Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (27)

Santri Di Tengah Perubahan Sosial (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Minggu, 25 Februari 2018, 09:59 WIB
Santri Di Tengah Perubahan Sosial (2)
Nasaruddin Umar/Net
DALAM konteks masyarakat modern, komunits Santri sebaiknya segera mengakomodir sejumlah pranata sosial baru semi­sal IT di dalam mengaktu­alisasikan kembali ajaran agama yang sedang ber­jarak dengan pemeluknya. Namun pada sisi lain ko­munitas Santri tidak boleh ikut hanyut dan melebur diri di dalam berbagai peradaban baru tanpa selektif, karena itu bisa menelan dirinya. Di luar komunitas Santri memang su­dah banyak sekali perubahan. Perubahan itu kadang-kadang menyeret Pondok Pesantren (PP) meskipun tidak sepenuhnya disadari oleh komunitas Santri itu sendiri. Salah satu di antaranya ialah terjadinya pergeseran elite di dalam masyarakat pedesaan. Selama ini elite Santri, terutama di Pulau Jawa dan di se­jumpah daerah di Indonesia, elite-elite Santri selalu tampil sebagai elite strategis bahkan tampil sebagai kunci masyarakat (key-struc­ture). Pilihan publik masyarakat di pedesaan sangat ditentukan oleh kiai atau elite-elite pe­santren. Sebaik apapun sebuah program jika tidak mendapat restu dan dukungan kiai maka bisa dipastikan program itu akan mengalami krisis partisipasi.

Banyak sekali program dari luar masuk desa tanpa kulon nuwun kiai atau elite Sant­ri. Elite-elite pesantren di sejumlah pos strat­egis di dalam masyarakat diambil alih oleh para alumni Perguruan Tinggi Islam formal atau alumni Timur Tengah. Meskipun mere­ka juga umumnya berlatar Santri tetapi jelas mereka tidak menggunakan bendera Santri, tetapi menggunakan atribut barunya, seper­ti lebih menonjolkan titel pendidikan formal ketimbang kiai. Kita lihat saja di Majelis Ula­ma Indonesia (MUI) dari tingkat pusat sampai di tingkat daerah, dahulu didominasi oleh kiai-kiai sebagai elite Santri dengan atribut sarung dan sorbannya, sekarang mulai berimbang, bahkan di sejumlah daerah lebih dominasi oleh para sarjana dan Professor sebagai elite-elite kampus. Mereka lebih bangga menggu­nakan gelar Profesor ketimbang kiai.

Apa, siapa, dan adakah yang salah di da­lam fenomena baru ini? Tidak bijaksana men­cari kambing hitam dalam hal ini. Yang pent­ing semua pihak sebaiknya berintrospeksi. Jika para kiai yang selama ini menjadi sub­sistem dan sub-kultur di dalam masyarakat lantas tiba-tiba mengalami krisis fungsi, maka sudah barangtentu akan menimbulkan prob­lem sosial. Separah apa problem sosial itu tergantung pada setiap kondisi.

Mungkin Santri dan para elitenya perlu ber­introspeksi, apakah komunitas Santri berikut dengan para elitenya sudah mulai banyak meninggalkan santri dan umatnya, atau sant­ri dan umatnya mulai meninggalkan kiai-nya. Mengapa para kiai dan elite pesantren terges­er posisinya di dalam struktur formal dan in­formal masyarakat? Apakah terjadi perubahan di dalam internal komunitas Santri atau tidak terjadi regenerasi kiai? Yang terakhir ini bisa menjadi faktor penting. Setiap hari lahir pulu­han bahkan ratusan sarjana agama tetapi kiai yang kharismatik dan bermutu serta produktif sebagaimana kiai-kiai pendiri Pondok Pesant­ren semakin langka. Jika seorang kiai menin­ggal sulit mencari gantinya, sehingga banyak PP menjadi mundur karena kehilangan tokoh kharismatik. Memang di dalam masyarakat banyak sekali kartu nama beredar dengan menggunakan titel Kiai (Jawa dan Sumatera), Tuan Guru (NTB), Anregurutta (Sulawesi) tetapi mereka tidak lahir melalui proses alami tetapi hanya (mohon maaf) mengklaim dirinya sendiri.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA