Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Chairul Anam: Soal Pelanggaran HAM Berat Lebih Baik Diatur Dalam Undang-undang Tersendiri

Senin, 05 Februari 2018, 13:06 WIB
Chairul Anam: Soal Pelanggaran HAM Berat Lebih Baik Diatur Dalam Undang-undang Tersendiri
Chairul Anam/Net
rmol news logo Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hingga kini masih menjadi pem­bahasan antara DPR dan pemer­intah. Kendati begitu, beberapa politikus DPR sudah menarget­kan RKUHP itu akan disahkan pada 14 Februari mendatang.

Sebelum disahkan DPR, Komnas HAM buru-buru mem­inta agar jadwal pengesahannya ditunda terlebih dulu. Lantas apa alasan Komnas HAM me­minta penundaan itu? Apakah karena masih ada pasal-pasal krusial yang perlu didalami atau lantaran Komnas HAM tidak diikutsertakan dalam pemba­hasannya? Berikut penjelasan Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam kepada Rakyat Merdeka.

Kenapa Komnas HAM minta penundaan pengesahan?

Pertama, saya mau bilang kalau kami mengapresiasi ker­ja dan komitmen DPR dan Pemerintah, yang telah berusaha keras menyelesaikan Rancangan KUHP yang selama bertahun-tahun belum dapat diselesai­kan. Kami juga mengapresiasi adanya terobosan hukum terkait pidana mati, yang memberikan prespektif baru terkait dobel pemidanaan.

Kendati demikian, berdasar­kan kajian, monitoring dan ber­bagai masukan dari masyarakat, Komnas HAM memandang penting untuk dilakukan pe­nundaan pengesahan KUHP yang direncanakan akan dilaku­kan dalam waktu dekat. Terkait hal itu, kami pun punya empat pertimbangan.

Apa saja pertimbangan­nya?
Pertama, menurut kami penting bagi pemerintah dan DPR untuk memastikan konsis­tensi pasal-pasal yang pernah mendapat perhatian publik. Teritama bagi pasal yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan pasal-pasal yang berkesesuaian secara sub­tansi dan prinsip dalam HAM.

Misalnya pasal-pasal yang berhubungan dengan kekuasaan dan kebebasan menyuarakan pendapat. Kedua, kami berang­gapan perlu ada pendalaman dan uji dampak terhadap pemi­danaan.

Salah satu yang mendasar dalam penyusunan KUHP ada­lah aspek pemidanaan. Secara faktual lembaga pemasyarakatan di Indonesia mengalami over capacity, di mana hingga saat ini masih menjadi persoalan yang belum menemukan jalan keluarnya.

Lho memangnya apa kore­lasinya terhadap kondisi lapas yang over capacity?
Rancangan KUHP yang ada saat ini disinyalir memperluas aspek pemidanaan yang menim­bulkan potensi besar penghuku­man. Kondisi ini diyakini akan menambah keruwetan persoalan over capacity.

Selain itu, masih terdapat persoalan pada metode apa yang digunakan untuk menen­tukan ancaman pemidanaan atas sebuah tindak pidana.

Memangnya menurut Anda dengan pembatasan pemida­naan terhadap sebuah kasus bisa menyelesaikan masalah over capacity?
Kami enggak akan memimpi­kan bahwa masalah over capac­ity ini bisa terjawab dengan cara ini. Kami hanya khawatir pemerintah akan terlalu fokus membangun banyak penjara, sampai lupa membangun seko­lah, lupa membangun madrasah, tempat pelayanan kesehatan, puskesmas. Bahayanya di situ. Makanya, perlu uji dampak. Tetapi itu belum dilakukan, ter­masuk memanggil Bappenas.

Selain itu apa lagi pertim­bangan Komnas HAM?
Pertimbangan berikutnya terkait dengan pengaturan tin­dak pidana khusus, dalam hal ini kejahatan berat hak asasi manusia. Komnas HAM telah memberikan masukan terhadap beberapa isu krusial terkait masalah ini. Menurut kami, akan lebih baik apabila ketentuan terkait hal itu diatur dalam un­dang-undang tersendiri, ketim­bang dimasukkan dalam KUHP. Kejahatan HAM berat yang di­maksud dalam hal ini adalah ke­jahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Penilaian Komnas HAM ini terkait dengan beberapa prinsip dasar yang berlaku dalam hukum HAM di dunia, dan diakui oleh Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional. Contohnya prin­sip dasar mengenai tanggung jawab, kedaluwarsa, dan be­berapa prinsip krusial lainnya. Revisi Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jauh lebih strategis ketimbang memasukkan materi ini dalam Revisi KUHP.

Memang kalau ada di KUHP kenapa?
Tidak tepat karena konstruksi berpikirinya berbeda. Misalnya, kedaluwarsa di pelanggaran HAM dan kejahatan biasa itu beda. Jadi tidak bisa dimasukkan dalam satu buku. Kami menyarankan supaya soal pelanggaran HAM lebih baik dimasukan, dalam revisi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pertimbangan terakhir apa?
Pertimbangan terakhir adalah kami ingin supaya masyarakat dilibatkan dalam pembahasan KUHP. Kami memahami bahwa setiap usaha perumusan KUHP yang belum selesai, adalah sebuah prestasi dan warisan dari berbagai pihak yang telah terlibat dalam proses dan tahapan tersebut.

Akan tetapi, KUHP sebagai undang-undang pokok yang men­dasari hukum pidana yang akan berlaku di Indonesia, harus di­pastikan memiliki substansi yang baik, sejalan dengan konstitusi yang ada, dampak yang ditimbul­kan, serta yang terpenting melind­ungi dan menghormati hak asasi warga negara Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan itu, maka pelibatan atau parti­sipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pembahasan merupakan sebuah keharusan. Partisipasi tersebut akan menam­bah perspektif yang ada, misalnya aspek pemasyarakatan, aparatur penegakan, ekonomi, dan bah­kan perencanaan pembangunan nasional, sehingga substansi yang ada lebih komprehensif. Jadi se­lain meminta penundaan pengesa­han KUHP, kami juga mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas, khususnya yang berkaitan dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia. Itu pertimbangan kami. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA