Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (43)

Faktor NU (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 14 Maret 2018, 12:03 WIB
Faktor NU (2)
Nasaruddin Umar/Net
TIDAK diragukan lagi bah­wa NU sebuah ormas yang mengusung Islam inklusif. Sejak awal berdirinya, NU komit menganggap Islam dan keindonesiaan tidak bisa dipi­sahkan. Sampai Indonesia mencapai kemerdekaannya, NU tetap konsisten men­gusung NKRI sebagai ben­tuk final yang harus dipertahankan. NU tidak pernah membayangkan atau mengidealisir Negara Islam, sebagaimana halnya di sejum­lah negara Islam. Bagi NU, yang penting Islam dan ajaran-ajarannya dapat diimplementasikan di dalam negara. Disebut apa saja negara itu sesungguhnya tidak terlalu substansial. Untuk apa memilih Negara Islam jika harus menelan banyak korban sesama warga bangsa. Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah-nya dan Umar ibn Khathab dengan Piagam Aeliya-nya juga berhasil menemukan sebuah negeri ideal yang di dalamnya mengakomodir kelom­pok-kelompok yang berbeda, termasuk berbe­da agama dan kepercayaan.

Dalam Muktamar NU ke-33 kembali mem­perbaharui komitmennya dengan mengusung tema: Mengukuhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Sesungguh­nya Islam Nusantara bukan istilah baru. Jauh sebelumnya sudah sering disebut-sebut oleh para pakar. Namun Islam Nusantara meng­gaung ketika menjadi tema pada Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Hampir se­tiap Negara yang berpenduduk mayoritas mus­lim memiliki istilah khusus untuk mencirikan kekhususan umat Islam di negerinya. Presiden Mahatir pernah memperkenalkan Islam Had­harah, Pak SBY sering menyebut Islam Rah­matan lil Alamin, Mantan PM Benazir Bhutto memperkenalkan Islam inklusif, dll.

Islam Nusantara di arena Muktamar NU masih ada juga yang mempersoalkannya. Ada yang setuju dengan memberikan dukungan penuh tema itu, ada yang bernada pesimistis, dengan mengkhawatirkan berbagai kemungki­nan, termasuk khawatir jangan sampai Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA) dihilan­gkan lalu digantikan Islam Nusantara, padahal para pendiri NU menggunakan istilah Islam As­waja. Kebanyakan yang lain tidak mengambil pusing, yang penting para kiainya setuju pasrah saja. Di dalam media sosial juga beragam tang­gapan tentang Islam Nusantara. Ada pengamat menganggap NU sedang melakukan sebuah terobosan besar untuk memberikan citra positif Islam di Indonesia setelah sekian lama Islam ternodai oleh sekelompok orang yang memak­sakan kehendaknya, ingin menjadikan Islam sebagai konsep hidup di dalam bernegara dan bermasyarakat, tanpa peduli kondisi objektif wilayah keberadaan Islam.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara, sudah banyak dijelaskan orang dalam berbagai media. Pertama harus dibedakan antara Islam di Nusantara dan Is­lam Nusantara. Islam di Nusantara konotasinya penggambaran existing Islam di wilyah Nusan­tara, termasuk di dalamnya sejarah perkemban­gan, populasi, dan ciri khas Islam di kawasan Nusantara. Sedangkan Islam Nusantara lebih kepada keunikan sifat dan karakteristik Islam di kawasan Nusantara. Dengan demikian, orang yang ahli tentang Islam di wilayah Nusantara belum tentu memahami konsep Islam Nusan­tara itu sendiri. Islam Nusantara melibatkan ber­bagai disiplin keilmuan, seperti ushul fikih, dan penafsiran terhadap nash atau teks agama. Is­lam Nusantara lebih banyak berhubungan den­gan fenomena Islam "as the Islam" ketimbang Islam "as an Islam." Yang pertama (the Islam/al-islam) ialah Islam yang bersifat universal. Se­mua agama atau ajaran yang dibawa oleh para Nabi terdahulu bisa disebut Islam. Semua Nabi dan para pengikutnya yang benar bisa disebut muslim dalam artian generik. Sedangkan yang kedua menggunakan artikel an (an Islam) da­lam bentuk nakirah, tanpa menggunakan alif dan lam ma'rifah. Yang terakhir ini mengimp­likasikan pengertian sistem nilai yang bersifat formal sehingga kata Islam (an Islam) berarti nama bagi agama yang dibawa oleh Nabi Mu­hammad Saw dan dasar-dasar ajarannya ber­sumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Islam Nusan­tara dihubungkan dengan The Islam, bukan an Islam. Tentu saja Islam Nusantara tidak boleh menyimpang dari an Islam dalam menampilkan wajah the Islam. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA