Atas kesalahan itu, dia mendaÂpat perintah dari Gubernur Anies Baswedan untuk menghapus lift dari daftar keperluan renoÂvasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. "Ini hanya kesalahan inÂput dan, rupanya ini atas inisiatif dari Dinas Cipta Karya," ucap Saefullah.
Sebelumnya muncul dafÂtar pengadaan lift di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP). Lift terseÂbut dianggarkan sebesar Rp 750,2 Juta. Berikut penuturan lengkap dari Sekda Saefullah selengÂkapnya :
Sebenarnya bagaimana sih asal mulanya rencananya pengadaan lift di rumah dinas gubernur DKI itu? Saya rasa ini tahun 2018, lift itu bukan barang yang luar biasa, biasa saja. Kenapa jadi aneh? Ini berkaitan dengan renovasi rumah dinas kepala daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur. Tahun 2017, rencana rehab rumah gubernur itu sudah ada, dengan angka Rp 2,8 miliar. Tetapi waktu itu ada tupoksi dari dinas yang masih tarik-tarikan sehingga tidak dilaksanakan.
Saya ingat waktu itu akan diganti marmernya, padahal setahu saya marmer rumah dinas itu bagus, kenapa mesti diganti? Saya lihat waktu itu ukurannya 60x60, lalu saya tanya mau diganti ukuran berapa? Mau diganti ukuran 40x40. Nah ini berarti rencananya tidak memÂpertimbangkan estetika dan waktu itu memang tidak lapor pak gubernur dulu. Termasuk atapnya mau diganti, dan juga jendela-jendelanya. Saya bilÂang, stop dulu, karena waktu itu kita tidak tahu perencanaannya, dan waktu lelang ada item-item seperti itu. Tahun ini tupoksinya sudah sangat jelas ada di Dinas Cipta Karya.
Lho sebenarnya ada engÂgak sih rencana rehab rumah gubenur dan wagub itu? Memang ada rencana rehab rumah dinas gubernur sebesar Rp 2,4 miliar dan rehab rumah dinas wagub yaitu sebesar Rp 750 juta. Ini rumah dinas wagub dan sekda kan tuker-tukeran.
Nah usulan pengadaan lift dari mana? Itu memang ada, tetapi keÂtika memasukan item-itemnya, apa yang mau dikerjakan, beÂlum terkomfirmasi ke Pak Gubernur, termasuk ke Bu Tuti (kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) juga. Ternyata ini menjadi kewenanÂgan kepala dinas merenovasi itu yang seharusnya kepala dinas itu mengobservasi terlebih dahulu, ini apa yang mau diganti dan harus terkomfirmasi.
Ini masih bagus nggak? Kalau yang nempatin sehari-hari bilang bagus, kenapa mesti direhab. Nah ini yang harus dikomfirÂmasi. Sehingga munculah item lift.
Kalau sudah kadung jadi pembicaraan publik seperti ini siapa yang mesti bertanggung jawab menjelaskan kronologinya?Tadi sudah cek itu siapa yang perintahkan. Saya nggak pernah merintah. Rupanya ini atas inisiÂatif dari Dinas Cipta Karya.
Lantas bagaimana kelanjuÂtannya, apakah rencana peÂmasangan lift itu dilanjutkan atau tidak? Karena Pak Gubernur meraÂsa lift tersebut tidak perlu dari APBD. Beliau lalu meminta saya, 'Pak Sekda, ini tolong dimatikan.' Lalu saya sampaikan kepada Dinas Cipta Karya agar tidak diÂbelanjakan untuk pengadaan lift, tujuannya untuk efisiensi.
Memang pembahasan menÂgenai item-item renovasi ruÂmah dinas seperti apa? Bisa saja, ini tidak dituangkan dalam kontrak, bisa saja nanti kalau sudah ada pemenangnya. Jangankan satu item, kalau misalnya semua item tidak perlu direhab misalnya, bisa saja itu. Jadi ini hanya kesalahan input perÂencanaan dari Dinas Cipta Karya. Namun kan sepanjang ini terbaÂhas, ini menjadi nggak masalah. Kalau ini masalah dibahas atau tidak. Pembahasan kita di dewan kan juga berjenjang. Dari komisi ke Banggar, terus balik ke komisi terus ke banggar lagi. Kalau di komisi itu pembahasannya oleh Kepala SKPD dipimpin asisten terkait, kalau di Banggar yang mimpin saya, namun di Banggar biasanya tidak membahas sampai sedetail itu. Saya pikir ini suatu kemajuan luar biasa, dimana meÂdia menunjukan peran positifnya. Ini kan sebagai alat kontrol, beÂlum dilakukan apapun juga.
Lantas ke depannya baÂgaimana? Jadi ke depannya harus dibaÂhas dari komisi, fraksi dan bangÂgar. Nanti dibahas per itemnya, ini berapa x berapa, anggarannya berapa. Ini fungsi pembahasan. Di situ terjadi diskusi. DPRD sebagai alat kontrol dan SKPD sebagai pelaksana. ***
BERITA TERKAIT: