Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

'Rumpi' Soal Reshuffle Dan Kepala BIN Jadi Cawapres PDIP

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 30 November 2017, 07:22 WIB
'Rumpi' Soal Reshuffle Dan Kepala BIN Jadi Cawapres PDIP
Budi Gunawan/Net
KEHIDUPAN politik Indonesia, terbilang paling unik dan membingungkan. Saking uniknya dan membingungkan, pakar politik lulusan manapun -termasuk dari lembaga pendidikan terkemuka di dunia, belum tentu bisa mengerti. Apalagi menguasai apa dan bagaimana sesungguhnya yang sedang terjadi dalam dunia politik di Indonesia.

Keadaan tentang politik Indonesi sebenarnya bisa diukur dari laporan-laporan media. Nyatanya, tidak begitu. Keadaan ini tentu saja memprihatinkan. Sebab sebagai sebuah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan Amerika Serikat, ternyata laporan-laporan pers kita tidak atau belum bisa merepresentasikan keadaan Indonesia.

Reformasi 1998, semestinya telah merubah karakter media. Yang tidak lagi melaporkan apa yang diinginkan dan dipaksakan oleh penguasa.

Sepertinya isi dan bentuk laporan-laporan media saat ini, bergeser. Dari ketakutan terhadap penguasa yang represif terhadap media, ke kekhawatiran pekerja pers atau jurnalis terhadap pengusaha yang membentuk konglomerasi.

Warga asing seperti diplomat, ekspatriat yang bekerja di Jakarta, kota pusat kekuasaan Indonesia - sering bingung dan mengalami kesulitan. Terutama jika harus membuat “excecutive review” ataupun “excecutive summary” tentang situasi Indonesia.

"Kalau laporannya dibuat ringkas, isinya sulit dipahami oleh yang membacanya. Sebaliknya kalau dibuat panjang konteksnya bisa berubah. Substansinya, malahan makin membingungkan," keluh seorang ekspat dari sebuah negara Eropa Barat.

Secara kelembagaan, yang menjadi acuan tentang Indonesia berada di Kompleks Senayan, Jakarta. Di sana ada MPR-RI, DPR-RI dan DPD-RI. Pembanding dari ketiga lembaga itu terletak di Merdeka Utara, Istana Kepresidenan, tempat Presiden Joko Widodo berkantor.

Kalau acuan ini yang dijadikan ukuran, perkembangan politik yang lebih jelas, semestinya bisa dilihat dari politik keterwakilan di parlemen atau DPR-RI, Senayan. Di sana bermukim 10 fraksi yang mewakili 10 partai.

Tapi coba kita tanya ke pimpinan fraksi dari ke-10 partai tersebut. Tentang apa yang menjadi pembeda dari masing-masing partai. Dengan catatan, jawaban itu cukup dijelaskan dalam waktu 10 menit. Yang paling mungkin terjadi, jawaban dari mereka, tidak memuaskan atawa membingungkan.

Atau mareee kita minta argumentasi dan konsep mereka -bagaimana mengatasi ancaman desintegrasi dan Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi yang sudah berlangsung selama 19 tahun. Sebab desintergrasi dan krisis ekonomi, merupakan bahaya laten. Mereka semua pasti menjawabnya. Bahkan ada yang penuh antusias, militan dan patriotik.

Namun jangan kecewa, jika isi jawaban mereka, akhirnya hanya terbatas pada retorika dan propaganda lembut saja. Atau bisa pula terjadi, dari sepuluh pimpinan fraksi yang ditanya tentang dua persoalan di atas, akan memunculkan 560 buah jawaban atau konsep. Jumlah jawaban/konsep sama banyaknya dengan anggota DPR di Senayan saat ini.

Mengapa keadaan ini terjadi, masih sulit menemukan jawabannya secara terpat.

Untuk dapat mengetahui penyebabnya, mungkin kita harus menggunakan peniliti independen. Independen dalam arti sebagai perusahaan survei, metode survei dan pemilihan respondennya tidak didasarkan pada rekayasa atau pemesan hasil survei.

Kita bergeser ke isyu politik yang dalam hari-hari terakhir ini, tergolong paling ramai dibicarakan oleh kalangan pengusaha.

Yaitu apakah akan ada perombakan kabinet ? Betulkah Kepala BIN, Jenderal Polisi Budi Gunawan disiapkan oleh PDIP untuk menjadi cawapresnya Joko Widodo di Pilpres 2019 ? Atau paling tidak menjadi, BG, menjadi ketua umum partai belambang banteng itu.

Jangan kaget jika isyu ini mendapat sorotan pengusaha. Sebab terkadang peran pengusaha dalam kekuasaan, tak bisa diabaikan. Spesialisasi zaman sekarang, mau tidak mau dikesampingkan. Pengusaha harus bisa menjadi generalis : pengusaha sekaligus penguasa.

Dua isyu ini hangat dibahas di kafe mall dan kafe hotel oleh para elit. Tetapi masih dingin diberitakan oleh media-media.

Perombakan kabinet menjadi isyu penting, sebab walaupun Presiden Joko Widodo tak merencanakannya, tetapi keadaan memaksanya harus bertindak.

