Banyak sekali program dari luar masuk desa tanpa kulon nuwun kiai atau elite SantÂri. Elite-elite pesantren di sejumlah pos stratÂegis di dalam masyarakat diambil alih oleh para alumni Perguruan Tinggi Islam formal atau alumni Timur Tengah. Meskipun mereÂka juga umumnya berlatar Santri tetapi jelas mereka tidak menggunakan bendera Santri, tetapi menggunakan atribut barunya, seperÂti lebih menonjolkan titel pendidikan formal ketimbang kiai. Kita lihat saja di Majelis UlaÂma Indonesia (MUI) dari tingkat pusat sampai di tingkat daerah, dahulu didominasi oleh kiai-kiai sebagai elite Santri dengan atribut sarung dan sorbannya, sekarang mulai berimbang, bahkan di sejumlah daerah lebih dominasi oleh para sarjana dan Professor sebagai elite-elite kampus. Mereka lebih bangga mengguÂnakan gelar Profesor ketimbang kiai.
Apa, siapa, dan adakah yang salah di daÂlam fenomena baru ini? Tidak bijaksana menÂcari kambing hitam dalam hal ini. Yang pentÂing semua pihak sebaiknya berintrospeksi. Jika para kiai yang selama ini menjadi subÂsistem dan sub-kultur di dalam masyarakat lantas tiba-tiba mengalami krisis fungsi, maka sudah barangtentu akan menimbulkan probÂlem sosial. Separah apa problem sosial itu tergantung pada setiap kondisi.
Mungkin Santri dan para elitenya perlu berÂintrospeksi, apakah komunitas Santri berikut dengan para elitenya sudah mulai banyak meninggalkan santri dan umatnya, atau santÂri dan umatnya mulai meninggalkan kiai-nya. Mengapa para kiai dan elite pesantren tergesÂer posisinya di dalam struktur formal dan inÂformal masyarakat? Apakah terjadi perubahan di dalam internal komunitas Santri atau tidak terjadi regenerasi kiai? Yang terakhir ini bisa menjadi faktor penting. Setiap hari lahir puluÂhan bahkan ratusan sarjana agama tetapi kiai yang kharismatik dan bermutu serta produktif sebagaimana kiai-kiai pendiri Pondok PesantÂren semakin langka. Jika seorang kiai meninÂggal sulit mencari gantinya, sehingga banyak PP menjadi mundur karena kehilangan tokoh kharismatik. Memang di dalam masyarakat banyak sekali kartu nama beredar dengan menggunakan titel Kiai (Jawa dan Sumatera), Tuan Guru (NTB), Anregurutta (Sulawesi) tetapi mereka tidak lahir melalui proses alami tetapi hanya (mohon maaf) mengklaim dirinya sendiri.