Dari referensi dan rujukan intelektual di atas memungkinkan NU berpikir dan bertindak modÂerat. Kemoderatan NU dijustifikasi dalam benÂtuk simbol yang tergambar dalam lambang NU berbintang Sembilan dengan tali longgar melilit bola dunia. Bagi Warga Nahdliyin lambang NU memiliki arti yang penting, bahkan ada yang cenderung memitoskannya.
Konsep dan ekspresi NU, dan tentu saja beberapa ormas Islam lainnya, tentang toleransi patut untuk diapresiasi. Dalam lintasan seÂjarah keberadaan NU sebagai organisasi keaÂgamaan sekaligus organisasi kemasyarakat terbesar di Indonesia mempunyai peran pentÂing di dalam terwujudnya masyarakat Indonesia yang toleran. Tidak bisa disangkal bahwa NUikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi berwatak keagamaan ahlussunnah wal jama'ah, maka NU menampilkan sikap akomodatif terhÂadap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU tidak pernah berpikir untuk menyatukan apalagi menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan yang ada. Dan sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal.
Sikap inklusivisme NU memungkinkannya berinteraksi aktif dan positif dengan tradisi dan buÂdaya masyarakat lokal. NU sejak awal memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan soÂsialnya bukan melindungi tradisi atau budaya seÂtempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya lokal memiliki hak hidup (cultural right) di Republik ini. Sikap ini sesuai dengan inti faham keislaman NU yang sejalan dengan hadis Nabi: Al-hikmatu dhalatun lil mu’mini, fahaitsu wajadaÂha fa huwa ahaqqu biha. Hikmah atau nilai-nilai positif untuk umat Islam, dari manapun asalnya ambillah karena itu miliknya umat Islam. AkulturÂasi tersebut telah menampilkan wajah Islam yang berkeindonesiaan, ramah terhadap budaya lokal, dan terbuka dengan nilai-nilai universal. NU juga menghargai perbedaan agama, tradisi, dan keÂpercayaan, yang merupakan warisan budaya NuÂsantara. Sikap yang demikian inilah yang memuÂdahkan NU diterima di semua lapisan masyarakat di Tanah Air.
Corak keagamaan yang dikembangkan dan menjadi ciri khas NU ialah kemampuannya menerapkan ajaran teks keagamaan yang bersiÂfat sakral di dalam konteks budaya yang berÂsifat profan. Dalam kehidupan berbangsa, NUmenempatkan Islam sebagai faktor sentripetal, yang lebih menekankan aspek titik temu (prinÂciple of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih menekankan aspek perbedaan (principle of negation). NU membuktikan bahwa universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. Universalitas Islam tidak mesti harus diperhadapkan dengan keunikan budaya lokal. Warga NU selalu yakin dan optimis Islam sebagai agama akhir zaman, terbuka untuk beÂrakulturasi dengan kearifan lokal dan mengadpÂsi keluhuran nilai-nilai universal. Warga NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa harus melalui jalan formalistik, tidak degan cara memÂbenturkan diri dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur dan fleksibel. Warga NU berkeyakinan Sya’riat Islam dapat diimpleÂmentasikan tanpa harus menunggu atau melaÂlui institusi formal. Warga NU lebih mengidealÂkan substansi nilai Syari'ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasiÂkan institusi formal. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai Syari'ah.