengan isu yang kita hadapi. Yang tidak pernah dapat latihan tentang pendidikan kebangsaan dan kaitannya kea­gamaan itu ya dosen dan guru. Paling tidak, mereka menerima saat pendidikan prajabatan PNS. Setelah itu, berpuluh tahun tidak lagi dapat materi soal pancasila dan bhinneka tunggal ika, tidak lagi mendapat pendidikan men­genai NKRI. Makanya sebagian dari mereka terpapar paham-paham praksis transnasional yang radikal.

Dalam konteks perbaikan konsep pembelajaran itu lem­baga mana saja yang mesti dilibatkan menurut Anda?
Jadi ada tiga kementerian yang harus didorong, yaitu Kemenristek Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama (Kemenag). Karena Kemenag bertanggung jawab untuk pen­didikan di madrasah. Kalau madrasahnya ada di lingkungan pesantren itu tidak jadi masalah. Tapi kalau berdiri sendiri, lalu ada yayasan dan sebagainya, atau didirikan ustaz yang wa­habi itu bahaya, karena bisa jadi tempat persemaian dan perkem­bangan pemikiran wahabi yang radikal. Asal muasalnya di situ. Makanya tiga kementerian itu harus ikut bertanggung jawab.

Anda sudah usulkan hal ini kepada tiga kementerian tersebut?
Mengenai hal ini saya sudah usulkan berkali-kali, tapi belum direalisasikan. Padahal sebetul­nya realisasinya juga tidak sulit. Pertama bisa dilakukan training for trainers dulu. Nanti setelah trainers-nya siap, baru lakukan pelatihan secara bertingkat di kabupaten/kota masing-masing. Itu dulu. Makanya muncul train­ers andal.

Menurut Anda perlukah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dilibatkan dalam program tersebut?
BNPT itu punya peran lebih jelas. Tidak mungkin Densus 88 yang lakukan hal itu. Densus 88 masuk kampus itu tidak mung­kin bisa. Makanya BNPT harus bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia. Kalau dengan satu orang setiap universitas kan repot, karena ada sekitar 3.000 universitas. Makanya perlu kerja sama dari Forum Rektor Indonesia untuk bisa maksimal.

Untuk mengoptimalkan program pencegahan radika­lisme itu perlu juga tidak kita merevisi Undang-Undang Diknas?
Saya pikir bisa untuk ting­katkan semangat kebangsaan, karena mudah sekali pelajar kita terjerumus paham radikal. Saya kira kuncinya adalah ketidak­pedulian pejabat tinggi di ke­menterian itu. Saya kira perlu kerjasama dengan DPR soal anggarannya, karena akan butuh anggaran cukup besar.

Sekarang kan ada BadanPembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Apa masih kurang peran lembaga itu?
Memang ada lembaga pe­mantapan ideologi pancasila pimpinan Yudi Latief, tapi badan itu masih belum mapan, jadi belum siap. Sehingga seharus­nya BNPT dapat memainkan peran lebih sentral dalam hal ini. Misalnya dengan cara memasu­kan materi tersebut dalam materi belajar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA