Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (51)

Mengeliminir Ego Keumatan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 23 Maret 2018, 08:04 WIB
Mengeliminir Ego Keumatan
Nasaruddin Umar/Net
SALAH satu kendala mewu­judkan Islam inklusif ialah ego keumatan. Seperti kita ketahui egoisme bukan hanya melekat pada individu tetapi juga kepada umat. Dalam Islam dan mungkin juga dalam agama lain, egoisme tidak pernah berkonotasi positif. Kita per­lu berkontemplasi sejenak, betulkah kita sudah khaira ummah sehingga dapat digunakan ruju­kan untuk menilai orang dan masyarakat lain. Motivasi apa dan referensi apa yang paling dominan di dalam diri kita untuk berjihad mewu­judkan khaira ummah? Jangan sampai kriteria yang kita gunakan untuk menyasar orang lain justru lebih menonjol subyektifitas kita yang berbeda dengan orang atau kelompok sasa­ran. Jangan sampai kita termasuk pihak yang disindir pepatah: "Semut mati di seberang laut kelihatan, gajah mati di pelupuk mata tidak ke­lihatan". Selama namanya manusia, pasti sub­jektivitas pernah mendominasi dirinya. Dalam keadaan seperti ini manusia cenderung bukan hanya mengakukan dirinya sendiri tetapi juga berharap meng-aku-kan orang lain. Ketika ini terjadi maka pasti akan menimbulkan gesekan di dalam masyarakat.

Sudah menjadi fakta bahwa selalu ada orang ingin melihat orang lain seperti ke-aku-an dirin­ya, bukan sesuai dengan esensi universal yang menjadi inti ajaran agama. Kita sering menjump­ai orang memaksakan persepsi dan keakuan dirinya diimplementasikan orang lain. Ia kece­wa bahkan marah kalau keinginan dirinya ber­jarak dengan kenyataan. Celakanya, terkadang seseorang menggunakan bahasa agama un­tuk melegitimasi dan menjastifikasi keakuan diri tersebut, sehingga siapapun yang berbeda den­gan dirinya maka salah menurut agama. Atas nama "kebenaran" itu maka seseorang bisa menghalalkan yang haram, termasuk menga­lirkan darah saudaranya sendiri. Kondisi sede­mikian ini bukanlah sesuatu yang ideal dan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang ideal. Kini sudah saatnya kita melakukan interiorisasi ajaran agama. Jika nilai-nilai ajaran agama men­jadi bagian yang integral, internal, dan inheren di dalam diri setiap individu, maka akan tercipta universalitas nilai-nilai ajaran agama di dalam lingkungan pacu kehidupan kita. Interiorisasi nilai-nilai luhur ajaran agama ke dalam pribadi akan melahirkan kesadaran kolektif dan univer­sal. Betapa tidak, karena kita sudah melihat sub­stansi diri sendiri di dalam diri orang lain, bahkan pada seluruh alam semesta.

Ketika kita melihat orang lain atau apapun yang kita lihat, seolah-olah substansi diri kita juga ada di sana pasti persoalan akan menge­cil. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/she/ they/it" menjadi tidak relevan lagi. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/she/they/it" larut men­jadi (We). Tidak lagi ada kamus "orang lain" di luar diri kita. Kamus aku adalah kamus eng­kau dan kamus mereka juga. Dengan demiki­an, lingkungan sosial tercipta sebuah keinda­han. Perbedaan yang ada bukan lagi sesuatu yang menyedot energi, tetapi bagaikan orna­men lukisan warna-warni yang indah dan me­nyejukkan hati dan pikiran. Bukanlah alam ini memang adalah sebuah lukisan, lukisan Tu­han (The Painting of God)? Siapa yang menen­tang realitas pluralis berarti tidak takjub melihat lukisan Tuhan. Orang yang demikian boleh jadi itulah yang dicap dengan fi qulubihim maradl (dalam hatinya ada yang tidak beres). Jika hal ini berlanjut maka dikhawatirkan berada dalam posisi khatamallah 'ala qulubihim (Allah men­gunci mati hatinya/Q.S. al-Baqarah/2:7),

Yang ideal sesungguhnya ialah proporsional, yakni interiorisasi yang diiringi dengan eksteriori­sasi. Kita harus terlebih dahulu menginternalisasi­kan nilai-nilai ideal itu pada diri sendiri sebelum me­nyerukannya kepada orang lain. Nabi bukan hanya mengatakan: Ibda' bi nafsik (mulailah pada diri sendiri). Allah Swt juga memperkenalkan nilai-nilai Islam sebagaimana terangkum di dalam Al-Qur'an diawali dengan proses internalisasi nilai-nilai sub­stantif (aqidah) yang turun di Mekkah, yang biasa disebut ayat-ayat Makkiyyah, lalu disusul dengan ayat-ayat legal-formalistis untuk kehidupan ber­masyarakat di Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah. Sistematisasi penurunan ayat (at-tanzil) berdasarkan kondisi obyektif masyarakat menarik untuk diperhatikan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA