Sebagai agama terbuka, Islam memiliki pola dialektik dengan lingkungan garapanÂnya, memiliki batas toleransi dan kekuatan adaptasi yang memungkinkan dirinya diteriÂma setiap orang dan kultur lokal, sungguhÂpun orang dan kultur itu sama sekali asing dengan dirinya sendiri sebagai agama yang pertama kali diturunkan di dalam masyarakat Arab. Keunikan yang dimiliki Islam, sebaÂgaimana umumnya agama-agama lain, serÂing berhadapan dengan masalah kontekstual dan kontemporer rumit. Namun perlu dicatat bahwa meskipun Islam memiliki kekuatan tolÂeransi dan adaptasi terhadap nilai-nilai keariÂfan lokal tetapi tegak di atas prinsip Ajaran Dasarnya. Kearifan lokal yang tidak sejalan atau bertentangan dengan Ajaran Dasarnya dengan tegas Islam menolaknya. Islam mengenal dan memperjuangkan toleransi tetapi Islam juga memiliki konsep bid'ah, yaitu sebuah kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan ajaran mana yang perlu ditolak dan yang dapat diterima. Ajaran yang menyimpang dari prinsip ajaran atau Ajaran Dasar maka itulah disebut bid'ah. Hanya ada yang dikenal bid'ah positif
(bid'ah hasanah) dan
bid’ah negatif (bid'ah sayyiah).
Tidak mudah dan tentu memerlukan waktu untuk menciptakan harmonisasi antara ajaÂran dan kearifan lokal. Seperti halnya dengan agama-agama lain, persoalan yang sering muncul ialah mestikah keharmonisan dipertahankan sekalipun ditegakkan di atas landasan yang batil? Atau mestikah harmonisasi itu dikorbankan demi menegakkan ajaÂran yang haq? Di sinilah seninya mengemÂbangkan ajaran agama di atas nilai-nilai lokal yang sudah mapan. Satu sisi kita harus mengembangkan ajaran agama secara utuh (kafah) tetapi di sisi lain harus tetap melestarikan kearifan lokal. Di sinilah salah satu fungÂsi negara bagaimana menjembatani keteÂgangan konseptual yang berhadap-hadapan satu sama lain di dalam Negara.
Islam Nusantara, sekali lagi ditegaskan, tidak bermaksud menaiki level Ajaran Dasar, apalagi menggesernya, karena kalau hal itu terjadi maka persoalan sinkretisme dan khurafat akan muncul, padahal keduanya diÂtolak oleh Ajaran Dasar Islam. Islam NusanÂtara berada di ranah level bawah, di dalam wilayah Ajaran Non Dasar. Kesederhanaan memahami dan menjalankan ajaran Islam membuat warga bangsa Indonesia merasa lebih praktis hidup di dalam agama Islam. Apalagi pengajur Islam Islam di masa-masa awal menunjukkan ketulusan dan kepemihaÂkan kepada kaum pribumi.