WAWANCARA

Saefullah: Usulan Lift Memang Ada, Tapi Murni Inisiatif Dinas Cipta Karya

Sabtu, 27 Januari 2018, 11:05 WIB
Saefullah: Usulan Lift Memang Ada, Tapi Murni Inisiatif Dinas Cipta Karya
Saefullah/Net
rmol news logo Sekda Saefullah mengklari­fikasi perihal kabar tentang pengadaan lift di rumah dinas Gubernur Anies Baswedan. Diakuinya hal tersebut merupa­kan kesalahan dalam input dari pihak Dinas Cipta Karya.

Atas kesalahan itu, dia menda­pat perintah dari Gubernur Anies Baswedan untuk menghapus lift dari daftar keperluan reno­vasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. "Ini hanya kesalahan in­put dan, rupanya ini atas inisiatif dari Dinas Cipta Karya," ucap Saefullah.

Sebelumnya muncul daf­tar pengadaan lift di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP). Lift terse­but dianggarkan sebesar Rp 750,2 Juta. Berikut penuturan lengkap dari Sekda Saefullah seleng­kapnya :

Sebenarnya bagaimana sih asal mulanya rencananya pengadaan lift di rumah dinas gubernur DKI itu?
Saya rasa ini tahun 2018, lift itu bukan barang yang luar biasa, biasa saja. Kenapa jadi aneh? Ini berkaitan dengan renovasi rumah dinas kepala daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur. Tahun 2017, rencana rehab rumah gubernur itu sudah ada, dengan angka Rp 2,8 miliar. Tetapi waktu itu ada tupoksi dari dinas yang masih tarik-tarikan sehingga tidak dilaksanakan.

Saya ingat waktu itu akan diganti marmernya, padahal setahu saya marmer rumah dinas itu bagus, kenapa mesti diganti? Saya lihat waktu itu ukurannya 60x60, lalu saya tanya mau diganti ukuran berapa? Mau diganti ukuran 40x40. Nah ini berarti rencananya tidak mem­pertimbangkan estetika dan waktu itu memang tidak lapor pak gubernur dulu. Termasuk atapnya mau diganti, dan juga jendela-jendelanya. Saya bil­ang, stop dulu, karena waktu itu kita tidak tahu perencanaannya, dan waktu lelang ada item-item seperti itu. Tahun ini tupoksinya sudah sangat jelas ada di Dinas Cipta Karya.

Lho sebenarnya ada eng­gak sih rencana rehab rumah gubenur dan wagub itu?
Memang ada rencana rehab rumah dinas gubernur sebesar Rp 2,4 miliar dan rehab rumah dinas wagub yaitu sebesar Rp 750 juta. Ini rumah dinas wagub dan sekda kan tuker-tukeran.

Nah usulan pengadaan lift dari mana?
Itu memang ada, tetapi ke­tika memasukan item-itemnya, apa yang mau dikerjakan, be­lum terkomfirmasi ke Pak Gubernur, termasuk ke Bu Tuti (kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) juga. Ternyata ini menjadi kewenan­gan kepala dinas merenovasi itu yang seharusnya kepala dinas itu mengobservasi terlebih dahulu, ini apa yang mau diganti dan harus terkomfirmasi.

Ini masih bagus nggak? Kalau yang nempatin sehari-hari bilang bagus, kenapa mesti direhab. Nah ini yang harus dikomfir­masi. Sehingga munculah item lift.

Kalau sudah kadung jadi pembicaraan publik seperti ini siapa yang mesti bertanggung jawab menjelaskan kronologinya?
Tadi sudah cek itu siapa yang perintahkan. Saya nggak pernah merintah. Rupanya ini atas inisi­atif dari Dinas Cipta Karya.

Lantas bagaimana kelanju­tannya, apakah rencana pe­masangan lift itu dilanjutkan atau tidak?
Karena Pak Gubernur mera­sa lift tersebut tidak perlu dari APBD. Beliau lalu meminta saya, 'Pak Sekda, ini tolong dimatikan.' Lalu saya sampaikan kepada Dinas Cipta Karya agar tidak di­belanjakan untuk pengadaan lift, tujuannya untuk efisiensi.

Memang pembahasan men­genai item-item renovasi ru­mah dinas seperti apa?
Bisa saja, ini tidak dituangkan dalam kontrak, bisa saja nanti kalau sudah ada pemenangnya. Jangankan satu item, kalau misalnya semua item tidak perlu direhab misalnya, bisa saja itu. Jadi ini hanya kesalahan input per­encanaan dari Dinas Cipta Karya. Namun kan sepanjang ini terba­has, ini menjadi nggak masalah. Kalau ini masalah dibahas atau tidak. Pembahasan kita di dewan kan juga berjenjang. Dari komisi ke Banggar, terus balik ke komisi terus ke banggar lagi. Kalau di komisi itu pembahasannya oleh Kepala SKPD dipimpin asisten terkait, kalau di Banggar yang mimpin saya, namun di Banggar biasanya tidak membahas sampai sedetail itu. Saya pikir ini suatu kemajuan luar biasa, dimana me­dia menunjukan peran positifnya. Ini kan sebagai alat kontrol, be­lum dilakukan apapun juga.

Lantas ke depannya ba­gaimana?

Jadi ke depannya harus diba­has dari komisi, fraksi dan bang­gar. Nanti dibahas per itemnya, ini berapa x berapa, anggarannya berapa. Ini fungsi pembahasan. Di situ terjadi diskusi. DPRD sebagai alat kontrol dan SKPD sebagai pelaksana. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA