Sebelum disahkan DPR, Komnas HAM buru-buru memÂinta agar jadwal pengesahannya ditunda terlebih dulu. Lantas apa alasan Komnas HAM meÂminta penundaan itu? Apakah karena masih ada pasal-pasal krusial yang perlu didalami atau lantaran Komnas HAM tidak diikutsertakan dalam pembaÂhasannya? Berikut penjelasan Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam kepada
Rakyat Merdeka.
Kenapa Komnas HAM minta penundaan pengesahan?
Pertama, saya mau bilang kalau kami mengapresiasi kerÂja dan komitmen DPR dan Pemerintah, yang telah berusaha keras menyelesaikan Rancangan KUHP yang selama bertahun-tahun belum dapat diselesaiÂkan. Kami juga mengapresiasi adanya terobosan hukum terkait pidana mati, yang memberikan prespektif baru terkait dobel pemidanaan.
Kendati demikian, berdasarÂkan kajian, monitoring dan berÂbagai masukan dari masyarakat, Komnas HAM memandang penting untuk dilakukan peÂnundaan pengesahan KUHP yang direncanakan akan dilakuÂkan dalam waktu dekat. Terkait hal itu, kami pun punya empat pertimbangan.
Apa saja pertimbanganÂnya?Pertama, menurut kami penting bagi pemerintah dan DPR untuk memastikan konsisÂtensi pasal-pasal yang pernah mendapat perhatian publik. Teritama bagi pasal yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan pasal-pasal yang berkesesuaian secara subÂtansi dan prinsip dalam HAM.
Misalnya pasal-pasal yang berhubungan dengan kekuasaan dan kebebasan menyuarakan pendapat. Kedua, kami berangÂgapan perlu ada pendalaman dan uji dampak terhadap pemiÂdanaan.
Salah satu yang mendasar dalam penyusunan KUHP adaÂlah aspek pemidanaan. Secara faktual lembaga pemasyarakatan di Indonesia mengalami
over capacity, di mana hingga saat ini masih menjadi persoalan yang belum menemukan jalan keluarnya.
Lho memangnya apa koreÂlasinya terhadap kondisi lapas yang over capacity? Rancangan KUHP yang ada saat ini disinyalir memperluas aspek pemidanaan yang menimÂbulkan potensi besar penghukuÂman. Kondisi ini diyakini akan menambah keruwetan persoalan
over capacity. Selain itu, masih terdapat persoalan pada metode apa yang digunakan untuk menenÂtukan ancaman pemidanaan atas sebuah tindak pidana.
Memangnya menurut Anda dengan pembatasan pemidaÂnaan terhadap sebuah kasus bisa menyelesaikan masalah over capacity?Kami enggak akan memimpiÂkan bahwa masalah
over capacÂity ini bisa terjawab dengan cara ini. Kami hanya khawatir pemerintah akan terlalu fokus membangun banyak penjara, sampai lupa membangun sekoÂlah, lupa membangun madrasah, tempat pelayanan kesehatan, puskesmas. Bahayanya di situ. Makanya, perlu uji dampak. Tetapi itu belum dilakukan, terÂmasuk memanggil Bappenas.
Selain itu apa lagi pertimÂbangan Komnas HAM?Pertimbangan berikutnya terkait dengan pengaturan tinÂdak pidana khusus, dalam hal ini kejahatan berat hak asasi manusia. Komnas HAM telah memberikan masukan terhadap beberapa isu krusial terkait masalah ini. Menurut kami, akan lebih baik apabila ketentuan terkait hal itu diatur dalam unÂdang-undang tersendiri, ketimÂbang dimasukkan dalam KUHP. Kejahatan HAM berat yang diÂmaksud dalam hal ini adalah keÂjahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Penilaian Komnas HAM ini terkait dengan beberapa prinsip dasar yang berlaku dalam hukum HAM di dunia, dan diakui oleh Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional. Contohnya prinÂsip dasar mengenai tanggung jawab, kedaluwarsa, dan beÂberapa prinsip krusial lainnya. Revisi Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jauh lebih strategis ketimbang memasukkan materi ini dalam Revisi KUHP.
Memang kalau ada di KUHP kenapa?Tidak tepat karena konstruksi berpikirinya berbeda. Misalnya, kedaluwarsa di pelanggaran HAM dan kejahatan biasa itu beda. Jadi tidak bisa dimasukkan dalam satu buku. Kami menyarankan supaya soal pelanggaran HAM lebih baik dimasukan, dalam revisi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pertimbangan terakhir apa?Pertimbangan terakhir adalah kami ingin supaya masyarakat dilibatkan dalam pembahasan KUHP. Kami memahami bahwa setiap usaha perumusan KUHP yang belum selesai, adalah sebuah prestasi dan warisan dari berbagai pihak yang telah terlibat dalam proses dan tahapan tersebut.
Akan tetapi, KUHP sebagai undang-undang pokok yang menÂdasari hukum pidana yang akan berlaku di Indonesia, harus diÂpastikan memiliki substansi yang baik, sejalan dengan konstitusi yang ada, dampak yang ditimbulÂkan, serta yang terpenting melindÂungi dan menghormati hak asasi warga negara Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan itu, maka pelibatan atau partiÂsipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pembahasan merupakan sebuah keharusan. Partisipasi tersebut akan menamÂbah perspektif yang ada, misalnya aspek pemasyarakatan, aparatur penegakan, ekonomi, dan bahÂkan perencanaan pembangunan nasional, sehingga substansi yang ada lebih komprehensif. Jadi seÂlain meminta penundaan pengesaÂhan KUHP, kami juga mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas, khususnya yang berkaitan dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia. Itu pertimbangan kami. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.