Perombakan kabinet menjadi sebuah persoalan, sebab masa kerja Jokowi sebagai Presiden, pemimpin di atas semua anggot kabinet, efektivitasnya tidak sampai dua tahun.

Perombakan kabinet tak terhindarkan andaikata Airlangga Hartarto, selaku menteri Perindustrian terpilih atau dipilih sebagai ketua umum Partai Golkar.

Jika sepupunya Laksamana Sukardi ini -mantan Menteri BUMN di era Megawati terpilih sebagai kapten Golkar, maka beban kerjanya bertambah. Atau akan terasa janggal, jika ketua umum sebuah partai, duduk dalam sebuah kabinet yang mengadopsi sistem presidential. Jadi Airlangga harus keluar dari kabinet.

Airlangga, putera Ir. Hartarto, Menteri Perindustrian di era Orde Baru digadang-gadang akan menggantikan Setya Novanto, politisi Golkar yang jadi korban 'OTT' (Operasi Tabrak Tiang).

Lalu Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial. Alasannya berbeda. Khofifah sudah mendeklarasikan keikutsertaannya dalam Pilkada Jawa Timur. Kesibukannya berkampanye untuk menjadi Gubernur, tentu akan menguras tenaga sehingga tak mungkin ada waktu cukup untuk mengurus Kementerian Sosial.

Keluarnya Airlangga dan Khofiah dari Kabinet, mau tak mau memaksa Presiden Jokowi mencari pengganti mereka.

Pada saat yang bersamaan, berkembang cerita bahwa Presiden Jokowi sangat berkepentingan, siapa yang akan memimpin Golkar.

Pernyataan Golkar lewat Setya Novanto, sebelum dia terseret jauh dalam kasus e-KTP – di mana Golkar mendukung Jokowi untuk dipilih kembali sebagai presiden, jangan sampai diubah oleh ketum yang baru.

Kepemimpinan di Golkar, siapapun yang menggantikan Setya Novanto, haruslah yang bisa ikut mengamankan pencalonan Jokowi sebagai 'Presiden Dua Periode'.

Jokowi tidak mungkin hanya mengandalkan dukungan PDIP, Nasdem, Hanura dan PKB, sebagaimana yang didapatkannya dalam Pilpres 2014.

Beredarnya kabar bahwa PDI-P di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri yang akan memajukan Budi Gunawan sebagai cawapres mendampingi Jokowi di Pipres 2019, menjadi sebuah persoalan seperti dalam permainan catur.

Rumit sih tidak.

Tapi untuk melangkah harus diawali oleh sebuah pemikiran yang matang. Ketelitian dalam memainkan semua bidak di atas papan catur harus cermat. Pion atau 'bidak' yang pergerakannya terbatas, tidak berarti tak punya manfaat.

Sebaliknya 'Benteng' yang kekuatan dan kekuasaanya mendekati kekuatan 'ster', namun tidak efektif, tak berarti tidak boleh dikorbankan. Jokowi harus bisa memaksimalkan 'kuda' yang loncatannya sulit ditebak.

Jika keliru memainkan semua yang disebutkan di atas, baru beberapa langkah saja Jokowi sudah bisa terkena 'skak ster' atau 'skak mat'.

Atau sama dengan di permainan golf. Di mana permainan yang disebut 'short game' sangat menentukan hasil akhir.

Boleh saja dalam permainan awal, Jokowi membuat pukulan-pukulan bagus dan bola-bolanya selalu jatuh di 'fairway'.

Tetapi ketika di atas 'green' lantas hanya bisa melahirkan 'bogey' dan 'double', maka pukulan-pukulan di 'fairway' itu, tak ada gunanya.

Lebih baik 'tee off' nya tidak terlalu bagus, tetapi hasil di setiap 'green' berupa 'par' bahkan 'birdie'.

Mohon maaf bagi pembaca yang tidak suka dengan permainan catur dan golf.

Saya dengar catur, yang disebut permainan yang mengandalkan ketajaman berpikir dan adu strategi, banyak disukai oleh para politisi. Sementara golf, sering disebut olahraga para elit politik dan pengusaha.

Yah, saya agak paham dengan permainan kedua cabang olahraga ini.

Nyombong dikit. Untuk golf saya pernah mewakili Indonesia dalam Kejuaraan Amatir Mercedes Asia Pasific di Brisbane, Australia, Agustus 2004. Setelah lolos kualifikasi atau seleksi di Padang Golf Jagorawi. Salah satu padang golf tersulit di Jakarta.

Inilah yang membuat saya menjadikan politik yang dihadapi Jokowi seperti dalam permainan catur dal golf.

Dan yang penting lagi contoh ini tidak lebih dari sebuah upaya pribadi agar cerita 'rumpi' ini jangan dianggap sebagai sebagai sesuatu yang membikin pusing kepala.

Santai dikit lah sis dan bro. Apalagi besok Jumat, merupakan hari libur. Yang berarti kita punya “long week-end” di akhir Nopember dan awal Desember 2017 ini.[***]


Penulis adalah Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA