Komisioner Ombudsman ini mengungkapkan, dalam waktu dekat ini akan meminta keteranÂgan Novel Baswedan, pimpinan KPK dan Polri, untuk mengurai apa yang menjadi hambatan hingga kasus ini belum juga bisa diungkap. Berikut ini penjelasan Adrianus Meliala terkait hal tersebut.
Kabarnya Ombudsman akan meminta keterangan sejumlah pihak yang terkait dalam penanganan kasus penyiraÂman air keras terhadap Novel Baswedan. Betul begitu?
Ya, kami sudah siap dengan pemeriksaan polisi dan kami sudah mengecek ulang tempat kejadian perkara, Polsek, Polres maupun Polda. Nah, sekarang kami akan memeriksa saksi pelapor dan kemudian datang ke rumah Pak Novel dan ke KPK. Pada saat kami datang ke rumah Pak Novel sudah sempat berÂtemu beliau, namun Pak Novel meminta agar ada surat resmi dari Ombudsman kepada KPK. Memang pada saat itu kami belum sempat membuat surat. Jadi baru sekarang kami kirimÂkan surat kepada KPK, agar kemudian KPK memberikan izin kepada Pak Novel untuk berbiÂcara. Tentunya juga penyidik yang termasuk kompatriot Polri. Artinya, kami akan bertemu daÂlam dua hal ini. Sayangnya Pak Novel pada saat itu sudah keburu kembali ke Singapura untuk melakukan proses penyembuhan lukanya. Terpenting nanti pada saat wawancara yang segera kami akan tanyakan adalah peÂnyidik yang menjadi kompatriot Polri selama ini.
Dalam kasus Novel ini apa saja nantinya yang akan didaÂlami oleh Ombudsman? Ya, kan kami berangkat dari suatu dugaan bahwa polisi telah melakukan beberapa poin tenÂtang maladministrasi. Memang tugas kami selalu begitu semacam tesislah. Kami menduga bahwa Polri melakukan beberapa maladministrasi, seperti menunda, tidak prosfesional, membiarkan, tidak kompetenÂlah. Nah hal itu akan kami cek kebenarannya. Jadi nanti kerja kami mungkin tidak seperti kawan Komnas HAM.
Kami akan menanyakan keÂpada teman-teman penyidik KPK yang selama ini mejadi kompatriot Polri. Bantuan peÂnyidik terhadap Polri apa sih? Bantuan itu perlu agar Polri bisa mengungkap kasus ini. Kalau misal tidak ada, lalu kerja penyidik apa? Sehingga kami bisa tahu juga dukungan KPK kepada Polri seperti apa (untuk mengungkap kasus Novel ini). Kalau misalkan dalam hal ini pihak KPK sudah memberikan banyak temuan atau informasi dan tidak ditindaklanjuti, nah berarti benar dugaan kami tadi, seperti ada pembiaran di sini. Tapi kalau misalnya pihak peÂnyidik KPK tidak memberikan bukti apa-apa, kasihan Polri-nya dong jadi tidak adil tuduhan seperti itu.
Kalau yang ditanyakan ke Novel Baswedan apa? Kalau ke Pak Novel ya, soal apa yang sudah diberikan keÂpada Polri juga. Pasalnya kan dugaannya bahwa Polri tidak mau follow up apa-apa yang suÂdah diberikan oleh Pak Novel.
Tapi saat ini tim pemanÂtauan Komnas HAM kan juga sedang mendalami kasus ini. Apakah itu tidak berpotensi tumpang tindih? Justru ini akan semakin bagus antara tim Komnas HAM dan Ombudsman akan saling berÂtemu, saling mencocokan data. Karena nanti kalau datanya berÂbeda nanti masyarakat juga yang rugi. Sedangkan kalau kami mengumpulkan data melalui wawancara semua, kami klariÂfikasi semua pihak-pihak terkait, lalu kami ukur beberapa dugaan yang tadi saya sebutkan.
Soal lain. Terkait Laporan Hasil Pemeriksaan Ombudsman tentang pengelolan Jalan Jatibaru Tanah Abang apakah bisa sampai dijadikan dasar untuk menonjobkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno? Wah itu saya kira jumping ya. Maksudnya prosesnya masih panjang. Jadi kalau LHP itu tidak diikuti maka kami akan masuk ke fase yang lain yang lebih serius. Di mana kasus itu akan diperiksa ulang unÂtuk kemudian bisa melahirkan rekomendasi. Sebelum ke taÂhap rekomendasi kami akan melakukan mediasi dulu, lalu panggil lagi. Nah, ketika pihak terlapor, dalam hal ini Pemprov DKI Jakartan keukeuh dengan berbagai alasan, barulah kami akan keluarkan senjata kami yang terakhir yaitu rekomendasi, sebagaimana Undang-Undang yang mengikat dan final. Jadi, masih panjang tidak langsung semudah itu.
Tapi beberapa anggota DPRD DKI Jakarta menilai bukan domain Ombudsman untuk mengevaluasi penÂgelolaan Tanah Abang. Ombudsman justru dituduh ikut berpolitik dalam hal ini. Bagaimana itu? Saya kira kalau soal-soal transportasi dan komunikasi di mana publik sebagai pengguna, dan di lain pihak ada negara sebagai regulatornya, saya kira itulah beberapa indikator ranah publik yang justru menjadi doÂmain Ombudsman. Kedua, saya kira jauh dari anggapan bahwa kami berpolitik atau misalnya kami berstandar ganda. Sebab, kami melihat sejauh mana publik disulitkan oleh kebijakan pemerÂintah. Artinya kalau kemudian dalam hal ini dianggap lho ini kan kebijakan dia (Anies-Sandi) ya benar, namun pada dasarnya kami memiliki perspektif bahwa ranah publik yang seharusnya dimuliakan, jangan diganggu dengan hal-hal lain.
Setelah Ombudsman meÂnyampaikan laporannya, berapa lama tahapan lanjuÂtannya hingga sampai pada tahapan rekomendasi? Jadi setelah dikeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan maÂka kemudian ada waktu, dalam hal ini pemeriksa sudah menenÂtukan 60 hari. Sebelumnya juga ada hal yang harus dipenuhi, kaÂlau tidak salah ada empat saran dari temen-teman pemeriksa.
Kalau misalkan saran-saran yang diberikan Ombudsman tak dipenuhi sama sekali atau hanya dua saran yang dipenuhi, apakah Ombudsman bisa lomÂpat ke fase selanjutnya hingga ke tahap rekomendasi? Kami akan melihat lagi tidak bisanya ini karena itikadnya buruk atau ada hal lain. Contoh sekarang ini kan lagi hangat-hangatnya pilkada, mungkin ada pertimbanÂgan politik harus diprioritaskan seÂhingga pemerintah tidak bisa menÂjalankan saran dari Ombudsman, maka kami akan ajak berdisusi. Namun, kalau kembali ke itikad yang tidak mau maka kami akan masuk ke fase selanjutnya. Jadi sebetulnya semuanya masih bisa kita semua diskusikan. Sekali lagi Ombudsman itu lembaga yang damai. Kami akan ajak bermeÂdiasi duduk bersama. Masak sih diajak duduk bersama tidak mau. Andaikan tidak mau, barulah kami akan keluarkan rekomenÂdasi yang bersifat mengikat dan final.
Rekomendasi itu diserahkan ke siapa? Ke pihak terlapor dengan beberapa kaitannya, seperti Kementerian Dalam Negeri yang menjadi pemantau maka kami akan serahkan kepadanya. ***
BERITA TERKAIT: