Aceh kabarnya berencana menerapkan hukum pancung apa benar begitu?Berita itu tidak betul. Tolong sampaikan, wacananya itu untuk melakukan penelitian, menanÂyakan, atau meminta pendapat masyarakat. Ini beda sekali denÂgan wacana untuk menerapkan hukum pancung.
Penelitian itu dilakukan karena Aceh memiliki legalitas unÂtuk penerapan syariat Islam secara kaffah. Ketentuan itu ada di Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi keÂwenangan untuk menerapkan syariat islam meliputi hukum jiÂnayat, yang salah satu materinya hukum qisas. Namun demikian, kami tidak serta merta melakuÂkan hukum qisas. Padahal kami sudah punya hukum jinayat, tapi materi qisas itu tidak ada. Kalau kami betul-betul sudah melakukan itu, dari dulu suÂdah kami bikin hukum qisas. Tapi kami sengaja tidak buat. Karena kami mengerti (peneraÂpan syariat Islam) harus melalui proses, harus melalui mekaÂnisme penelitian dulu. Kalau dimungkinkan penelitian tahun ini kami lakukan penelitiannya. Itu sudah wacananya.
Lalu bagaimana ceritanya sampai ada berita Aceh berwaÂcana menerapkan hukuman pancung?Ini muncul dalam sebuah foÂrum tentang tindak pidana dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Waktu itu di antara penanggap ada yang menyatakan hukum syariat itu terlalu lemah, sehingga ada pemerkosaan terÂhadap anak, pelecehan terhadap anak yang hanya dituntut tiga kali cambuk. Itu lemah sekali katanya.
Jadi dia menyarankan unÂtuk kembali saja ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), jangan lagi gunakan hukum syariat. Lalu dalam meÂnanggapi saya jelaskan, hukum syariat yang hanya beberapa kali cambukan itu tujuan penerapanÂnya kami hanya mau memÂperkenalkan kepada masyarakat. Prinsip edukasi itu lebih tinggi dalam pelaksanaan hukum syarÂiat. Tapi kemudian itu sudah disesuaikan dengan qanun yang baru Nomor 6 Tahun 2014. Di sana ada hukuman 100-200 kali cambuk untuk kasus tertentu.
Nah, 200 cambuk itu kalau betul-betul dilakukan berat itu. Kalau serius dilakukan, bisa mati orang dicambuk sebanyak itu. Jadi bukannya hukum syarÂiat ini lemah. Apalagi kan ada konversinya. Satu kali cambuk konversinya itu sebulan penjara, dan 10 gram emas murni. Jadi kalau 200 kali cambuk, maka konversinya dengan penjara itu 200 bulan, dan denda 2.000 gram emas.
Apakah hukuman penjara dan denda itu ringan? Kan tidak. Lalu saya sampaikan bahwa hukuman syariat bukan itu saja, syariat masih punya hukuman lain yang salah satunya qisas buat pembunuhan. Kemudian ada hukum potong tangan buat pencurian, rajam bagi pezina, tapi semua itu belum kami terapÂkan. Walaupun secara legalitas Aceh punya kewenangan untuk melakukannya. Jadi saya kataÂkan berat sekali hukum syariat kalau mau benar-benar dilakuÂkan. Nah, di situ saya masuk, jika kita ingin melakukannya harus penelitian dulu. Dan taÂhun ini dimungkinkan bagi kami untuk penelitian. Jadi yang saya maksud itu wacana untuk penelitian, bukan wacana untuk menerapkan.
Berarti wacana untuk penÂerapan hukuman pancung ini belum ada ya?Sama sekali belum ada. Itu baru wacana penelitian. Karena semua kebijakan di Aceh ini melalui penelitian terlebih daÂhulu. Pertama kami siapkan anggarannya, lalu kami siapkan timnya yang berasal dari berbaÂgai kalangan, baru laksanakan penelitiannya. Kami melakukan hal itu karena harus melihat baÂgaimana tanggapan mashayakat. Jangan-jangan mereka malah tidak mau. Tapi ini anggaran penelitian saja belum ada, suÂdah heboh. Padahal jauh sekali antara wacana untuk melakukan penelitian, dengan wacana penerapan hukum pancung. Perlu diluruskan itu.
Jadi meski hasil penelitianÂnya setuju dengan hukum pancung, belum tentu jadi diterapkan juga ya?Iya. Karena prosesnya juga masih panjang sebelum diterapÂkan. Jadi sebetulnya masih terÂlalu prematur untuk dihebohkan. Kami belum berbuat apa-apa, tapi sudah heboh, sudah ribut dengan perbuatan yang enggak ada. Padahal kami belum mengerjaÂkan apa-apa juga. Ini yang saya kira perlu diluruskan.
Tapi kalau respon dari masyarakat terkait munculnya isu hukum pancung ini baÂgaimana?Kalau kami lihat banyak yang menginginkan diterapkannya hukum ini. Bahkan ada tokoh masyarakat yang menyatakan, saya tidak mau mati dulu kaÂlau belum lihat pelaksanaan hukum qisas itu. Tapi respon dari masyarakat yang kami terima itu tidak bisa dijadikan sebuah hasil, tidak bisa kami pegang. Begitu juga pendapat dari ormas-ormas.
Kenapa mereka minta qiÂsas?Karena Aceh punya legalitas untuk itu, Aceh bisa berbuat. Jadi kita berbicara dalam kerangka konstitusi, kerangka legalitas formal yang dimiliki Aceh, lex specialist Undang-Undang Aceh itu memberi kewenangan penerapan syariat secara kafÂfah. Tapi kami harus lihat dulu berbagai faktor, (penerapan huÂkuman pancung) tidak semudah membalikan telapak tangan. Jika itu memungkinkan, ya penelitian dulu. Jadi bukannya kami mewaÂcanakan hukum pancung.
Penelitian ini rencananya akan melibatkan siapa saja?Kami selama ini selalu meÂlibatkan peneliti dari berbagai kampus, misalnya dari UIN atau kampus lainnya.
Penelitian ini tidak melibatÂkan pemerintah pusat?Tidak. Penelitian itu kami serahkan kepada tim peneliti. Kalau hasilnya sudah ada baru kami lakulan konsultasi ke peÂmerintah pusat. Tapi kalau masih dalam tataran penelitian itu belum.
Kalau berdasarkan hukum islam, pancung ini hanya ditÂerapkan dalam kasus pemÂbunuhan ya?Jangan bicara soal hukum pancung dululah. Kami belum bicarakan soal hukum pancung. Yang kami bicarakan baru waÂcana penelitian.
Jadi tidak tahu nanti peneraÂpannya seperti apa. Penelitiannya saja belum ada. Jadi jangan dikait-kaitkan dulu dengan hukum pancung. Saya bilang wacana untuk melakukan peneÂlitian. Apa hasilnya bukan saya yang menentukan, bukan juga pemerintah. Karena itu hasil dari sebuah penelitian. Dan itu kan masih lama, karena masih wacana. ***
BERITA TERKAIT: