Budaya lokal yang sejalan atau tidak berÂtentangan dengan substansi ajaran Islam bisa menjadi faktor kekayaan ajaran Islam. Kehadiran Nabi Muhammad Saw tidak unÂtuk membersihkan seluruh budaya lokal lalu digantikan dengan kultur baru. Rasulullah dengan tegas mengatakan: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (SesungguhÂnya aku hanya diutus untuk menyempurnaÂkan akhlak karimah). Yang dimaksud akhlak karimah ialah tatakrama yang santun sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan tentu saja sejalan dengan ajaran dasar IsÂlam. Segala sesuatu yang tidak bertentanÂgan dengan Islam, maka nilai-nilainya dapat diterima sebagai nilai-nilai komplementer daÂlam Islam. Ini sesuai dengan hadits:
Al-hikÂmah dhalah al-muslim fa haitsu wajadaha fa huwa ahaq biha (Hikmah atau kebaikan itu milik umat Islam yang tercecer, di manapun ditemukan ambillah).
Setiap masyarakat tentu memiliki buÂdayanya masing-masing. Begitu pentingnya arti kebudayaan maka hampir setiap negara bangsa memberi hak dan perlindungan. DaÂlam UUD 1945 versi amandemen juga diÂcantumkan kedudukan hak budaya ini. BeÂgitu arifnya para
the founding fathers sudah memberikan ruang pada budaya lokal unÂtuk ikut berpartisipasi memperkuat kesatuan dan keutuhan bangsa ini dengan menetapÂkan Pancasila sebagai azas berbangsa dan bernegara. Umat Islam Indonesia menampilÂkan Islam sebagai faktor sentripetal, yang leÂbih menekankan aspek titik temu (
principle of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih meÂnekankan aspek perbedaan (
principle of neÂgation) dengan nilai-nilai lain yang hidup di dalam masyarakat.
Keberadaan Islam sunni ikut juga membeÂri andil terbesar terbangunnya republik ini. Sekitar 90 persen umat Islam adalah musÂlim sunni. Faham sunni lebih bersikap akoÂmodatif terhadap kearifan dan kebudayaan lokal. Kehadiran ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga tidak pernah berpikir untuk menyatukan apalagi menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan dan kearifan lokal yang ada. SiÂkap toleransi umat Islam yang dipadati warÂga sunni selalu menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal.
Nilai-nilai Islam berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Islam sunni Indonesia memiliki wawasan multikulÂtural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, teÂtapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup (
cultural right) di Republik tercinta ini. Sikap ini sesuÂai dengan inti faham keislaman yang dipoÂpulerkan NU:
al-Muhafaadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Melestarikan nilai-nilai lama yang masih relÂevan dan mengambil nilai-nilai yang lebih baik). Prinsip ini sejalan dengan hadis Nabi: Al-hikmatu dlalatun lil mu'mini, fahaitsu waÂjadaha fa huwa ahaqqu biha (Hikmah atau nilai-nilai positif untuk umat Islam, darimaÂnapun asalnya ambillah karena itu miliknya umat Islam).