Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (29)

Memberi Ruang Budaya Lokal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 27 Februari 2018, 11:41 WIB
Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (29)
Nasaruddin Umar/Net
SALAH satu kekhusu­san Islam Indonesia ialah memberi ruang kepada apa yang disebut dengan hak-hak budaya lokal (cul­tural right). Hak-hak bu­daya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia. Semenjak lahir manusia di­jemput dan dibina oleh budaya masyarakat­nya. Dengan demikian, antara manusia dan budaya lokal tak bisa dipisahkan. Memisah­kan manusia dengan budaya lokalnya be­rarti alienasi manusia dengan sesuatu yang sangat asasi baginya. Dari sinilah dasarnya mengapa para ulama memformulasikan suatu kaedah yang sangat populer: al-'Adah muhakkamah (adat istiadat diakui sebagai salah satu sumber hukum). Adat istiadat adalah bagian inti dari kebudayaan.

Budaya lokal yang sejalan atau tidak ber­tentangan dengan substansi ajaran Islam bisa menjadi faktor kekayaan ajaran Islam. Kehadiran Nabi Muhammad Saw tidak un­tuk membersihkan seluruh budaya lokal lalu digantikan dengan kultur baru. Rasulullah dengan tegas mengatakan: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguh­nya aku hanya diutus untuk menyempurna­kan akhlak karimah). Yang dimaksud akhlak karimah ialah tatakrama yang santun sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan tentu saja sejalan dengan ajaran dasar Is­lam. Segala sesuatu yang tidak bertentan­gan dengan Islam, maka nilai-nilainya dapat diterima sebagai nilai-nilai komplementer da­lam Islam. Ini sesuai dengan hadits: Al-hik­mah dhalah al-muslim fa haitsu wajadaha fa huwa ahaq biha (Hikmah atau kebaikan itu milik umat Islam yang tercecer, di manapun ditemukan ambillah).

Setiap masyarakat tentu memiliki bu­dayanya masing-masing. Begitu pentingnya arti kebudayaan maka hampir setiap negara bangsa memberi hak dan perlindungan. Da­lam UUD 1945 versi amandemen juga di­cantumkan kedudukan hak budaya ini. Be­gitu arifnya para the founding fathers sudah memberikan ruang pada budaya lokal un­tuk ikut berpartisipasi memperkuat kesatuan dan keutuhan bangsa ini dengan menetap­kan Pancasila sebagai azas berbangsa dan bernegara. Umat Islam Indonesia menampil­kan Islam sebagai faktor sentripetal, yang le­bih menekankan aspek titik temu (principle of identity), bukannya menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih me­nekankan aspek perbedaan (principle of ne­gation) dengan nilai-nilai lain yang hidup di dalam masyarakat.

Keberadaan Islam sunni ikut juga membe­ri andil terbesar terbangunnya republik ini. Sekitar 90 persen umat Islam adalah mus­lim sunni. Faham sunni lebih bersikap ako­modatif terhadap kearifan dan kebudayaan lokal. Kehadiran ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga tidak pernah berpikir untuk menyatukan apalagi menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan dan kearifan lokal yang ada. Si­kap toleransi umat Islam yang dipadati war­ga sunni selalu menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal.

Nilai-nilai Islam berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Islam sunni Indonesia memiliki wawasan multikul­tural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, te­tapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup (cultural right) di Republik tercinta ini. Sikap ini sesu­ai dengan inti faham keislaman yang dipo­pulerkan NU: al-Muhafaadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Melestarikan nilai-nilai lama yang masih rel­evan dan mengambil nilai-nilai yang lebih baik). Prinsip ini sejalan dengan hadis Nabi: Al-hikmatu dlalatun lil mu'mini, fahaitsu wa­jadaha fa huwa ahaqqu biha (Hikmah atau nilai-nilai positif untuk umat Islam, darima­napun asalnya ambillah karena itu miliknya umat Islam).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA