Mengenal Inklusifisme Islam Indonesia (22)

Mengapa Islam Menjadi Agama Mayoritas Di Indonesia? (6)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 19 Februari 2018, 09:53 WIB
Mengapa Islam Menjadi Agama Mayoritas Di Indonesia? (6)
Nasaruddin Umar/Net
SALAH satu kekuatan Islam ialah akomodatif terhadap nilai-nilai lokal tanpa men­inggalkan substansi aja­rannya. Akomodatif di sini bisa dimaknai sebagai pen­erimaan nilai-nilai luar yang bersumber dari luar dirinya dengan menerapkan prinsip penerapan teori bertahap.

"Apa yang tidak bisa dimiliki semuanya jangan ditolak semuanya," demikian kaedah usul yang akrab diterapkan dalam dunia sunni. Akomodatif dalam hal ini berarti menginte­grasikan unsur-unsur kebenaran yang ada di dalam berbagai opsi lalu ditetapkan sebagai pegangan sementara. Jika pegangan itu sudah terbukti mendatangkan keharmonisan berba­gai pihak, maka pegangan ini bisa menjadi permanen dan legitimed.

Hal ini bisa menjadi jalan keluar terhadap sebuah masalah krusial yang terjadi di dalam masyarakat. Akomodatif dalam Islam harus disertai dengan kriteria dan diterapkan secara kritis. Akomodatif tanpa kritis bisa menjebak kita ke dalam sikap sinkretisme, bid'ah, dan khurafat, bahkan syirik.

Syirik ialah penggabungan nilai-nilai dari luar dengan nilai-nilai Islam yang selama ini dipegang. Sinkretisme yang ditekankan di dalam tulisan ini ialah sinkretisme agama, yaitu penggabungan beberapa paham atau aliran agama atau kepercayaan, diramu menjadi satu kesatuan dan bekerja sebagai suatu sistem nilai religious baru pada diri seseorang atau suatu masyarakat. Mungkin saja sinkretisme itu penggabungan satu atau beberapa agama sekaligus, sehingga tampak adanya sintesa antara suatu kelompok ajaran dan kelompok ajaran agama lain.

Contohnya penggabungan antara ajaran Islam dengan aliran atau ajaran yang tidak sejalan dengan doktrin Islam sebagai agama tauhid. Contoh sinkretisme antara lain ialah gnosticisme yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Budha dengan Hindu pemuja Dewa Syiwa.

Dalam Islam praktek tarekat dan amalan tasawuf sering juga dituding mengakomodasi praktek sinkretisme karena sering dijumpai adanya kemiripan dengan praktek, misalnya metode meditasi sangat dekat dengan metode tafakkur dan tadzakkur.

Islam bukan sistem ideologi yang bisa dibentuk berdasarkan persepakatan sang users atau stakehorders. Islam yang oleh pemeluknya diyakini dari Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Mutlak, sehingga kelompok agama tertentu, khususnya agama-agama anak-anak cucu Nabi Ibrahim, yang biasa disebut Abrahamic Religions. Agama-agama ini mempertahankan orisinalitas ajaran aga­manya karena mereka sangat yakin agama ini bukan ciptaan manusia tetapi turun dari langit, melalui nabi atau rasul, dan lebih khusus lagi memiliki kitab suci. Apa yang tertera di dalam kitab suci begitulah adanya sebuah agama, tidak perlu diotak-atik lagi.

Dalam Islam, sinkretisme ajaran bisa ber­implikasi syirik, yaitu penyekutuan terhadap Tuhan. Sinkretisme bisa juga dianggap seba­gai sebuah bid'ah dan khurafat. Seorang mus­lim tidak bisa mencampur ajaran agamanya dengan agama lain. Karena itu, ada sejumlah agama yang dipandang sebagai agama abal-abal, karena dimensi keislamannya tidak lagi utuh tetapi sudah mengakomodasi sejumlah praktek dan ajaran dari agama lain.

Contohnya, agama Syik dan agama Bahai, meskipun terdapat persamaan tertentu bahkan diduga unsur persamaan itu adalah memang berasal dari ajaran Islam tetapi dipadukan den­gan ajaran agama lain, sehingga Islam tidak mengakuinya sebagai agama Islam.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA