Jika kita menganalisis lokus turunnya agama-agama, hampir semua agama diturunkan di daÂlam masyarakat yang berkultur daratan, seperÂti Hindu, Budha, Khonghucu, Yahudi, Nasrani, dan tidak terkecuali Islam. Sudah barang tentu kitab-kitab suci agama-agama tersebut dipahaÂmi berdasarkan alam bawah sadar masyarakat yang berkultur maritim. Persoalannya ialah seÂmua agama diturunkan untuk manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, termasuk kultur. Setiap etnik memiliki hak-hak kultural (cultural right). Jika pada masyarakat kontiÂnental memiliki cultural right untuk menafsirkan kitab suci maka masyarakat yang berbudaya kelautan juga memiliki hak-haknya untuk meÂnafsirkan kitab suci menurut kondisi obyektifÂnya masing-masing.
Secara sosio-antropologis kita bisa memetaÂkan perbedaan cara pandang (world views) dan kosmologi antara masyarakat continental dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (
soÂcial stratifications) yang beragam. Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (
soÂcial structure) yang bertingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok semakin banyak mereka memiliki hak-hak
privacy dan
privilege. Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan sejarah sering dicirikan sebagai 'tuan tanah', memiliki peluang politik lebih besar untuk menÂguasai masyarakat, dan sering dijadikan sebaÂgai referensi di dalam masyarakat dalam berÂbagai negeri.
Agaknya inilah rahasianya, mengapa TuÂhan menurunkan hampir semua agama di daÂlam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi Kristen, Khonghucu, dan Islam. Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di negÂeri continental. Tidak pernah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di negeri maritim. Mungkin rahasianya antara lain, justru tantangan dunia kemanusiaan itu pada umumnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan lebih banyak meÂlekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritim.
Dalam masyarakat maritim seperti di kaÂwasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menurunkÂan wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana karÂena basic karakternya sudah lebih soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo maka masyarakat NuÂsantara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. Begitu mudah Wali Songo mengisÂlamkan wilayah Nusantara. Tidak perlu melaÂlui peperangan dan ketegangan. Kemudahan penduduk memeluk agama Islam karena nilai-nilai Islam dianggap bukan 'benda asing' tetapi sudah inherent di dalam diri dan kepribadian bangsanya. Dengan demikian, wajar jika Islam yang berkembang di Indonesia menampilkan wajah damai dan inklusif.