Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (42)

Faktor NU (1)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 14 Maret 2018, 09:46 WIB
Faktor NU (1)
Nasaruddin Umar/Net
NAHDLATUL ULAMA (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Semenjak kelahirannya tanggal 31 Januari 1926 bertepatan tanggal 16 Rajab 1344 H, NU menegaskan prinsip dasar organisasinya di dalam Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan Kitab I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kelompok rasional (liberal) dan kelompok tekstualis (skripturalis). Sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris (karifan lokal). Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pe­mikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang Te­ologi/Kalam. Dalam bidang Fikih mengikuti em­pat imam Mazhab yaitu Imam Abu Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi', dan Imam Hambali, khusus­nya lebih dekat Imam Syafi'.

Dari referensi dan rujukan intelektual di atas memungkinkan NU berpikir dan bertindak mod­erat. Kemoderatan NU dijustifikasi dalam ben­tuk simbol yang tergambar dalam lambang NU berbintang Sembilan dengan tali longgar melilit bola dunia. Bagi Warga Nahdliyin lambang NU memiliki arti yang penting, bahkan ada yang cenderung memitoskannya.

Konsep dan ekspresi NU, dan tentu saja beberapa ormas Islam lainnya, tentang toleransi patut untuk diapresiasi. Dalam lintasan se­jarah keberadaan NU sebagai organisasi kea­gamaan sekaligus organisasi kemasyarakat terbesar di Indonesia mempunyai peran pent­ing di dalam terwujudnya masyarakat Indonesia yang toleran. Tidak bisa disangkal bahwa NUikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi berwatak keagamaan ahlussunnah wal jama'ah, maka NU menampilkan sikap akomodatif terh­adap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU tidak pernah berpikir untuk menyatukan apalagi menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan yang ada. Dan sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal.

Sikap inklusivisme NU memungkinkannya berinteraksi aktif dan positif dengan tradisi dan bu­daya masyarakat lokal. NU sejak awal memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan so­sialnya bukan melindungi tradisi atau budaya se­tempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya lokal memiliki hak hidup (cultural right) di Republik ini. Sikap ini sesuai dengan inti faham keislaman NU yang sejalan dengan hadis Nabi: Al-hikmatu dhalatun lil mu’mini, fahaitsu wajada­ha fa huwa ahaqqu biha. Hikmah atau nilai-nilai positif untuk umat Islam, dari manapun asalnya ambillah karena itu miliknya umat Islam. Akultur­asi tersebut telah menampilkan wajah Islam yang berkeindonesiaan, ramah terhadap budaya lokal, dan terbuka dengan nilai-nilai universal. NU juga menghargai perbedaan agama, tradisi, dan ke­percayaan, yang merupakan warisan budaya Nu­santara. Sikap yang demikian inilah yang memu­dahkan NU diterima di semua lapisan masyarakat di Tanah Air.

Corak keagamaan yang dikembangkan dan menjadi ciri khas NU ialah kemampuannya menerapkan ajaran teks keagamaan yang bersi­fat sakral di dalam konteks budaya yang ber­sifat profan. Dalam kehidupan berbangsa, NUmenempatkan Islam sebagai faktor sentripetal, yang lebih menekankan aspek titik temu (prin­ciple of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih menekankan aspek perbedaan (principle of negation). NU membuktikan bahwa universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. Universalitas Islam tidak mesti harus diperhadapkan dengan keunikan budaya lokal. Warga NU selalu yakin dan optimis Islam sebagai agama akhir zaman, terbuka untuk be­rakulturasi dengan kearifan lokal dan mengadp­si keluhuran nilai-nilai universal. Warga NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa harus melalui jalan formalistik, tidak degan cara mem­benturkan diri dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur dan fleksibel. Warga NU berkeyakinan Sya’riat Islam dapat diimple­mentasikan tanpa harus menunggu atau mela­lui institusi formal. Warga NU lebih mengideal­kan substansi nilai Syari'ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasi­kan institusi formal. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai Syari'ah.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA