PersekusiPada 11 November 2017, di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, terjadi persekusi terhadap sepasang muda mudi akibat salah tuduh. Kedua muda-mudi itu dipaksa mengaku berbuat asusila dan mereka diarak keliling kampung dengan kondisi setengah telanjang. Anehnya lagi dalam kejadian tersebut, RT dan RW terlibat sebagai pelaku. Sebelumnya, persekusi pernah dialami oleh remaja berusia 15 tahun berinisial PMA yang merupakan salah satu warga Cipinang Muara, Jakarta Timur serta Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat.
Dalam catatan Bareskrim Polri, antara akhir 2016 hingga awal 2017 terdapat 47 kasus persekusi (news.detik.com, 17 Oktober 2017). Data yang dirilis Koalisi Anti Persekusi mencatat pada 1 Juni 2017, terdapat 59 individu menjadi korban persekusi di seluruh Indonesia selama periode 31 Januari–27 Mei 2017. Dari sejumlah kasus tersebut, korban persekusi biasanya mengalami trauma psikis yang mendalam. Oleh karena itu, wajar bila Komnas HAM mengutuk keras persekusi dalam bentuk tindakan sewenang-wenang yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain karena hal ini melanggar hak kemerdekaan atau hak atas keamanan diri, dan melanggar prinsip negara hukum (komnasham.go.id, 17 Juni 2017).
Hak Asasi Manusia
Dalam perspektif HAM, persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan atau hostis humanis generis atau perbuatan yang tidak layak dibenarkan oleh seluruh umat manusia. Undang-undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM di Pasal 9 huruf (h), berbunyi “persekusi merupakan penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.â€
Sementara elemen-elemen tindakan yang dapat disebut sebagai persekusi adalah pelaku merampas sewenang-wenang hak-hak fundamental korban yang dilindungi di dalam hukum internasional; pelaku menarget orang/sekelompok orang berdasarkan identitasnya; dan penargetan tersebut berbasis politik, ras, kebangsaan, etnis, sosial, ekonomi, dbudaya, dan agama, atau basis lain sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (3) Statuta Roma.
Krisis PeradabanPrakarsa STAB Nalanda Jakarta menyelenggarakan seminar nasional tentang pendidikan dan perlindungan HAM layak dihargai sebagai upaya membentuk masa depan peradaban yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami krisis peradaban.
Ada pihak-pihak tertentu menyalah-tafsirkan serta menyalah-gunakan makna kebebasan berpendapat dan mengungkap pendapat sebagai kebebasan membenci dan mengungkap kebencian secara verbal mau pun fisikal demi main hakim sendiri dengan mengambil alih wewenang hakim untuk menghakimi para tertuduh tanpa peduli asas praduga tidak bersalah di Indonesia sebagai negara hukum yang sewajibnya mematuhi asas praduga tidak bersalah.
Sementara ada pihak yang diberi wewenang oleh rakyat menjadi lupa daratan maka menyalahtafsirkan serta menyalahgunakan makna wewenang untuk bersikap sewenang-wenang menggusur rakyat dengan cara-cara yang secara sempurna dan paripurna melanggar hukum, HAM, Pancasila, UUD 1945, Agenda Pembangunan Berkelanjutan serta Kontrak Politik “Jakarta Baru†yang ditandatangani Ir. Joko Widodo bagi rakyat miskin Jakarta.
[***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan