Terlepas dari kedua persepsi di atas, sikap inklusivisme tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, sikap inkluÂsivisme ini juga sangat relatif. Seseorang yang berpandangan moderat (wasathiyah) tidak bisa diidentikkan dengan abangan dalam arti beÂragama secara awam, belum matang, dan tidak substantif. Banyak ulama NUyang secara keilÂmuan sangat mumpuni tetapi pandangannya moderat, dalam arti tidak serta-merta memakÂsakan dan memutlakkan pendapatnya kepaÂda orang lain. Mereka bersikap moderat buÂkan karena di bawah tekanan pemerintah atau ideologi negara, tetapi sebagai konsekuensi dari kedalaman ilmunya. Ada kecenderungan, semakin dalam ilmu seseorang semakin sadar akan arti pluralism. Bisanya komunitas yang anti plural karena pengetahuan dan pemahaÂmannya tanggung.
Namun tidak bisa juga diingkari, ada orang yang memilih bersikap "moderat" karena kedanÂgkalan penegetahuannya tentang agama. MerÂeka hanya mengikut kepada sikap kelompok mayoritas. Kelompok inilah sering disebut kelÂompok abangan. Gus Dur dalam suatu kesempatan pernah berkelakar mengatakan: "NUitu moderat karena abangan." Dengan demikian, mederat bisa terjadi karena keluasan dan kedalaman pengetahuan atau sebaliknya karena kedangkalan pemahaman dan pengetahuan agamanya. Sikap moderat yang pertama bisa disebut wasathiyyah dan sikap moderat kedua sesungguhnya bukan sikap moderat, mungkin bisa disebut "pengekor" (taqlid al-a'ma). Sikap moderat terakhir ini dalam keadaan tertentu bisa juga meluapkan emosi dan amarahnya, terutama jika ada yang memprovokasi. BerÂbeda dengan sikap moderat yang pertama suÂdah melewati tahap emosi dan tidak lagi mudah diprovokasi.
Sikap moderat umat Islam Indonesia masih perlu dikaji; apakah moderatnya dominan daÂlam arti pertama atau kedua. Apapun nama dan bentuknya,sikap moderat itu selalu harus diÂbina secara berkelanjutan. Tidak mustahil ada sekelompok orang yang tadinya memilih sikap moderat tetapi memilih sikap keras (tasyaddud) karena sudah kehilangan informasi atau pemaÂhamannya tidak pernah lagi di up-date. SebaÂliknya mungkin ada sekelompok yang tadinya masuk garis keras tetapi karena pengembangan wawasan dan terus belajar, maka mereka berubah menjadi moderat. Tantangan kita seÂbagai umat dan sebagai warga bangsa baÂgaimana merawat kemoderatan yang dimiliki agar tidak bergeser menjadi kelompok garis keras atau liberal, yang kedua-duanya tentu bukan saja tidak sejalan dengan falsafah dasar bangsa Indonesia, Pancasila, tetapi juga berÂmasalah dari sudut pandang agama, karena dalam Islam atas nama apapun kepada siapapun, dan untuk apapun, kekerasan tidak ada tempatnya. Al-Qur'an dengan tegas menyataÂkan: La ikraha fi al-din (tidak ada paksaan daÂlam beragama). Merawat kemoderatan, baik moderat di dalam beragama maupun dalam berbangsa, harus dianggap sebagai on-going process, sesuatu yang harus berkelanjutan. Selama garis moderat masih kuat di negeri ini, maka selama itu bangsa ini akan kokoh. Jika garis moderat sudah tergerus, baik oleh kelomÂpok radikal maupun liberal, maka pada saat itu bangsa ini perlu waspada.